03. Izin Kuliah
Seorang gadis makan dengan perlahan, membuat keluarganya khawatir. Wajahnya masih terlihat pucat, walau senyum tipis sudah dia tunjukkan.
"Kakak hari ini gak usah kuliah, Baba sudah izinkan."
Adira mengangguk patuh, dia tak mau memaksakan diri. Badannya masih terasa lemas. "Makasih, Ba."
Baba Zaidan mengangguk, "Buat istirahat dulu. Baba berangkat," pamit Baba Zaidan. Sebelum berangkat, Baba Zaidan menyempatkan untuk mengecup puncak kepala putri bungsunya lalu tidak lupa istri tercinta. "Kalo ada apa-apa, kabari Abang," pesannya.
Umma Aira mengangguk, "Iya, Bang. Abang hati-hati, ini bekal hari ini. Semoga Abang suka."
"Ehem!" Aldo yang masih disana duduk di samping sang kakak sengaja berdehem dengan keras. "Ini masih pagi, Baba dan Umma tersayang."
"Bilang aja kamu iri. Inget! Sekolah dulu, awas kalo Baba tahu kamu berani ajak anak orang pacaran!"
"Iya, Aldo tahu Ba."
"Ayo berangkat! Pamit kakak dan Umma mu," titah Baba Zaidan.
Aldo segera beranjak dari duduknya, dia berpamitan pada kakaknya. "Gue berangkat dulu. Lo mau titip apa gitu? Ntar pulang gue beliin."
"Cilok," jawab Adira.
"Oke."
Kemudian, Aldo berpamitan pada Umma Aira dan kedua laki-laki keluarga Al-Ghifari itu berangkat bersama.
****
Dua orang gadis duduk melamun, mereka merasa bosan karena hanya berdua. Jika biasanya ada Adira yang akan selalu menimpali obrolan Adesya, membuat hidup suasana.
"Lain kali, kalo Dira makan seblak. Mau gue pesenin level nol aja," celetuk Adesya memecahkan keheningan di antara keduanya.
"Setuju," jawab Syafa.
Keduanya segera membuat kesepakatan untuk melarang Adira makan makanan pedas. Mereka tidak ingin, kejadian kemarin terulang lagi. Masih terbayang suara panik ibu gadis itu ketika menelepon Syafa.
"Ehem!" Seorang pria menyela pembicaraan mereka. "Permisi! Adira gak masuk kenapa ya?" Pertanyaan yang dilontarkan pria itu, membuat dua gadis itu saling pandang dan bertanya 'siapa?'.
"Maaf, kakak siapa ya?" tanya Syafa.
"Oh! Maaf," ucap pria itu. Pria itu mengulurkan tangan, tapi Syafa menangkupkan tangan di depan dada. Hal itu membuat pria itu tersenyum, teringat pertemuan pertamanya dengan gadis bernama Adira.
Pria itu menarik tangannya, "Maaf, gue gak tau kalian anti salaman. Gue Dylan, temen Adira."
Sontak Syafa dan Adesya saling pandang, karena yang mereka tahu, Adira tidak memiliki teman laki-laki di kampus ini. "Teman baru?" Adesya memastikan.
"Iya," jawab Dylan dengan mantap. "Jadi? Boleh tahu, Adira gak masuk kenapa?"
"Sakit," jawab Syafa singkat pada dan jelas. Lalu dia segera menarik tangan Adesya untuk pergi, "Kami pamit duluan Kak, masih ada matkul."
Dengan perasaan berat, Dylan membiarkan kedua gadis itu pergi.
"Lo ngapain ke adek gue?"
"Adek? Siapa adek lo?" tanya Dylan yang tidak tahu.
"Itu," menunjuk cewek dengan kerudung warna hitam, "Namanya Adesya, dia adek gue, maba prodi kita."
"Sejak kapan lo punya adek, Den?"
"Sejak dia lahir," jawab Raden.
"Kenal Adira?"
"Kenal, temen kecil adek gue. Kenapa? Suka lo?"
****
Petikkan gitar di malam hari, mengusir heningnya malam. Setiap petikkan gitar yang mengalunkan melodi terdengar sangat menyayat hati. Angin malam yang berembus membawa aroma basah sisa hujan sore hari tadi.
"Suka?" tanya pemain gitar pada dirinya sendiri. Apa benar dia sudah jatuh hati? Jika benar dia jatuh hati. Apakah cintanya akan diterima?
"Cinta yang rumit atau manusia yang rumit?"
"Manusia," jawab suara berat yang sejak tadi diam.
"Why?" tanya Dylan pada Abid, sahabatnya.
"Cinta itu fitrahnya manusia. Yang mempersulit itu ya manusia," jawab Abid. Dia bangun dari posisi rebahan menjadi duduk bersila menghadap Dylan. "Kita ambil contoh. Orang pacaran, dia tau jika putus nanti bakalnya sakit hati. Tapi terus diulang. Bukannya itu malah metode menyakiti diri?"
Dylan mengangguk, "Tapi kan pacaran bisa buat bahagia."
"Siapa bilang? Secara psikologi, hubungan pacaran sama dengan pernikahan. Bedanya hanya status nama. Kalo bisa memilih langsung menikah di usia siap, kenapa malah memilih pacaran di usia remaja? Bikin penyakit saja."
Dylan diam, dia tidak bisa menyanggah lagi. Abid yang berdiri membuat bertanya, "Mau ke mana?"
Abid menjawab dengan gerakkan tubuh. "Sudah mau waktunya."
"Balik masjid, belikan bakso. Mamah-Papah keluar kota soalnya," ucap Dylan.
Abid mengiyakan dengan mengacungkan jempol. Dia sudah berganti pakaian dengan koko dan sarung, lalu berpamitan pada Dylan.
****
Adira merasa sangat risih karena terus ditatap oleh dua sahabatnya. Sudah berulang kali gadis itu bertanya, tapi kedua sahabatnya tetap diam dan saling melirik.
"Kalian kalo cuman mau ganggu, mending pulang. Aku mau langsung tidur," ucap Adira mengusir.
Adesya langsung menyenggol Syafa agar dia yang menjelaskan pada Adira. "Jelasin Fa!" paksa Adira yang sudah kesal.
"Tadi pas di kantin, tiba-tiba ada cowok yang nyamperin kita." Syafa menjelaskan dengan menatap kedua mata Adira. "Terus?" tanya Adira.
"Dia tanya kenapa lo gak berangkat," jawab Syafa jujur. "Tapi gue gak langsung kasih tahu, gue tanya balik. Dia temen lo atau bukan."
"Yang buat syok, dia bilang kalo dia temen lo Ra. Lo kalo ada temen cowok bilang dong," ucap Adesya.
"Namanya siapa?"
"Dylan," jawab Syafa.
Ekspresi Adira yang awalnya biasa saja menjadi pucat, "Dia ada ngomong apa lagi?"
"Enggak ada. Gue jawab kalo lo sakit, terus kami pergi," jelas Syafa. "Kalian gak ada hubungan kan?"
"Enggak, Fa. Aku kenal Kak Dylan karena gak sengaja rusaki barang dia," jawab Adira.
"Bener?"
"Iya."
"Syukur," lega Syafa. "Karena kalo gue perhatiin dia suka sama lo, Ra."
#05Mei2024
Assalamualaikum
Selamat siang menjelang sore waktu indinesia barat...
Hari ini hampir terlupa buat publis, tapi syukurnya inget jadi auto gas nulis terus publis dehhh.Jangan lupa klik vote dan comen untuk kaltos☝️
![](https://img.wattpad.com/cover/368138391-288-k536650.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih Dylan✓
EspiritualNazima Adira Alifa Al-Ghifari, gadis berusia 18 tahun yang baru masuk ke dunia perkuliahan. Di usia yang baru beranjak dewasa ini merupakan masa pencarian jati diri. Di masa ini pula, dia jatuh cinta. Jatuh cinta adalah fitrahnya manusia, setiap man...