Ch.8 Masih Belum Baikan

93 10 4
                                    

"Jadi ntar kalau kamu nikah sama Runa, kamu manggil Gin pake kakak dong, Ris?" Garin penasaran. Apa tidak lucu itu nanti saat mereka mendengarnya?

"Kalau Gin mau, boleh. Kakak Gin." Ujar Harris seraya menghadapkan tubuhnya ke arah Gin yang langsung berteriak membuang muka.

"AHAHAHA." Siapa lagi jika bukan Rion yang tertawa sekencang ini.

"Udah Ris, udah! Jangan. Kek biasa aja." Aneh, sungguh. Sangat aneh, Gin tidak terbiasa dengan itu. 'Kakak Gin'? Sialan!

"Nah, kalau Echi nikah sama Gin? Harris bakal manggil kakak atau ngga?" Kali ini Key, apa tidak mati kesenangan itu Echi nantinya?

"Echi mau dipanggil kakak? Kak Echi?" Kali ini Harris menghadap Echi, anomali berambut ungu itu langsung bersandar lemah pada lengan Selia.

Mengeluarkan kartu ATM-nya, Echi mengulurkan tangan ke arah Harris. "Damn, Bro. Kamu mau apa, Ris? Sebut sini, sebut. Aku beliin sini." Jika bukan karena sudah keduluan Rion dulu, sudah pasti akan Echi jadikan pacar Harris ini.

"Pelorotin, Ris! Pelorotin!" Heboh Krow.

"Porotin, Anjing. Apa yang mau lu pelorotin?" Kevin sudah tidak tahan. Memang agak-agak semua anak-anak Rion ini.

"Gara-gara si Rion ini, anjing emang!" Kutuk Echi. Menatap penuh dengki pada Rion yang langsung menujuk dirinya sendiri.

"Ngapain ke gua?" Sinis Rion. Tidak Rion pegang ini, jarak duduk mereka juga sudah jauh. Apanya yang Rion?

"Lu kan yang dulu ngaku-ngaku jadi pacar Harris. Kalau bukan gegara lu, udah jadian gua sama Harris ini." Semprot Echi. Harris memang setampan itu teman-teman, ehe.

"Lu yang goblok, siapa suruh percaya." Niat awal Rion hanya ingin bercanda, berhubung Harris juga baru putus dengan si nenek lampir itu. Tapi siapa sangka, mereka semua malah percaya.

"Tampang dan nada bicara lu meyakinkan, Bapak sialan lu ye."

"Masuk teater lah gua, mayan nih."

**

Ini sudah jam dua belas lewat empat puluh lima menit, Harris dan beberapa anak-anak lain masih duduk santai di depan televisi. Menonton dengan tenang karena beberapa yang lain sudah jatuh memasuki alam mimpi.

"Gimana, pacar Ayyis udah mendingan?" Tanya Harris. Menatap layar ponselnya yang tengah menampilkan wajah Runa.

Iya, awalnya saat mereka di luar Runa memang menelfon Gin. Tapi setelah jam sebelas, telfonnya Gin matikan melihat si cantik ini sudah tertidur. Wajar saja, mereka kalau sudah berkumpul kebanyakan seperti monyet liar, ribut sekali.

Takut Runa akan terbangun nantinya.

"Belum, badannya ngga enak. Kak Gin udah tidur ya, Kak Ayyis?" Adu Runa. Seluruh tulangnya serasa akan copot jika kalian ingin tahu.

"Udah, itu lagi di kamar sama Souta. Mau Ayyis bangunin?" Menopang dagu pada lengan sofa, Harris bisa saja meladeni Runa dari pagi hingga pagi lagi.

"Engga deh, gapapa. Kenapa tadi telfon Runa dimatiin?" Baru juga akan pulas memasuki alam mimpi, suara Gin sudah tidak terdengar lagi. Ingin kembali Runa telfon, tapi pesan masuk dari Gin sudah membuat Runa mengurungkan niatnya.

"Di luar tadi ribut, Gin takut kamu kebangun."

"Kak Ayyis kenapa belum tidur? Maaf ya, Runa telfon." Merasa tak enak hati, Runa takut mengganggu jujur saja. Tapi jika membangunkan Gin, Runa juga tidak tega. Pulang nanti Gin harus membawa dua nyawa bersamanya.

"Gapapa, Sayang. Ayyis masih nonton. Runa tidur lagi aja, telfonnya ngga Ayyis matiin kok." Tersenyum hingga matanya membentuk garis lurus, Harris memperhatikan Runa yang tengah mengatur kembali posisi bantal beserta guling kesayangannya.

"Kak Ayyis keganggu ngga?"

"Engga kok, dah tidur sana. Biar cepat sembuh. Kompresannya udah diganti itu?" Pertanyaan bodoh, bagaimana bisa Harris merasa terganggu dengan suara menyenangkan pacarnya ini? Mustahil.

"Udah, tadi digantiin sama papa lagi." Untung papanya sudah pulang, jika belum Runa pasti akan merasa sangat bersalah lagi karena harus merepotkan mama cantiknya.

"Ya udah, selamat tidur, Cantiknya Ayyis."

Suasana ruangan benar-benar hening. Bukan karena mereka fokus menonton, tapi karena mereka fokus mendengarkan Harris yang sedang menelfon.

"Lu bayangin, segila apa Echi kalau beneran jadian ama Harris." Bisik Krow.

"Iya, kejang kali itu anak tiap ditelfon Harris." Balas Zaki. Suara Harris yang pada dasarnya sudah lembut, terdengar makin lembut saat ini.

Mereka seperti mendengar nyanyian penghantar tidur.

"Dikit lagi aku tidur nih gegara ngedengerin suara Harris." Bisik Garin. Sudah bersiap memeluk bantalnya di depan dada dengan kepala yang bersandar pada sofa.

"Gua tau suara Harris emang lembut, tapi emang selembut ini?" Kevin berbisik, jika rambut Harris dipanjangkan sedikit lagi, sudah pasti Kevin akan salah mengira gender Harris.

Krow, Garin, dan Zaki langsung mengangguk serempak.

"Ngga percaya kan, Pak? Sama, kita juga."

**

Matahari sudah tinggi, tapi anak-anak anomali ini masih sibuk bergelung dengan selimut mereka.

Harris, Garin, Zaki, Krow, Kevin, dan Rion berakhir tidur di ruang tamu. Kaki Garin sudah naik sebelah ke atas paha Harris. Tangan Zaki yang sudah menutupi wajah Krow, Rion yang mengungsi ke sudut ruangan karena Kevin yang tidak mau diam.

Dengan satu tangan yang masih memegang ponsel, Harris tidur tenang dengan segala kekacauan yang ada. Pukul tiga pagi mereka baru akan memasuki alam mimpi setelah perdebatan panjang.

Ingin pindah ke kamar, tapi sudah malas bergerak. Belum lagi dengan Garin yang sudah hilang dari radar bumi sejak pukul setengah tiga.

Key yang melihat keadaan di depan langsung memelankan langkahnya, membawa serta beberapa anggota perempuan untuk membantunya memasak sarapan.

"Damn, Harris lucu banget. Jadi bingung mau jadi kakak ipar Harris atau istri Harris ya." Echi berlalu santai menuju dapur, membiarkan para pejantan itu untuk melanjutkan tidurnya beberapa saat lagi.

"Emang Gin mau jadi suami lu?" Selia bertanya dengan tawa menggelegarnya. Memang kurang ajar wanita satu ini.

"Mau ngga mau harus mau, kalau Gin ngga mau. Lu aja." Balas Echi tak mau ambil pusing.

"Gila banget gua harus belok sama lu."

**

Entah sudah berapa lama Harris tertidur, yang jelas saat ia bangun ponselnya sudah mati. Habis daya sepertinya.

Melirik pada arah kanan, Garin masih bergelung nyaman dengan selimutnya. Satu kaki menimpa kaki Harris dan satu tangan lainnya yang memeluk erat lengan Harris.

"Ayo, bangun dulu bangun, sarapan sekalian makan siang. Kita berangkat jam dua ya. Siap-siap, jangan sampai ada yang ketinggalan." Key mulai berjalan mengitari rumah. Membangunkan semua orang yang masih setengah sadar dan sedang mengumpulkan nyawanya.

"Jam berapa, Key?" Tanya Harris.

"Jam setengah sebelas. Ayo bangun, ponsel kamu mati kan?"

"Kok tau?"

"Aku ngga sengaja liat tadi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang