(•ө•)♡
---
Hari ini Haechan memutuskan untuk sekedar bermalas-malasan di sofa ruang keluarga. Karena masih libur kerja, ia memilih menonton kartun di televisi layar lebarnya sambil memeluk setumpuk camilan. Di sisi lain, Handery, kakaknya, sibuk mengotak-atik laptop dengan wajah serius.
Haechan menonton kartun Pororo sambil rebahan dengan posisi absurd—kepala di bawah hampir menyentuh lantai dan kakinya bertengger di atas sandaran sofa.
Handery melirik sekilas, merasa heran melihat tingkah adiknya. Tapi mengingat ini Haechan—si bocah petakilan bin ajaib—semua itu terasa masuk akal. "Bocah gwendeng " batinnya.
"HAHAHAHA! Kocak banget!" tawa Haechan tiba-tiba meledak, membuat Handery tersentak.
Camilan di tangannya masih terus meluncur masuk ke mulut di tengah gelak tawanya yang menggema. Handery yang mulai terganggu langsung melemparkan bantal sofa tepat ke wajah Haechan.
"Woi, bocah! Diem dulu napa, diem!" bentak Handery. "Brisik amat jadi orang, nggak mau diem!"
Haechan yang kaget kena lemparan bantal langsung memelototi kakaknya dengan bibir mengerucut.
"Apaan sih, tua! Marah-marah mulu kerjaannya. Kalau nggak suka, ya sana nonton di kamar, kan bisa! Dasar tua!" balas Haechan ketus.
Handery mendengus. "Lu aja yang masih bocah! Ngaku udah dua puluh satu tahun, tapi kalau ditinggal bunda nangis. Dimarahin juga nangis. Dasar cengeng! Mana pendek lagi, kayak bocah enam belas tahun. Kudanil lu?" ejeknya sambil tertawa kecil.
Ucapan Handery sukses membuat Haechan terdiam. Kedua mata adiknya mulai memerah, berkaca-kaca, bersiap menumpahkan tangis.
Handery langsung menyesali ucapannya. Ia membuka mulut, hendak meminta maaf, tetapi—
"HUWAAAAAAA!! BUNDAAAA!! HIKS—BUNDAAAAAA!!!"
Tangisan Haechan pecah sekeras mungkin. Handery langsung panik. Apalagi kalau bunda mereka sampai muncul. Bisa tamat riwayatnya.
Dan benar saja.
"Apa lagi ini, Haechan?!" suara bunda Ten terdengar dari dapur. Dengan centong sayur di tangan, ia berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam.
Handery langsung tegang. "Aku diem, Bun."
"Diem Apa! Kamu itu suka sekali nyari gara gara sama adikmu, kalau kamu diam gak mungkin adikmu nangis! " tuduh bunda Ten.
Haechan makin semangat mengadu. "Hiks... hiks... Kak Aheng ngatain Echan gembrot! Dia juga mukul Echan!"
"WOI, BOCAH—"
"DIAM!" potong bunda Ten, membuat Handery menelan ludah.
Bunda Ten berjalan mendekat, kali ini menatap tajam ke arah Handery. "Kamu pukul adikmu?"
"E-eh... nggak, Bun! Derry Nggak ada pukul dia, sumpah!" bela Handery.
Ten mencoba menimang nimang keputusannya saat melihat raut putra sulungnya yang terlihat sungguh sungguh.
Namun, Haechan yang sudah keburu mengambil sapu ijuk dari pojokan menatap kakaknya dengan senyum tengil.
"Nih bunda sapunya, pukul aja."
"Dasar bocah!" desis Handery, tapi tidak berani melawan karena bundanya masih berdiri di depannya.
"Beraninya kamu pukulin adikmu,, ooooo pukul balik dek." sela Ten.
Haechan yang Bangga pun berjalan mendekati Handery dengan wajah tengilnya membawa sapu ijuk.
handery melotot tak terima tapi hanya bisa diam, haechan semakin mendekat dan
bughhh
Haechan dengan santai memukul bahu Handery cukup keras lalu menjulurkan lidahnya mengejek.
"Dasar bocah sialan!" greget Handery.
"Apalagi, hah?! Jangan ganggu adikmu terus! Kamu itu kakak, mbok ya yang sayang sama adiknya! Jadi kakak bukannya ngasih contoh yang baik sama adeknya ini malah di jahilin teros" omel bunda dengan logat Jawanya.
Handery langsung mingkem. Kalau bunda sudah pakai logat begini, itu tandanya dia benar-benar marah besar.
Setelah bunda kembali ke dapur, suasana menjadi lebih tenang. Haechan kembali fokus menonton TV, sedangkan Handery pura-pura sibuk di depan laptop. Padahal, layar yang dilihatnya menampilkan anime, bukan dokumen kerja.
Tanpa sengaja pandangan Handery terpaku ke jari manis Haechan yang dihiasi cincin berlian kecil.
Alisnya mengeryit heran menatap adiknya yang masih asik menonton tv.
"Chan."
"Apa lagi, hah? Mau ngejek lagi?, BUN—HMPHHH!"
Haechan yang hendak berteriak langsung dibekap mulutnya oleh Handery.
"Ssttt! Diem, bego. Gua cuma mau nanya."
Haechan menghirup napas dalam setelah dilepaskan. "Hahhh, hahhh... Gak usah bekep-bekep gitu juga kali kocak, dikira gak pengep!"
Handery melirik cincin itu lagi. "Itu cincin dari siapa?"
"E-eh, apaan sih? Bukan apa-apa. Udah, jangan ganggu Echan nonton!" balas Haechan gugup, menyembunyikan tangannya di belakang.
"Cincin dari Jungwoo? Bukannya kemarin belum sempat masang cincin?" tanya Handery curiga.
"ISH! Kak Aheng mah nyudutin Echan terus! Tau ah, Echan mau main aja!" jawab Haechan kesal berusaha menghindari kakaknya.
Dengan kesal, Haechan bangkit mencari kunci motor dan jaket hoodie-nya. Ia berencana kabur ke rumah bestainya -Jaemin.
"BUNDAAA! ECHAN MAIN KE RUMAH JEMAN, YA! KALAU NANTI NGGAK PULANG—"
"GA USAH TERIAK, HAECHAN! BRISIK!" suara bunda Ten menyahut dari dapur.
"Bunda ada di dapur, bukan di Tengah hutan! Kebiasaan banget teriak teriak, udah sana kalau mau main boleh. Tapi jangan nakal!" tambahnya ketus.
"Ihhh, kok Echan diusir sih?" keluh Haechan.
"Mau bunda gampar pake sapu, hah? Atau centong nasi?!"
"Ehehe... nggak dulu, Bun! Makasih, ya. Echan pergi dulu! Papayyy!"
Haechan langsung mencium pipi bundanya kiri-kanan sebelum kabur keluar dengan langkah ringan.
Bunda Ten hanya bisa menggelengkan kepala, meratapi anak bungsunya yang meski sudah berusia dua puluh satu tahun, tetapi masih saja terlihat seperti anak Lima tahun.
🐯🐻🌻
...
Kalian lebih suka cerita pendek begini atau yang panjang 2000 kata seperti biasanya??
⬇️Vote ya🧌

KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MINE
Ficção AdolescenteTerkadang Jodoh seringkali hadir dengan cara yang tak terduga, dengan alur yang bahkan tak pernah terbayangkan. Sejauh apa pun seseorang mencoba merubah atau berlari dari takdir, benang merah yang mengikat mereka akan selalu menemukan jalannya. Just...