Ch.1 Kok bisa?

218 13 0
                                    

"Jadi gimana?"

"Apanya?"

"Bocil kematian itu? Kalian udah satu tahun kan?"

Harris mengangguk mengiyakan. Menatap pemilik surai ungu dengan suaranya yang tampan, itu bukan pendapat Harris. Itu hasil survey dari anak-anak yang lain.

Mikazuki Arion.

"Ion." Panggil Harris, ada satu hal yang membuat Harris tidak tenang selama setahun belakangan ini. Pikirannnya kalut jika ia tiba-tiba mengingat hal menjengkel yang selalu membuat jantungnya berdenyut sakit.

Mengangkat sebelah alisnya, Arion melirik Harris dari ekor matanya. "Ape?"

Jeda beberapa waktu hingga kini Arion menatap Harris dengan tubuh yang sepenuhnya menghadap pria bersurai merah itu. "Wah, kesambet ini. Fix."

"Ngga jadi deh."

"Kurang ajar! Aku pukul ya." Mengangkat gelas minumannya, Arion sudah bersiap dengan membidik kepala Harris.

Tuman.

"Kalau misalnya Runa ternyata juga bosan sama aku gimana? Trus nanti kalau aku ditinggal lagi gimana?" Suara Harris terdengar lesu. Kepalanya bersandar tanpa tenaga pada dinding kantin. Ada perasaan tidak enak pada sudut hati Harris jujur saja.

Harris tertekan teman-teman.

Hidung Arion berkerut tidak paham. Matanya menatap pada sekeliling kantin dengan mata yang memicing hampir membentuk garis lurus. Mencari dua, atau minimal satu makhluk Tuhan yang sudah membuat Arion muak.

"GIN!" Berteriak kencang, Arion mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk menarik atensi pria bersurai legam yang tengah berjalan santai menuju meja mereka.

"Oit."

"Nih, tolong calon adek iparnya ditenangkan ya. Aku mau pesen mie ayam dulu." Melemparkan tasnya pada Harris, Arion berlalu meninggalkan meja. Meninggalkan Harris yang tengah mengutuk penuh sumpah serapah padanya. Keterlaluan.

"Memang anjing ya kamu." Sinis Harris.

Meletakan tasnya di atas meja, Gin mulai menyangga dagunya dengan telapak tangan. Menatap penuh atensi pada Harris yang langsung berdecak pasrah. "Kenapa? Kenapa? Runa bikin ulah lagi? Udah sih, kata aku juga langsung lempar aja kepalanya pake sendal rumah kamu."

Menghela nafas pasrah, Harris mengeleng dramatis. "Bukan itu." Ujar Harris. Melipat tangannya di atas meja, lalu menatap Gin dengan wajah memelasnya.

"Trus kenapa?" Tanya Gin. Tangannya meraih gelas Arion yang masih berisi es teh setengah gelas. Gin haus, tapi ia terlalu malas untuk memesan sekarang.

"Kamu keberatan ga sih? Kalau punya adek ipar suka nempel, manja-manja gitu?" Masih dengan wajah penuh putus asa, Harris menatap Gin yang hanya tertawa pelan mendengar pertanyaannya.

"Ya yang kamu tempelin juga Runa ini, bukan aku. Ga masalah." Mengangkat bahunya tak peduli, Gin mengangkat alisnya pelan.

"Aku takut Runa risih."

"Ngga bakal, Runa bahkan lebih manja kalau kamu penasaran." Hibur Gin, sedikit-banyak Gin paham dengan alasan kenapa Harris bisa secemas itu.

Harris masih merengut penuh duka, kembali duduk tegap, dan langsung merampas jaket Gin untuk ia jadikan bantalan tidurnya.

"Gimana? Gimana? Pasien aman?" Arion kembali datang dengan dua mangkok mie ayam di tangannya. Diikuti oleh satu pria berambut biru langit dengan wajah cerah yang menyinari satu kantin. Benar-benar berbanding terbalik dengan wajah madesu mereka bertiga.

AnandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang