Namanya Abriagi sering di panggil Agi. Anak berusia empat belas tahun, masih tergolong begitu muda untuk menanggung beban hidup yang berat. Hidup Agi itu keras sekali, hidup miskin di kota besar ini membuatnya sering menjadi bahan omongan.
Terkadan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
¤¤¤ Nemu Typo tandain ya! ¤¤¤
Abriagi atau sering disapa Agi menadahkan tangannya, bibir mungilnya bergumam lirih. Setelah usai dengan doa-nya, tangan itu mengusap lembut permukaan wajahnya.
Agi mulai menyantap nasi tanpa lauk itu, meski hanya nasi putih saja rasanya sudah begitu bersyukur baginya. Hidup susah sejak kecil tidak membuat Agi gampang mengeluh. Meski secuil rezeki yang Tuhan berikan tetap harus di syukuri.
Hari ini hari minggu, Agi mengawali paginya dengan sarapan seadanya. Hanya tinggal berdua dengan bibi alias adik mendiang ibunya, membuat Agi tidak berani banyak tingkah. Karena takut membuat bibinya marah.
Dara bibinya adalah sosok yang keras sekali, begitu pemarah. Bahkan terkadang saat Agi hanya diam saja pun wanita itu bisa marah tanpa sebab.
Agi selalu memaklumi bibinya, karena hanya wanita itu yang ia miliki sebagai saudara. Ibunya sudah lama meninggal sejak ia masih begitu kecil, kata mendiang nenek ibunya meninggal saat Agi bahkan baru menginjak usia satu tahun.
Neneknya sendiri adalah wanita tua yang begitu penyanyang, merawat Agi dengan penuh kasih sayang. Namun lagi-lagi Tuhan lebih sayang pada sang nenek, hingga saat Agi berusia delapan tahun, nenek turut menyusul kepergian ibu karena sakit. Mau tak mau Agi harus tinggal dengan Dara sang bibi.
Bersyukurnya meski Dara itu pemarah, tapi wanita itu masih mau membantu Agi mendapatkan pendidikan sejak sd. Masih mau mengurus pendaftaran anak itu, meski pun nanti setelah bersekolah Agi harus membayar keperluannya seorang diri.
Selama sekolah Agi juga tidak pernah mendapat uang jajan, hanya makan sehari satu sampai dua kali saja, itu pun jika bibi berbaik hati menyisakannya nasi didalam rice cooker.
Agi masih tergolong sangat muda, sehingga tidak ada lowongan pekerjaan yang anak itu temukan. Agi hanya bisa mendapat pemasukan dari memulung roksokan, hasilnya ia jual atau menjual koran di lampu merah. Pundi-pundi rupiah yang ia kumpulkan dari pekerjaan itu Agi simpan untuk hal mendesak, entah itu uang buku yang mendadak harus dibeli, atau mendesak saat bibi tidak menyisakan nasi untuknya.
Seusai makan Agi langsung mencuci piring bekas makannya, anak itu tidak mau membuat bibinya marah. Dara itu mengerikan bila marah, tak jarang main tangan bila terlampau geram pada Agi yang terkadang bingung salahnya apa.
Agi beranjak menuju kamarnya, lantas mengeluarkan plastik hitam dari dalam kardus. Saking tidak punyanya, Agi bahkan tidak memiliki lemari ataupun tempat tidur, anak itu hanya tidur beralaskan tikar tipis hasil anyaman mendiang sang nenek, serta bantal yang bahkan sudah begitu kempes.
Senyum Agi terbit saat melihat seragam baru yang ia miliki. Minggu depan ajaran baru dimulai, dimana Agi mulai kembali bersekolah. Tapi kali ini Agi bersekolah di jenjang baru, alias masuk sekolah sebagai anak SMA.