Memasuki bulan-bulan terakhir, Andara mengalami perubahan emosional yang dia sendiri sadari kalau sifatnya menjadi amat aneh, dan cenderung menyebalkan.
Selain cengeng, dia juga jadi banyak sekali inginnya.
Sebenarnya sejak awal memasuki bulan ke tujuh juga sifatnya sudah begitu aneh. Kadang memaksa untuk ikut Jenagara ke kantor, tapi merengek meminta pulang begitu mereka sampai di ruangan Jenagara.
Andara bahkan sudah cuti bekerja karena perutnya sudah membesar. Selain itu, sebenarnya Jenagara yang memaksa dia untuk berhenti dulu.
Lagipula sudah ada yang menggantikan pekerjaannya di kedai. Makannya Andara setuju saja waktu Jenagara memaksa dia untuk berhenti sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Kadang Andara tiba tiba meminta diantar jalan jalan di waktu yang tidak memungkinkan seperti siang hari pas matahari lagi terik terik nya. Atau menjelang malam dimana jalan sedang ramai karena jam pulang kerja.
Jenagara terkadang merasa lelah sendiri melayani keinginan Andara yang kadang memang terasa begitu aneh. Tapi kalau tidak dikabulkan, Andara pasti meraung seperti anak kecil yang keinginannya tidak dituruti.
Yang paling parah, seminggu lalu. Waktu Jenagara bilang kalau dia harus meeting bersama orang-orang penting perusahaannya. Andara malah menangis karena tidak mau ditinggal.
Akhirnya, Jenagara mengusulkan ide untuk meeting secara daring. Itupun dia berkali kali meminta maaf karena Andara benar-benar tidak mau ditinggal. Dalam artian tidak mau lepas dari Jenagara yang membuat Jenagara mau tidak mau izin untuk tidak menampilkan wajahnya karena dia harus memeluk istrinya selama pertemuan berlangsung.
Itupun dengan susah payah karena keadaan perut istrinya yang sudah semakin besar.
Kalau saja Jenagara bukan petinggi perusahaan, mungkin dia sudah terkena teguran penalti dari atasannya. Untung saja di perusahan dia ini, dia atasannya, jadi tidak akan ada yang berani menegurnya.
Ya walaupun tetap saja, selesai pertemuan dan memindahkan Andara yang kebetulan tertidur, dia langsung mendapat panggilan dari Bunga yang isinya tidak jauh dari kalimat-kalimat omelan gadis itu.
Perempuan itu mengomel panjang, "Bos astaga, gue bukannya mau marahin istri lo ya. Tapi masa lo meeting sambil mangku istri lo sih."
"Ya gimana lagi, perutnya udah gede banget. Dia banyak mau."
"Makannya itu, perutnya tuh udah gede banget masa lo pangku di kursi kerja sih. Udah gila kali."
Jenagara meringis, "Daripada nanti dia nangis nangis. Lebih repot lagi."
"Astaga. Udah deh, lo mending gausah kerja dulu. Biar gue aja yang handle."
Jenagara terkekeh, untung Bunga ini sudah bersamanya untuk waktu yang lama. Dia yakin orang tidak akan menyangka perempuan seanggun Bunga hobinya memarahi atasan.
"Kamu nih saya liat liat makin gak ada sopan sopannya ya sama saya." Jenagara bergumam. Menanti reaksi Bunga.
Tapi seperti yang sudah pernah dijelaskan. Bunga ini hafal betul tabiat bos nya seperti apa.
"Iya, makasih pujiannya pak. Besok besok bapak gausah ke kantor. Biar saya yang urus, nanti yang bisa dikerjakan di rumah saya kirim lewat email. Ntar yang harus ditandatangani saya antar ke rumah bapa."
"Oke, makasih ya bunga."
Dan dengan kurang ajar nya Bunga menutup panggilan tanpa membalas ucapan Jenagara.
Untungnya, waktu itu Bunga sudah memberi dia izin untuk diam di rumah saja menjaga Andara. Karena hari ini, Andara benar benar tidak mau bangun dari kasurnya.
Dia bahkan tidak mau melepas pelukannya sama sekali.
"Mas," panggil Andara pelan.
Sebenarnya, tingkah Andara ini menggemaskan sekali kalau sudah manja. Makannya Jenagara betah betah saja menghadapi istrinya. Walaupun kadang memang melelahkan, tapi dia juga tidak masalah sih.
Karena kapan lagi Andara yang tidak enakan itu akhirnya terang terangan manja kepadanya.
"Kenapa sayang?"
Andara merengek, "Punggungnya sakit."
Jenagara refleks bangkit. "Mas jangan pergi,"
"Ngga, aku mau mijitin punggung kamu. Pinggang nya sakit juga gak?" Andara mengangguk pelan.
"Pegel banget." Dan seperti yang sudah Jenagara duga, Andara akan menangis.
"Mas, sakit."
Jenagara tersenyum, "iya ini dipijitin. Bangun dulu yuk,"
Andara menggeleng, "Gamau, perutnya berat."
"Digendong mau?"
"Mau." Andara langsung merentangkan tangannya. Dan Jenagara dengan sigap menyelipkan tangan di antara ketiak istrinya sebelum akhirnya dia angkat agar istrinya duduk.
"Mau sarapan apa?" Tanya Jenagara sambil memijit halus punggung hingga pinggang Andara.
Mungkin karena badan Andara yang kecil. Jadi membawa bayi yang sudah lumayan besar terasa begitu pegal. Meskipun dari yang Jenagara tahu, ibu hamil memang rentan merasakan sakit pada bagian punggung, pinggang dan juga keseluruhan kaki.
Apalagi memasuki trimester akhir, Andara memang seringkali mengeluhkan badannya yang mudah pegal dan sakit. Jenagara tidak tega, tapi dia juga tidak bisa menggantikan sakitnya. Jadi yang dia lakukan hanya membantu sebisanya untuk meringankan beban istrinya.
"Kamu yang masak?" Tanya Andara pelan. Menghapus sisa air mata di pipinya.
"Aku sebenernya gak pinter masak"
Andara terkekeh, "Tapi aku maunya masakan kamu. Kamu masak ya?"
Andai Jenagara boleh mengeluh. Tapi akhirnya dia hanya mengangguk saja demi menghindari tangisan Andara.
"Mau makan apa? Biar aku masakin ntar."
"Hmmm," Andara diam sejenak, sambil menikmati pijatan dari Jenagara. Sekalian memikirkan apa yang dia inginkan untuk makan.
"Yang gampang aja deh Mas, masak omelet telor aja."
Jenagara mengangguk, sepertinya dia harus memasak sambil menelpon Raina. Atau kalau Raina tidak bisa dihubungi, kemungkinan dia akan mengganggu Bunga.
"Oh iya Mas, Raja masih liburan? Aku pengen ketemu dia deh."
"Liburan?" Astaga. Jenagara sampai lupa kalau keluarga kakaknya itu sedang pergi berlibur.
Kalau begini sih dia sepertinya tidak mungkin bertanya pada Raina.
"Minggu depan pulang mungkin, aku juga kurang tau. Kamu mau main sama Raja?"
Andara mengangguk, "aku tiba tiba pengen makan es krim bareng Raja."
"Iya nanti kalo Raja udah pulang ya. Sekarang kita makan, mau digendong apa pake kursi roda?" Tanya Jenagara.
Jenagara sengaja menyedikan kursi roda karena dia khawatir Andara repot berjalan kesana kemari.
Padahal harusnya Andara ini banyak gerak. Jangan diam saja. Memang pada dasarnya Jenagara saja yang banyak khawatirnya.
"Ngga, mau jalan aja." Kan, padahal siapa coba yang tadi meminta untuk digendong?
"Jalan aja keluar nya." Andara berkata lagi. Jenagara mengangguk dan menjaga Andara dengan berjalan di belakangnya.
