12 | MAIRA

160 41 4
                                    

Kereta kuda yang kutumpangi bersama Narayan dan Lovi berhenti tepat di depan gerbang perbatasan kota Eruvel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kereta kuda yang kutumpangi bersama Narayan dan Lovi berhenti tepat di depan gerbang perbatasan kota Eruvel. Tidak seperti dulu, suasananya terlalu senyap. Dulu dari gerbang ini sudah bisa terdengar oleh kedua telingaku keramaian dan kesibukan para pedagang pasar yang saling tawar-menawar dengan pembeli, bagaimana kereta kuda tak berhenti datang dan pergi melalui gerbang ini mulai dari fajar sampai senja. Tawa anak kecil yang berlarian saling mengejar, aku masih mengingat semuanya dengan jelas seolah baru terjadi kemarin. Kini pintu kayu raksasa itu terbuka lebar tanpa ada pengunjung selain kedatangan dua kereta kuda kami. Kereta kuda yang satunya ditumpangi oleh Hendery, Zen, dan Kieran. Entah mengapa hantu masa lalu itu selalu ingin ikut menyertai kami, beruntungnya ia tak harus ikut tinggal di kastil Narayan. Ia bilang memiliki tempat tinggalnya sendiri dan tiba-tiba muncul di teras kastil pagi tadi saat kami hendak meninggalkan hutan Dreafts.

Sepi, hanya itu kata yang bisa kugunakan untuk menggambarkan bagaimana keadaan pasar Eruvel saat kini kami mulai berjalan menyusuri jalan besar. Kota Eruvel seolah telah lama mati, banyak kedai dan butik yang sudah tutup. Bahkan toko kue kenalan Narayan yang selalu memberi muffin gratis terlihat terbengkalai, ada tumpukan dedaunan kering di depan pintu masuk. Toko bunga tempat Hayden pernah membeli bunga matahari untukku juga tak lagi ada di tempatnya, keranjang dan vas bunga di dalam toko itu sudah sangat berdebu. Beberapa toko yang masih bertahan pun terlihat tak sehidup dulu, bahkan Duxerior tak lagi memamerkan banyak varian roti di lemari pajangan mereka. Semua ini membuat air ludahku tiba-tiba saja terasa pahit, kondisi pasar Eruvel benar-benar sudah jauh berbeda dari saat aku pertama kali menginjakkan kaki di tempat penuh keajaiban ini.

Samar-samar telingaku mendengar bunyi sebuah lonceng pintu yang terbuka dari kejauhan, sepertinya berasal dari toko jam yang dijaga oleh burung gagak menakutkan dua blok di depan kami. Bunyi lonceng kecil itu serupa kilatan masa lalu yang berhasil menarik ingatanku pada restoran mewah penuh bunga yang pria cantik bertubuh kurus.

"Evorry!" Telapak tanganku meraih lengan besar Narayan dan mengguncangnya beberapa kali. "Kita harus ke Evorry sekarang!"

"Evorry yang kau maksud ... milik Tuan Arjun?" Suara lembut Zen bagai riak air yang memecah tenangnya permukaan danau. Sangat sopan menyapa indra pendengaran.

"Tolong jangan bilang Evorry juga sudah mati. Kumohon."

Zen membalas dengan senyuman getir. "Tentu saja Evorry tidak mati, Nona. Hanya saja ... mereka sudah pindah ke lingkungan lain." Zen menendang pelan kerikil tak bersalah yang berada di sekitar tanah yang ia pijak dengan langkah anggun.

"Tuan Arjun pandai melihat peluang bisnis. Jadi saat menyadari pasar Eruvel tak lagi menguntungkan, ia tergesa-gesa menjual gedungnya dan pindah ke pusat kota. Kini tempat itu sudah menjadi toko perabotan dapur."

Kesedihan memenuhi rongga dadaku saat Zen menyelesaikan ucapannya. Aku tertegun lama sampai tak lagi tahu harus mengucapkan apa untuk memberi tanggapan, seolah ada lahar panas di lidahku yang membuatnya kehilangan kemampuan untuk melisankan satu huruf saja. Aku bahkan tidak bisa menahan bulir-bulir air yang menggenang dalam mataku hingga cairan sebening kristal itu mengalir turun membentuk jejak-jejak lurus di kedua pipiku. Menyadari hal itu membuat Narayan lantas mendekap bahuku lebah erat, telapak tangannya mengusap-usap lenganku dengan lembut sebagai upaya untuk menenangkan yang jujur saja tidak begitu efektif.

Vhallscavepe: Tales of the Dead Sea [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang