02 | NARAYAN

283 55 42
                                    

"Sebenarnya ... kami sudah menikah."

Setelah mengucapkan itu, aku tahu bahwa aku bisa saja mati di tangan ayah Maira pagi ini. Potongan tubuhku akan ditemukan di halaman rumah mereka dan namaku akan selalu muncul di berita utama selama sebulan ke depan. Namun, aku memilih untuk tetap mengungkapkannya saat ini juga, mungkin saja mereka bisa menerimanya dengan baik dan langsung mengizinkanku untuk membawa putri mereka tinggal bersamaku. Meski Maira sudah pernah bilang bahwa pernikahan tanpa restu orang tua itu adalah hal yang tak diperbolehkan, aku tetap ingin mengatakan kebenarannya tanpa harus repot-repot meminta restu. Aku tidak mengerti kenapa harus meminta restu orang lain saat pernikahan ini akan dijalani oleh kita sendiri, tapi mungkin seperti itulah nilai keluarga yang tidak aku ketahui selama ini.

"HAHAHAHAHA." Tawa berat dari ayah Maira menggelegar. Jujur saja aku sedikit terperanjat, kupikir ia mungkin akan melemparku dengan cangkir teh yang masih berada di antara jemarinya. "Lucu sekali, hahaha. Papa suka lelucon pacar kamu ini, kayaknya dia orang yang menyenangkan."

Di sebelahku Maira ikut tertawa, tentu saja tawa yang dibuat-buat. Sebab satu tangannya kini mencubit pinggangku dengan cukup keras, aku nyaris menggigit lidahku untuk menahan rasa perihnya tanpa berteriak. Ujung jemarinya seolah bisa mengeluarkan api, meski cubitan itu telah terlepas, rasa panasnya masih menyengat permukaan kulitku.

"Hahaha. Narayan memang suka bercanda orangnya, Pa. Iya, kan, Sayang?" Segera saja aku mengangguk setuju saat Maira menoleh padaku dengan senyum menakutkan.

"Aduh, mama kaget banget, lho. Kirain kalian bener-bener udah nikah selama Maira menghilang dulu. Aduh, jantungku."

Aku hanya bisa tersenyum canggung dengan sedikit rasa bersalah, ibunya Maira terlihat paling kaget. Kini beliau sedang mengelus dada sambil terus menghela napas lega. Apa salahnya jika kami sudah menikah? Bukankah itu bagus? Dunia ini memang aneh.

Spontan aku ikut tertawa, mengikuti skenario bahwa ucapanku tadi sebenarnya hanya guyonan tak berdasar untuk membuat mereka tertawa. "Maaf maaf, apa lelucon saya keterlaluan?"

"Ya, keterlaluan sekali Tuan Na. Kesan pertama yang sangat buruk untuk saat bertemu dengan orang tua kekasihmu." Jawaban spontan Maira dipenuhi kekesalan, aku tahu betul ia tidak bermaksud mengatakan hal itu. Tapi aku yang menjalankan pertunjukan sekarang, jadi dia tidak bisa begitu meluapkan rasa marahnya. Ia masih takut aku akan salah bicara lagi.

"Tidak. Tidak keterlaluan sama sekali. Saya suka orang seperti kamu." Pria berusia hampir setengah abad itu membuka salah satu stoples kue di atas meja. Mengambil sekeping kue kering cokelat bertabur choco chips di atasnya.. "Orang yang tingkah lakunya terlalu canggung akan membuat suasana menjadi suram, tapi orang yang pandai membawa diri seperti kamu ini adalah kesukaan saya. Pandai menghidupkan suasana. Hahaha."

Oke. Catat.

Karena dia suka candaan, jadi aku bermaksud untuk kembali melontarkan hal lucu yang mungkin bisa membuatnya lebih senang lagi. "Benar sekali, Om. Tapi biasanya orang-orang dengan wajah galak seperti Om ini jujur saja bisa bikin orang-orang jadi merasa canggung. Hahaha."

Wajah beliau seketika berubah datar, tawanya pun luntur seketika. Apa aku salah bicara? Kulirik Maira menggelengkan kepala sambil memijat pelipisnya. Namun, perasaanku menjadi sedikit tenang saat kudengar ibunya Maira yang terkekeh pelan sambil menutup mulutnya dengan satu tangan yang terkepal.

Ah, ternyata manusia rumit sekali. Aku jadi serba salah dalam berucap.

"Muka papanya Maira ini emang kayak preman." Masih dengan gelak tawa yang sangat bersahabat, ibu Maira tersenyum begitu menawan. Aku terpaku untuk satu detik, senyum itu sangat familier dan menghangatkan hatiku. Sekarang aku tahu dari mana Maira memperoleh keindahan senyumnya, dia memiliki seorang ibu yang sangat cantik dan anggun.

Vhallscavepe: Tales of the Dead Sea [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang