03 - Dahana Sonya

16 3 1
                                    

Perangan tiga : The (fake) noble
-

"Sepi ing pamrih, rame ing gawe."

⚠️ Warning! ⚠️Cerita ini mengandung bias sejarah dan tidak berikatan dengan sejarah yang sesungguhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚠️ Warning! ⚠️
Cerita ini mengandung bias sejarah dan tidak berikatan dengan sejarah yang sesungguhnya.

- > .•. < -

Rasa bingung melanda tatkala iris cokelat tua itu memandangnya dengan pandangan pelik. Asya bergeming, menanti kalimat lanjutan yang mungkin saja menjadi komplementer dari kalimat utama.

"Dari siapa?"

"Hmm?" Gadis itu memiringkan wajahnya, bingung. "Maksudnya?"

"Bunda Ratimaya atau Adiningrum?"

Runa menaikkan alisnya tengil, kemudian bibir tipisnya menyunggingkan senyum. "Menurutmu dari siapa?"

Kelopak matanya menyipit dan menelisik. Tinggal jawab aja apa susahnya, sih?

"Jadi kamu putri sulungnya Bunda Gayatri?" Runa mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan untuknya.

Asya bergeming sejenak, jauh di lubuk hatinya melayangkan kekesalan karena si lawan bicara lebih memilih mengganti haluan ketimbang menjawab pertanyaannya yang sederhana.

"Tau dari mana?"

"Kamu terkenal. Emangnya siapa sih di keraton ini yang nggak kenal sama putri sulungnya Bendara Mas Ayu Gayatri?"

Asya mengeraskan rahangnya mendengar penuturan yang cukup terdengar kontroversial itu. Orang-orang di luar lingkup mereka pasti akan berpikir bahwa Asya memiliki garis takdir yang beruntung, terlahir dalam keluarga ningrat dan mendapat ketenaran karena hal itu. Namun rupanya ketiga Dewi Moirai sepakat untuk menyandingkan Asya dengan keadaan terkenal dalam hal negatif.

Garis takdir yang tertulis bahwa Asya dianggap ada karena istri kedua Kanjeng Gusti yang berkhianat dan menghasilkan satu anak yang dianggap cacat secara garis keturunan.

Kurang minus apa lagi garis takdirnya?

Ah, bolehkah Asya kecewa karena Runa menggunakan topik peristiwa tak mengenakkan itu sebagai pengawal percakapan mereka?

"Hmm, kalau gitu aku harus manggil kamu Mbak Yu?" sahutnya sembari tersenyum simpul, perlahan berusaha menyetarakan gaya bicaranya dengan gadis itu. "Kamu lahir duluan daripada aku, kan?"

Si gadis menggeleng, menolak tawaran yang menurutnya tidak cukup menguntungkan. "Aku nggak haus sopan-santun kalau kamu nggak tau. Selisih umur kita mungkin aja nggak beda jauh."

Asya angguk-angguk tanda mengerti. "Jadi?"

"Jadi apa?"

"Firasatku bilang kalau kamu nyamperin aku bukan hanya buat pembicaraan konyol kaya gini."

リ Paradigma: TIRTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang