***
Hari-hariku terlewat begitu saja setelah malam di mana aku melihat Kak Oca memeluk seorang pria. Aku berusaha mengalihkan pikiranku dengan fokus mengerjakan tugasku serta proyekku bersama Mika dan Sungjae. Kurasa Mika, yang selalu bersamaku, memahami ada yang salah denganku.
"Kenapa lu?" tanya Mika, menggunakan Bahasa Indonesia agar Sungjae yang duduk di sebelahku tidak tahu percakapan kami.
Aku hanya tersenyum kecut. Mika berdecak.
"Lagi seret duit lu?" tanyanya. Aku menggeleng.
Mika mendorong naik kacamatanya. "Putus cinta lu?" tanyanya lagi. Aku meliriknya. Mika mengembuskan napas seolah-olah berkata 'bener, kan?'.
"Putus apanya, orang perasaan searah." Lirihku. Mika memberikan tatapan 'HAH?'-nya padaku.
Aku berdecak. "Udahlah jangan pake Bahasa Indonesia. Bukan rahasia negara juga, Sungjae tau nggak papa kok." Ucapku memakai Bahasa Korea agar Sungjae juga mengerti. Sungjae menoleh padaku.
"Ngomongin apa?" tanya Sungjae. Mika mendekat lalu berbisik padanya. "Asa lagi patah hati."
Sungjae langsung menoleh padaku dan memberikan tatapan yang sama dengan Mika yang keheranan. Lalu kemudian mimik wajahnya berubah tenang. "Santai, lu tinggal pilih aja cewe di angkatan kita. Mereka pada ngantre jadi cewe lu tuh!" kata Sungjae.
Aku berdecak pelan. "Jangan ngaco deh. Udah udah bubar. Kerjain tugasnya." Ketusku. Mika dan Sungjae menaikkan bahu mereka lalu kembali fokus pada tugas mereka. Aku mengembuskan napas pelan dan ikut kembali fokus pada pekerjaanku.
Sepulang dari kuliah, aku pergi ke kedai kopi langgananku untuk bersantai membaca buku materi. Saking fokusnya, aku tidak sadar akan kehadiran seseorang di depanku. Barulah saat orang itu mengetuk pelan meja, aku mengdongak dan melihat Kak Oca sedang tersenyum padaku.
"Lagi nunggu orang?" tanyanya. Aku menggeleng sebagai jawaban. Kak Oca tersenyum, lalu dia mengambil duduk di seberangku.
Kak Oca melepas mantelnya lalu menatapku dengan senyuman di wajahnya.
"Kenapa?" tanyaku. Kak Oca berdecak. "Cuek banget deh buset." Protesnya. Aku mengembuskan napas pelan. Kemudian senyuman Kak Oca kembali.
"Aku lupa minta kontak kamu. Buru-buru sih kemarin. Aku juga lupa nggak tanya tempat tinggal kamu di mana, atau kamu kuliah di mana. Jadi ya susah buat ketemu sama kamu." Ucap Kak Oca. Aku hanya menatapnya.
Buat apa? Apa karena mantel dia masih sama gua?
Kak Oca tersenyum lagi. "Tapi aku inget kamu bawa cup kopi dari kedai kopi sini. Jadi ya aku beberapa kali mampir ke sini buat cari kamu." Lanjutnya. Aku mengerjap.
"Besok deh gua balikin mantelnya." Balasku. Kak Oca mengernyit.
"Kenapa bahas mantel?" tanyanya bingung. Aku ikut mengernyit bingung.
Jadi, dia cari gua mau ngapain?
Kak Oca tidak memedulikan topik mantelnya. "Gimana adaptasi kamu di sini? Kamu bilang udah masuk tahun kedua, berarti kamu udah setahun di sini, ya kan?" tanya Kak Oca. Aku mengangguk sebagai jawaban. Kak Oca tersenyum.
Kenapa? Kenapa lu tanya hal-hal nggak penting gitu?
Kenapa lu nggak jelasin alasan lu menghilang?
Kenapa lu malah bersikap seolah-olah nggak terjadi sesuatu?
"Kamu udah kebiasa sama lingkungan sini?" tanya Kak Oca lagi. Aku mengangguk lagi. Wanita di hadapanku mengembuskan napasnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When A Boy, Loves A Woman
RomancePertama kali aku mengenalnya, saat itu aku masih duduk di bangku kelas dua SMP. Yang kutahu, dia adalah sosok yang mandiri dan pekerja keras. Di balik jemarinya yang lentik, ada cerita bahwa dia melalui begitu banyak waktu yang berat. Kantung matany...