00 | Prolog

479 76 54
                                    

⚠️Cerita ini hanya fiktif belaka⚠️

Selamat malam kepada seluruh penumpang kapal, Rin ingin menyampaikan bahwa kita baru saja tiba di Vhallscavepe. Seluruh penumpang di persilakan untuk keluar dengan tertib dan teratur berdasarkan nomor antrian yang tertera di tiket kalian.

Selamat datang di Vhallscavepe🤗

Selamat datang di Vhallscavepe🤗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

*

*

Beralaskan tanah lembab yang dingin, Narayan tergeletak tak bertenaga menatap langit malam bertabur bintang. Sisa-sisa darah segar yang baru saja ia muntahkan dari mulutnya masih membekas di sekitar dagu dan lehernya. Wajah penuh memar dan luka besar yang menganga di perutnya terus menerjang dengan rasa sakit luar biasa. Meski begitu, tangan kanan Narayan masih sanggup mencengkeram kuat gagang pedang yang mendampinginya bertarung. Bilah pedang itu telah kenyang meminum banyak darah usai membantai semua musuhnya. Meski harus berhadapan dengan puluhan pasukan, Narayan jauh lebih unggul dan berhasil membantai habis setiap kepala yang berani mendekatinya. Kini satu-satunya hal yang harus ia hadapi adalah kematian. Dengan kondisi yang telah kehilangan banyak darah, Narayan yakin bahwa malaikat maut sedang dalam perjalanan untuk menemuinya saat ini.

Berusaha membuat dirinya tetap terjaga, lelaki pemilik mata kelabu itu mulai menghitung bintang. Sangat indah, kilaunya yang terus bersinar di atas sana membuat Narayan hanyut terpesona. Setiap kali matanya berkedip, rasa takut bahwa ia mungkin tak akan lagi bisa membuka mata terus meneror kewarasannya. Sampai akhirnya kedua kelopak mata itu terpejam sempurna dan ia mulai kehilangan kesadarannya.

Hening. Hanya butuh waktu tiga detik saat samar-samar sebuah suara mulai terdengar menggema di telinganya, seolah ia sedang berada di sebuah ruangan luas yang hampa.

"Apa kau tahu, Narayan? Bintang-bintang yang sedang kita kagumi malam ini mungkin saja telah lama mati."

Narayan seketika terbangun dalam hitungan detik, suara itu adalah suara yang selalu ia rindukan dalam setiap detak jantungnya. Ia bahkan masih mengingat dengan jelas wangi bunga mawar dari sosok itu dalam setiap helaan napasnya.

"Ibu?!"

Wanita berbalut gaun putih yang kini sedang duduk di sebelahnya tersenyum hangat, tatapan penuh keteduhan ia lemparkan pada Narayan sebelum telapak tangan kirinya bergerak mengusap surai hitam yang menutupi jidat Narayan.

"Cahayanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kita. Tragis sekali, bukan? Kita sedang mengagumi kematian bintang-bintang itu dari bawah sini."

Kembali ia menengadahkan kepalanya menatap taburan bintang di angkasa, rambut panjangnya yang berwarna silver menjuntai turun nyaris menyentuh tanah. Dilengkapi oleh mahkota yang terbuat dari bunga cornflower, kecantikan wanita itu semakin bersinar dengan mata kelabunya yang sama persis dengan Narayan.

"Apa aku sudah mati?" tanya Narayan tanpa ada keinginan untuk memutus pandangan dari sosok yang senantiasa ia rindukan dengan segenap jiwa dan raganya.

"Belum, tapi kau sedang sekarat." Satu helaan napas terlepas dari mulut ibunya sebelum ia lanjut berbicara. "Ibu akan memanggil bulan biru dan memintanya untuk menyelamatkanmu."

"Bulan biru?" Narayan mengangkat kepalanya dengan raut keheranan.

"Apa kau pikir bulan biru hanya fenomena biasa? Tidak, Narayan. Selain memiliki kekuatan paling mulia, bulan biru juga merupakan wujud dari kekuatan kejam yang berasal dari langit malam paling gelap." Tatapan matanya kini tertuju pada liontin biru yang menggantung di leher Narayan, ditariknya dengan paksa hingga rantainya terputus sempurna.

"Banyak makhluk yang mengincar kalung ini, Narayan. Sebab dengan kalung ini, kau bisa memanggil bulan biru kapanpun kau mau dan meminjam kekuatannya. Hanya untuk satu kali saja, setelah itu kalung ini tak lagi memiliki keistimewaan." Selagi berbicara, ia meraih salah satu telapak tangan Narayan yang terluka. Membanjiri seluruh permukaan kalung itu dengan darah segar yang mengucur dari luka di telapak tangan putranya.

"Ibu akan memanggilnya untuk membuat perjanjian menggunakan darahmu. Apa pun yang terjadi setelah ini, ingatlah bahwa kau harus membayar harga yang diminta oleh bulan biru sebelum gerhana matahari cincin terjadi. Saat bulan menghalangi cahaya matahari untuk sampai ke bumi."

Narayan tercenung, berusaha mencerna perkataan ibunya dengan baik. Namun, ia tak diberi banyak waktu. Ibunya mulai merapatkan kedua telapak tangan dengan kalung berlumur darah itu berada di antaranya, ia memejamkan kedua mata rapat-rapat dan bergumam pelan dalam bahasa yang tidak dipahami oleh Narayan.

Laki-laki itu merasa seperti sedang berada dalam sebuah ritual. Selagi ibunya terus mengucapkan hal-hal yang tidak ia mengerti, angin mulai berembus semakin kencang dari berbagai arah, menerbangkan apa saja yang ada di sekitar. Suasana menjadi semakin mencekam dengan langit yang kian menggelap seolah menelan habis seluruh bintang yang hadir malam itu. Gemuruh dari tanah yang mulai bergetar hebat melengkapi suasana menegangkan di sekitar mereka. Tak lama kemudian, segalanya berhenti seketika. Suasana kembali senyap seolah tak terjadi apa-apa saat ibunya mengucapkan satu kalimat terakhir yang menjadi penutup.

"Kepadamu bulan biru, ia akan membayar harga yang sesuai dengan keinginanmu."


*

*

*


Yorobuuun, I MISS YOU SO MUCH💚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Yorobuuun, I MISS YOU SO MUCH💚

Gimana, nih, prolog-nya? Semoga rasa rindu kepada Tuan Na sedikit terobati, ya?

Chapter 01 akan segera menyusul tanpa harus menunggu minggu depan ^3^

Jangan lupa berikan banyak cinta dan dukungan pada cerita ini. Vote dan komentar dari kalian bisa bikin Rin makin semangat buat nulis /emot peluk cium/

with love, belovedhaechan

Vhallscavepe: Tales of the Dead Sea [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang