14 | MAIRA/NARAYAN

217 30 20
                                    

MAIRA

Langit cerah menyelimuti Eruvel pagi itu, awan permen kapas masih saja memukau. Mungkin saja ada bangsa peri awan yang juga hidup di atas sana. Aku lagi-lagi terbuai oleh kemagisan Vhallscavepe, terutama saat gerombolan kurcaci yang membawa cangkul dan sekop melintas tak jauh dari tempatku dan Nenek Mago kini sedang terduduk.

Dia mengajakku berkeliling saat tak sengaja melewati lorong istana tempatku berad, menunjukkan bungai teratai yang tumbuh di kolam dekat pepohonan dedalu tinggi menjulang di tepian.

"Para kurcaci itu akan ke mana?"

"Kurcaci?" Nenek Mago mengerutkan alis, matanya menuju pada apa yang menjadi fokusku. "Itu Groder. Bangsa kerdil yang ahli dalam pembangunan ruang bawah tanah, mungkin ada yang perlu diperbaiki di sekitar sini."

"Bukan kurcaci?"

"Kurcaci itu apa, Maira?"

Nenek Mago melambaikan tangannya pada para Groder saat mereka ramai-ramai bersorak menyapa. Barulah aku menyadari, wajah bangsa kerdil itu terlihat seperti bocah tujuh tahun. Berbeda dengan kurcaci bertampang tua dan wajahnya ditumbuhi jenggot putih dalam kartun-kartun, Vhallscavepe memang tidak pernah sesuai dugaanku sejak awal aku datang.

"Oh, iya. Boleh aku menanyakan sesuatu?" Nenek Mago tak berniat menatapku saat ia menganggukkan kepala. Satu tangannya berayun di udara, membuat beberapa bunga yang sudah layu kembali mekar dengan warna yang jauh lebih hidup.

Aku menelan ludah. "Sebenarnya ... saat kita pertama kali bertemu di penyeberangan jalan. Apa kau sengaja mendatangiku karena tahu bahwa aku adalah cucu dari cinta pertamamu?"

Mengorek kembali kisah yang sudah terkubur selama puluhan tahun lebih sejujurnya membuatku tidak enak hati. Kini kilau mata Nenek Mago berubah sendu, ibarat seseorang yang terpaksa bertegur sapa dengan patah hati terbesarnya. Getaran kesedihan itu mencapai relung hatiku, sedikit menyesal karena harus menuruti rasa penasaran yang egois. Kini tatapannya menerawang pada gunung nun jauh di sana, kabut tebal menggelayut di puncaknya gunung. Aku hanya bisa menundukkan kepala, menatap daun rumput yang menjadi tempat kakiku berpijak malas.

"Cinta pertamaku sudah kutinggalkan jauh di belakang, Maira. Benar, kakekmu adalah sosok pertama yang mengganjal dalam hatiku. Tapi itu dulu, Maira. Dulu sekali." Mengembuskan ekshalasi panjang, Nenek Mago lantas tersenyum lembut kepadaku.

"Juga benar, aku mendatangimu karena tahu bahwa kau adalah keturunannya."

Terkesiap cukup nyaring membuatku buru-buru membekap mulut sendiri dengan telapak tangan. Nenek Mago terkekeh.

Dia belum move on?

"Aku menghabiskan banyak waktu memperhatikan kakekmu diam-diam di sana, mengawasi dari kejauhan hanya untuk menawar rindu. Sakit sekali saat menyaksikannya mulai tertarik pada perempuan lain, aku tidak tahu bahwa hal itu akan menjadi patah hati yang terasa seperti maut."

Membayangkan sendiri kejadian itu membuat mataku terasa panas, penderitaan itu sudah pernah menghampiriku. Saat Hendery memutuskan untuk memperjuangkan gadis impiannya.

"Masalahnya, Maira, meski ia sudah membangun keluarga kecilnya sendiri, entah mengapa aku tidak bisa berhenti mencintainya. Bahkan sampai saat ini, saat aku menceritakan semua ini padamu." Kuperhatikan lamat-lamat wajah senja itu, diam-diam tumbuh rasa penasaran baru dalam dadaku. Tapi Nenek Mago lanjut berbicara, "Aku adalah calon penyihir agung kala itu, semua orang mengatakan bahwa kami tak seharusnya bersama, bahwa perasaan kami adalah sesuatu yang tidak sepantasnya untuk dibiarkan tumbuh. Sebab manusia biasa dan penyihir agung serupa langit dan bumi. Jauh."

Kini aku mendapat benang merahnya. Ini seperti perbedaan kasta; bangsawan dan rakyat jelata. Ada tembok tinggi yang harus mereka hancurkan, sayangnya, tembok itu seolah terbuat dari besi baja yang terlampau tebal.

Vhallscavepe: Tales of the Dead Sea [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang