Bagian Ketiga

33 4 0
                                    

♡♡♡

***

Hari itu adalah hari yang indah jika saja Papa dan Mama tidak memarahiku seharian. Dua minggu lagi sudah mulai masuk musim ujian akhir semester. Orang tuaku memarahiku karena aku selalu bermain game di komputer. Belum lagi ketika aku beberapa kali membolos pelajaran dengan pergi makan di kantin ataupun ke ruang uks untuk tidur siang.

Kini mereka melarangku untuk bermain komputer, dan mengancamku untuk menyita konputer dan ponselku selama musim liburan nanti hingga aku lulus SMA jika aku mendapat nilai yang buruk di kelas sebelas ini.

"Mama kan udah bilang ke kamu, kalo kamu harus serius di semester dua. Kenapa kamu bandel banget sih dibilangin?" tanya Mama dengan nada marah. Aku hanya bisa menunduk mendengarkan Mama.

"Mama sama Papa nggak minta kamu buat dapet juara kelas. Cuma, jangan bolos aja dan mulai serius ngejar apa yang kamu mau, apa yang kamu pengen!" Mama mengambuskan napas pelan, lalu melanjutkan dengan nada yang sedikit tenang. "Mama nggak mau nanti kamu pusing sama masa depan kamu. Mama mau kamu mulai mikirin kamu mau jadi apa, mau kuliah di mana, ambil jurusan apa. Asal kamu udah nentuin itu, Mama sama Papa bakal support apapun keputusan kamu."

Aku terdiam.

Apa yang aku mau? Jurusan kuliah? Kuliah di mana?

Aku sama sekali belum memikirkannya. Mendengar Mama mengatakan segalanya, itu membuatku berpikir tentang masa depan.

Bagaimana jika aku salah memilih?

Mama mengambuskan napas pelan. "Sana panggil Kakak kamu buat makan bareng." Kata Mama yang kemudian bangkit dan menuju ke dapur.

Aku berjalan menuju ke kamar Kak Zahra dengan kepalaku yang penuh pertanyaan.

Saat aku mengetuk pintu Kak Zahra, dia tengah mengetik sesuatu di depan laptop. Aku mendekat dan duduk di ranjang samping meja belajarnya. Aku menatapnya yang kini mencondongkan kepala mendekat pada laptop.

"Mama bilang buat makan di bawah." Kataku yang dibalas gumaman oleh Kak Zahra.

Aku menatap Kakakku dalam diam. Dia terlihat fokus dalam pekerjaannya. Yang kutahu, dia telah menyelesaikan studinya dengan sidang skripsinya minggu lalu. Dia mengatakan bahwa kemungkinan dia akan wisuda bulan depan jika semuanya benar-benar selesai.

"Kenapa lu masih di sini?" tanya Kak Zahra. Aku tidak merespon pertanyaannya, dan justru menanyakan hal lain.

"Kak, lu pernah bingung nggak sih?" tanyaku. Kak Zahra terkekeh.

"Ya pernah lah. Kenapa? Lu abis dimarahin apa sama Mama?" tanya Kak Zahra. Lagi, aku tidak memedulikan pertanyaannya.

"Lu bingung apaan?" tanyaku. Kak Zahra menoleh padaku, lalu menatapku. Dia mengembuskan napasnya pelan dan melepas kacamatanya. Kini dia mengubah posisi duduknya menghadapku.

"Banyak hal." Kata Kak Zahra. Lalu, "Waktu gua seumuran lu, gua bingung sama karir gua ke depannya gimana. Gua mau apa setelah lulus SMA. Cari kerja, atau kuliah? Kalaupun kuliah, gua mau ambil jurusan apa? Hal-hal semacam ini sih yang gua bingung." Kata Kak Zahra.

"Terus, lu diomelin nggak sama Mama?" tanyaku lagi. Kak Zahra terkekeh. "Kagak." Jawabnya singkat.

Aku terdiam beberapa saat setelahnya. Kak Zahra tersenyum. "Lu kalo punya hal yang pengen lu lakuin, lakuin aja. Nggak perlu buru-buru, tapi juga jangan nggak peduli. Abis ini lu kelas tiga SMA kan, mulai deh lu pikirin mau jadi apa. Terus juga, kurangin tuh bolos kelas." Nasihatnya. Aku mengembuskan napas. Apa yang dikatakan Kak Zahra sama dengan yang diucapkan Mama.

When A Boy, Loves A WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang