08. Adira Sakit
Suasana kantin di jam makan siang penuh oleh mahasiswa dan juga dosen serta pegawai kampus yang mencari makan siang. Kantin universitas di kampus ini terkenal dengan harga yang ramah kantong dan juga lengkap.
Dylan dan teman-temannya bersyukur karena masih mendapatkan tempat duduk. Karena biasanya di jam ini tidak ada meja kosong.
"Kalian mau makan apa?" tanya Malik.
"Lo tanya, mau beli?" Bukannya menjawab Dylan balik bertanya, karena tidak biasanya Malik seperti ini.
"Abid lah," tunjuk Malik pada Abid yang pasrah.
"Lo jangan mau di suruh manusia satu ini," omel Dylan karena Abid selalu mengalah.
"Biar gak ribet."
"Gak usah ribut. Nih! Tulis mau menu makanan apa? Gue yang beli hari ini," ucap Raden menengahi dua temannya yang kembali bertingkah seperti anak kecil.
Malik segera menulis menu makanan yang dia inginkan di kertas yang disodorkan oleh Raden. Lalu berganti Dylan yang menulis, terakhir Abid. Karena semua sudah menulis menu makanan, Raden segera pergi untuk memesan. Namun, baru saja berdiri ponsel Raden berdering, ada notifikasi pesan masuk dari adiknya
📩Kesayangan Bunda
Mas, nanti pulangnya tungguin. Ini mau nemenin Dira dulu✉️Raden [Anda]
Dira kenapa?📩Kesayangan Bunda
sakit.
Udah ditawarin biar dianter tapi nolak. Katanya udah di jemput Om Zai✉️Raden [Anda]
Ya udah ditungguin dulu. Kalo mau pulang kabarin, jangan lupa makan siang jugaPlak... Raden memukul Dylan dengan keras. Dia terkejut karena Dylan berdiri disampingnya, padahal tadi Dylan ada di samping Abid.
"Bjiiir! Panas cok!" umpat Dylan mengusap lengannya yang terkena pukulan Raden yang kini menatap datar.
"Eh! Dira sakit apa?" tanya Dylan melupakan rasa panas di lengannya.
"Udah ada yang ngurus. Sana duduk lo!" titah Raden berlalu pergi.
"Jawab cok!" teriak Dylan membuat seisi kantin menoleh padanya. Jika para gadis menatap memuja, sedangkan para laki-laki menatap heran.
Dylan yang sadar dengan tingkah memalukannya segera kembali duduk di tempat. Bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia menoleh pada Abid yang tetap tenang. "Malu cok," bisiknya.
"Sadar diri perlu," nasehat Abid pada Dylan sambil beranjak pergi.
"Mau kenapa lo?" tanya Malik.
"Kamar mandi."
****
Baba Zaidan langsung menghampiri Adira ketika mendapat kabar putrinya sakit. Rapat yang harus dia hadiri, dia tinggalkan pada Nando yang masih menjadi asistennya.
Sampai di kampus, Baba Zaidan masuk sampai depan kelas Adira. Sampai banyak yang memandang heran padanya. Tapi Baba Zaidan tak mengindahkan hal itu, karena yang terpenting saat ini adalah putrinya yang sakit.
Hal pertama yang Baba Zaidan lihat adalah wajah pucat Adira yang memejamkan mata dengan bersandar pada temannya.
Baba Zaidan mendekat, mengarahkan punggung tangannya pada kening Adira. "Ya allah Kak," lirih Baba Zaidan yang merasa panasnya tubuh Adira.
Adira membuka mata saat merasakan sentuhan tangan Baba Zaidan di keningnya. Dia tersenyum, "Assalamualaikum Baba."
"Wa'alaikumussalam. Kakak masih kuat jalan?" Adira mengangguk pelan.
Baba Zaidan langsung mengucapkan terima kasih kepada dua teman putrinya. "Terima kasih sudah jaga putri, Om."
Adesya dan Syafa mengangguk dengan kaku.
Setelah berterima kasih, Baba Zaidan berpamitan langsung. Baba Zaidan juga langsung mengangkat Adira, walau putrinya menolak dan ingin berjalan sendiri. "Baba! Dira malu dilihati orang," bisiknya.
"Dira gak usah pikiri kata orang. Yang terpenting saat ini kesehatan Dira," tegas Baba Zaidan.
Setelah menurunkan Adira di kursi penumpang, Baba Zaidan segera berputar ke kursi pengemudi. Sebelum melajukan mobilnya, Baba Zaidan kembali memeriksa keamanan putrinya. Setelah merasa aman, barulah Baba Zaidan melajukan mobilnya meninggalkan kampus putrinya.
****
Adesya dan Syafa saling pandang setelah mobil Adira melaju jauh. Mereka saling pandang karena merasa panas dengan mahasiswi yang mulai bergosip karena penasaran.
"Pacar kah?"
"Bisa jadi."
"Gue sering liat di depan kampus setiap pulang."
"Yang bener aja?"
Adesya langsung menarik Syafa ke kantin, kupingnya benar-benar terasa panas. Mulutnya ingin sekali mengumpati para perempuan yang menggosip tentang Adira. "Tahan, Sya."
"Hem," jawab Adesya.
Sampai di kantin, Adesya bertambah kesal lantaran semua meja sudah terisi penuh. "Ada aja yang buat gue emosi," heran Adesya.
"Sabar Neng! Makan diluar aja," ajak Syafa.
Baru akan menarik Adesya, gadis itu lebih dulu menariknya ke meja kakak tingkat. "Jangan lah Sya," mohon Syafa agar mereka tidak semeja dengan kakak tingkat.
"Gapapa. Cuman Mas sama temen-temennya kok."
Adesya menyapa langsung pada Raden. "Mas, Esya sama Syafa duduk sini ya? Mau makan baru nanti pulang."
Tanpa menjawab, Raden memberikan kode pada Malik untuk bergeser ke sebelahnya. "Duduk sana!" titah Raden pada tempa duduk bekas Malik.
"Makasih," ucap Adesya dan Syafa.
Dylan yang kembali teringat pada Adira langsung menggunakan kesempatan itu untuk bertanya. "Dira udah balek?"
"Lo nanyak sama kita, Kak?" tanya Adesya.
"Temen Adira siapa kalo bukan kalian?"
Adesya mengangguk. "Dira udah balik," jawabnya.
"Sama siapa?"
Tuk. Syafa menaruh sendoknya dengan lebih keras sehingga menimbulkan bunyi nyaring. "Kita lagi makan. Bisa tanya nanti?" tegas Syafa.
"Oke."
Setelah Syafa dan Adesya selesai makan, Dylan kembali bertanya tentang Adira sebelum keduanya kembali pergi. "Dira pulang sama siapa?"
"Sama Babanya," jawab Adesya.
"Oke. Thank."
Syafa langsung pamit pulang lebih dulu, disusul Adesya dan Raden. Tersisa Dylan, Abid, dan Malik yang menatap tajam ke arah Dylan.
"Lo suka Dira?" Sebuah pertanyaan yang terdengar ringan, tapi berat ketika dipahami.
"Enggak," sanggah Dylan.
"Lan. Kita temenan udah lama, lo gak bisa bohong,” ucap Malik. Dia sudah sejak tadi menahan diri untuk tidak bertanya. Tapi karena melihat Dylan yang kembali bertanya tentang gadis bernama Adira, Malik yakin ada sesuatu di antara mereka.
"Ehem!" Abid sengaja berdehem, dia yang memang sudah tahu dari awal. Tapi tetap memilih untuk diam agar semua tahu dengan sendirinya.
"Lo belum dhuhur. Sholat dulu," ajak Abid. "Lo gak mau ikut?" tanya Abid pada Dylan.
Dylan menggeleng. "Enggak. Gue mau langsung balik. Nyokap udah nungguin, gue janji mau nganter belanja sebelum ke gereja."
Abid menepuk pundak Dylan, "Salam buat Om sama Tante dari gue sama Malik."
"Oke."
Dylan kembali menyandar pada sandaran kursi. Malik kembali menyadarkannya tentang perbedaan antara dirinya dengan Adira. Seorang muslimah yang dengan mudah membuatnya jatuh hati di pertemuan pertama mereka.
“Ya Tuhan,” bisik Dylan.
#15Mei2024

KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih Dylan✓
SpiritualNazima Adira Alifa Al-Ghifari, gadis berusia 18 tahun yang baru masuk ke dunia perkuliahan. Di usia yang baru beranjak dewasa ini merupakan masa pencarian jati diri. Di masa ini pula, dia jatuh cinta. Jatuh cinta adalah fitrahnya manusia, setiap man...