Perangan kalih : Di pelataran malam kelabu
-"Ambeg utomo, andhap asor."
⚠️ Warning ⚠️
Cerita ini mengandung bias sejarah dan tidak berikatan dengan sejarah yang sesungguhnya.- > .•. < -
Alun-alun lor masih terlihat ramai meski pancaran sinar rembulan telah menerpa buana beberapa saat lalu. Udara dingin mengiringi khalayak yang berlalu lalang, ditemani bahana alat musik tradisional yang asalnya dari salah satu bangunan kerajaan kuno yang masih eksis hingga saat ini.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, masih mengisi top 5 tujuan wisata utama oleh wisatawan lokal maupun domestik.
Dari ujung sana, terlihat titik-titik kecil yang perlahan eksistensinya terganti dengan seorang gadis yang berpakaian khas wanita-wanita Jawa pada zaman klasik, dengan kaki yang dilapisi sepatu hak rendah berusaha menerjang tanah alun-alun dengan kecepatan tak biasa.
Orang-orang yang tengah bersantai terusik sejenak dengan kedatangan gadis yang suara langkahnya terdengar nyaring itu. Sepatunya beradu dengan paving yang mengisi setengah dari wilayah alun-alun.
Kebaya brokat hijau dengan batik parang yang menjadi bawahannya itu harus bersemuka dengan titik-titik peluh yang perlahan muncul, seiring dengan si gadis yang menambah laju setelah mendengar iringan musik gamelan yang khas menerpa telinga. Menjadi pertanda bahwa acara yang katanya dikhususkan untuk sederek dan sentana dalem itu akan dimulai dalam sekejap.
"Bendara Raden Ajeng!"
"Oh, Yu Martinah!" Gadis itu - Asya - tersentak, begitu arah pandangnya menangkap figur wanita paruh baya yang mengayun-ayunkan tangannya, menyuruhnya untuk mengikis jarak.
"Ono opo toh nduk mlayu-mlayu koyo wong kesetanan?"¹ Yu Martinah berucap dengan aksen Jawa yang ketara. Wanita ini merupakan salah satu abdi dalem yang akrab dengan Asya, jadi tidak masalah bagi Yu Martinah untuk menggunakan bahasa Jawa ngoko ketika berbincang dengan salah satu anak asuhnya itu, meskipun status Asya di sana adalah anak selir yang patutnya dihormati juga.
(Kenapa, kok lari-lari seperti orang kesetanan?)¹
"Uhm- Yu ...." Gadis itu kebingungan. Hendak melangkah lebih jauh namun merasa tidak sopan. "Nala pamit nggih, mangke Nala samperin malih, soalipun sampun kantun."²
(Nala pamit, ya, nanti Nala samperin lagi, soalnya sudah terlambat)²
Asya menggapai kedua telapak tangan Yu Martinah dan menyaliminya, sebelum langkah kaki gadis itu membawanya masuk lebih dalam ke keraton. Wanita paruh baya itu hanya mengerjap, lalu menyerngitkan kening.
"Opo ne seng sampun kantun?"
"DOR!"
"EH AYAM WEDHUS!"
KAMU SEDANG MEMBACA
リ Paradigma: TIRTA
Historical FictionTirta artinya air. Tirta dapat menyesuaikan diri pada tempat apapun yang dapat menampung, tidak berasa, dan tidak berwarna. "Banyu semilir mlayu nang etan." Kata orang-orang dahulu, air selalu mengalir ke arah timur. Padahal faktanya, air selalu men...