d u a

482 60 18
                                    

Assalamualaikum renicaaa...

Semangat menjalankan hari-hari nyaaa

Tandai TYPOOOO.

****

"Sintia, silakan keluar. Amira biar saya yang mengobati," ucap Aiman mengabaikan ucapan Amira.

"Tapi, pak," sahut Sintia yang sedang kebingungan.

"Saya bilang keluar, keluar, Sintia," bentak Amian kepada Amira.

Mendengar bentakan Aiman, Amira langsung menangis. Amira sangat tidak suka dengan suara tinggi, apa lagi bentakan. Kini Sintia sudah keluar kamar, melihat pintu yang ditutup oleh Aiman, Amira semakin takut dan langsung menutupi rambut dengan kerudung yang belum sempat Amira pakai. Aiman tidak hanya menutup pintu, namun Aiman juga menguncinya. Persetanan dengan dirinya yang seorang gus atau ustadz, Aiman melangkah mendekati Amira dan menatap Amira dalam-dalam.

"Angkat kepalamu," ujar Aiman saat sudah sampai tepat di depan Amira.

Mendengar ucapan Aiman, Amira hanya diam dan tidak mengangkat kepalanya. Amira sangat takut, Amira ingin keluar dari kamar ini, tapi kamar terkunci dengan kunci yang berada di saku celana Aiman.

"Angkat kepalamu, Amira," ujar Aiman dengan nada yang lembut. Aiman tahu saat ini Amira sedang takut dengannya.

"Ustadz tidak memukul Amira 'kan?" tanya Amira dengan kepala yang masih menunduk.

"Tidak," jawab Aiman dengan tangan yang sudah memegang salep yang di ambil oleh Sinta.

Dengan perlahan Amira mengangkat kepalanya, saat melihat Aiman, Amira semakin menangis. Aiman yang melihat Amira kembali menangis, dengan cepat Aiman menarik Amira agar masuk kedalam pelukannya. Siapa sangka seorang ustadz atau gus itu dengan beraninya memeluk perempuan yang bukan mahram, apa lagi di kamar hanya ada mereka berdua.

Merasa Amira sudah tenang, Aiman melepas pelukannya secara perlahan. Setelah pelukannya terlepas sempurna, Aiman mengambil sisir yang biasa dia pakai di atas nakas. Dengan lembut Aiman berkata, "Sini, lepas kerudungnya, saya rapikan rambutmu,"

"Tapi ... Amira perempuan, dan ustadz laki-laki," sahut Amira yang masih bingung dengan sikap Aiman.

"Saya tahu, dan siapa yang bilang kamu laki-laki?" balas Aiman sembari mengangkat badan Amira untuk membelakangi dirinya.

"Ustadz, nanti apa kata mereka yang diluar? kita bukan mahram, ustadz. Lagi pula Amira sahabat Humai, ustadz. Kalau Humai tahu bagaimana, Ustadz?" tanya Amira yang merasa kepalanya ada yang menyentuh.

Dengan telaten Aiman menyisiri Amira, dan tidak membalas pertanyaan Amira. Kini Amira kembali menangis, Amira sangat takut dengan amukan Humai. Pikir Amira, Humai akan sangat membenci dirinya yang sudah berani sekamar dengan Abang-nya Humai. Sedangkan Aiman masih terus berfokus dengan rambut panjang, hitam berkilau, namun sedikit kusut milik Amira.

Merasa sudah tersisir semuanya, Aiman menguncir rambut Amira seperti Aiman menguncir rambut Humai. Rambut mereka berdua hampir mirip, sama panjangnya, namun beda warnanya. Selesai menguncir rambut Amira, Aiman berkata, "Cantik,"

"Ustadz ...," tangis Amira pecah. Melihat Amira kembali menangis, Aiman dengan cepat kembali memeluknya.

"Hobi kamu menangis?" tanya Aiman sangat heran dengan Amira yang gampang menangis.

"Dosa ustadz," jawab Amira yang masih dipelukan Aiman.

"Hobi kamu berdosa?" ucap Aiman dengan tawa dibelakangnya.

Pesona, Gus AimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang