11 | MAIRA

173 37 15
                                    

Derit pintu kayu yang bergesekan dengan lantai menjadi alarm bangun pagi selagi aku masih terlelap di atas tempat tidur. Aroma sedap masakan mulai menyelinap masuk dari pintu kamar yang baru saja dibuka, menggelitik penciumanku untuk semakin mengumpulkan kesadaran. Tanpa membuka mata sekali pun bisa kupastikan Narayan masih tidur pulas di sisiku, sebab bisa kurasakan satu tangan beratnya sedang beristirahat di atas perutku. Lalu siapa yang baru saja membuka pintu? Lekas saja aku membuka mata, sebab rasa kaget dan penasaran kini bercampur menjadi satu dalam dadaku.

"Aku sudah mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Maaf sudah lancang begini."

"Glen?" Mataku harus menyipit demi menyesuaikan intensitas cahaya yang memaksa masuk ke dalam retinaku.

Kulihat ia sedikit menyingkir untuk membiarkan sekelompok Leavins yang cekikikan lewat sambil membawa peralatan kebersihan. Sudah jam berapa ini?

"Sarapan sudah siap di meja makan, aku dan Lovi akan menunggu. Tolong bangunkan Tuan Na." Tepat di ujung kalimatnya, Glen mengambil langkah mundur dan langsung menutup pintu kamar tanpa menungguku memberi respons.

Kejadiannya terlalu cepat, sampai aku harus tercenung untuk lima detik dan mencerna apa aku benar-benar sudah bangun atau masih bermimpi. Narayan mengeratkan pelukannya dan semakin membenamkan wajah di ceruk leherku, alisnya sedikit mengerut karena merasa tidurnya baru saja terganggu oleh berisiknya Leavins yang sedang membersihkan ruangan di sebelah kamar kami.

Gelagatnya sukses mengundang senyuman kecil di bibirku. Rambutnya yang berantakan dan kulit wajahnya yang sedikit berminyak karena tidur terlalu lama justru menjadi pesona tak terbantahkan. Sungguh, aku rela menukar apa pun demi mendapatkan pemandangan pagi seindah ini sampai akhir hayatku. Narayan yang sedang tidur adalah salah satu sisi dirinya yang menjadi favoritku. Matanya terpejam dengan raut polos, deru napasnya berembus tenang, juga aroma tubuhnya yang menjadi ekstasi tak habis-habis, rasanya ingin kusimpan untukku seorang.

Aku menggerakkan jemariku untuk mengusap rambut yang menutupi keningnya dengan lembut, kemudian mendekatkan bibirku dan mendaratkan satu kecupan singkat di sana.

"Narayan," bisikku pelan. "Waktunya bangun."

Tubuhnya sedikit menggeliat, ia menggaruk pelan pipi kirinya dengan mata yang masih terpejam rapat lalu kembali memelukku. "Setengah jam lagi."

Jawaban yang sedikit berbeda dari orang-orang pada umumnya.

"Setengah jam itu terlalu lama, Narayan. Glen dan Lovi sudah menunggu di meja makan."

Ini pertama kalinya kami tidur sekamar lagi, setelah satu tahun penuh menjalani hubungan asmara dengan status sebagai pasangan kekasih membuatku nyaris lupa bahwa kami sudah pernah melangsungkan pernikahan di negeri ini. Sekarang aku mengerti kenapa rajutan cinta dalam ikatan pernikahan itu jauh lebih sakral, mengapa rasanya jauh berbeda dari sekadar memadu kasih sebagai pasangan biasa tanpa ikatan resmi. Sebab dalam pernikahan, ada ikrar yang sudah kita lantunkan di hadapan Tuhan. Bersumpah kepada-Nya bahwa pasangan yang telah digariskan untuk menjadi pendamping hidup ini adalah ia yang akan terus kulangitkan namanya dalam doa-doa baikku. Meyakini bahwa hanya dengan bersamanya, segala takdir baik bermula.

Narayan membuka kedua matanya, warna kelabu yang tak pernah luntur itu mulai menelisik setiap sudut wajahku. Namun, setelah menghela napas berat, ia kembali memejamkan matanya sekali lagi dan berkata, "Semalam saat kau sudah tidur, aku membicarakan beberapa hal dengan Nenek Mago."

"Apa aku boleh tahu kalian membicarakan apa?"

Narayan melepaskan pelukan hangatnya, kini ia tidur dalam posisi terlentang menatap langit-langit kamar. Guratan wajahnya terlihat datar, tatapan matanya tidak bisa bohong bahwa pikirannya sedang bercabang ke mana-mana. Dihirupnya udara sampai dadanya penuh, seolah ada beban berat yang baru saja diletakkan di kedua bahunya. Kami menghabiskan waktu dua menit dengan saling diam. Aku tidak yakin harus mengalihkan pembicaraan dengan langsung menarik tangannya atau tetap diam dan menunggunya untuk mulai bercerita. Yang jelas, sinar wajah Narayan saat ini meredup. Dan aku tidak ingin merusak pagi pertama kami di Vhallscavepe dengan suasana hati yang buruk.

Vhallscavepe: Tales of the Dead Sea [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang