"Mama, Gin berangkat ya." Dengan tas yang sudah ia gendong di belakang punggung, Gin sudah bersiap dengan kunci motor, dan juga helm yang sudah terpasang di kepalanya.
"Iya, hati-hati ya. Nginep kan?" Nita memberikan satu tas jinjing berukuran lumayan besar, isinya sudah lengkap dengan berbagai makanan yang bisa mereka masak nanti saat sampai di sana.
"Iya, paling pulang besok siang atau ngga sore." Menerima pemberian Nita dengan senang hati, senyum Gin melebar dengan penuh semangat.
"Sendiri atau bonceng anak orang kamu?" Menepuk pelan pundak Gin, Nita memastikan lagi penampilan anaknya.
"Bawa bocil kematian aku, si Souta."
"Hati-hati bawa anak orang."
"Iya, Cantik." Mengangkat jempol kirinya, Gin mengangguk yakin. Tidak pernah dalam sejarah hidupnya Gin membawa anak orang dengan ugal-ugalan ya.
Menatap ke sekeliling rumah, Gin tidak melihat adiknya sedikit pun. Masih merajuk apa dia? "Runa mana, Ma?"
"Masih tidur keknya it-"
"Kakaaak."
Belum selesai mama mereka dengan kata-katanya, suara menggelegar Runa sudah berbunyi heboh dengan langkah kaki yang berlari menuruni tangga.
"Jalan aja, mau jatoh kamu?" Menangkap Runa yang langsung melompat dari anak tangga kedua. Gin benar-benar bangga dengan lengan kokohnya ini.
Melingkarkan tangannya pada seputaran leher Gin, kaki Runa juga melingkar kuat pada pinggang kakaknya itu. Dengan wajah yang ia sembunyikan pada ceruk leher Gin, Runa mulai merengek. "Harus hari ini banget perginya?"
"Iya, kan kakak udah janji sama yang lain." Mengusap punggung Runa, sudah kebal Gin dengan tingkah si bontot ini. Alergi sekali dia jika Gin tidak tidur di rumah.
"Undur aja."
"Ngga bisa, Sayang. Demam ya kamu?" Memeriksa suhu tubuh Runa, dapat Gin rasakan telapak tangannya yang berubah menjadi hangat.
"Di rumah aja."
"Maaa?" Gin berteriak meminta bantuan, padahal Gin sudah mengatakan ini dari jauh-jauh hari pada adik kesayangannya ini. Tapi tetap saja selalu seperti ini, memang tidak bisa jauh dari Gin cantiknya yang satu ini.
Dengan daster kebanggaannya, Nita keluar dari dapur. Meminta Gin untuk menurunkan Runa dari gendongan koalanya.
"Ngga mauuu." Rengek Runa.
"Mama." Gin kembali meminta bantuan.
"Udah gede gini masih aja kamu itu ya, kasihan temen Kak Gin. Masa janjinya dibatalin gitu aja, emang kamu mau kalau udah bikin janji trus ada yang ngebatalin gitu aja?" Tegur Nita, memang selalu drama jika Gin ada acara seperti ini. "Cuma semalam ini aja kok."
"Kak Gin juga pernah ngebatalin janjinya sama Runa." Mengeratkan pelukannya pada leher Gin, Runa masih menolak untuk turun.
"Kan udah kakak ganti lagi loh itu." Gin tidak terima, terluka sekali harga dirinya dengan tuduhan pembatalan janji ini.
"Adek demam masa ditinggal?" Mengangkat wajahnya, Runa mulai memasang kuda-kuda, jika tidak mempan dengan cara halus, ya sudah. Dengan pemaksaan saja.
Terdiam untuk beberapa saat, bahu Gin merosot turun. Kembali memeriksa suhu tubuh Runa dan memang benar, masih hangat. Menghela nafas lelah, Gin kembali melepaskan helm yang sudah terpakai rapi di kepalanya. "Ya udah, kakak ngga jadi perg-"
"Udah turunin aja, biar sama mama. Papa juga nanti pulang, biar papa yang jadi penanggung jawab si manja satu ini." Nita meyakinkan anak sulungnya, sudah belasan tahun, tapi mereka tetap saja seperti ini. "Gimana besok kalau kamu nikah, Gin. Banjir bandang Jakarta ini sama air mata Runa kali ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ananda
FanfictionSetelah kisah terakhirnya yang berakhir tidak bagus, Harris menjadi sedikit lebih pendiam dari biasanya. Skinship dan obrolan random yang menjadi hal favorit Harris kini sudah lambat laun ia lupakan. Tapi itu tidak bertahan lama hingga Harris bert...