1

917 60 9
                                    

Di sebuah ruangan yang lumayan luas terlihat ada dua orang yang berada di dalamnya. Satu orang pasien dan satu orang yang tengah membaca sebuah buku di dekat ranjang tempat tidur pasien.

Seorang laki-laki bertubuh kurus dengan tinggi ideal sekitar 175 tengah duduk diam di sampinh seorang pasien yang tengah tidur dengan tenang. Saat laki-laki itu tengah sibuk membaca bukunya, dia merasakan ada gerakan di samping tubuhnya.

Rupanya gerakan itu berasal dari pasien yang berada di sampingnya. Pasien itu menggerakkan jari-jari lentiknya lalu tidak lama kemudian kedua mata pasien mulai terbuka. Bola mata cantiknya terlihat dari mata laki-laki itu.

"Jangan bangkit terlebih dahulu." Ucap laki-laki itu saat melihat pasien yang ditungguinya hendak bangkit dari tidurnya.

Pasien itu mengernyit karena tidak kenal dengan sosok di hadapannya ini, "Siapa?"

"Lalu ini di rumah sakit?"

"Gue Aldo anak Bu Seni pembantu rumah lo." Ucap Aldo namun tidak menjawab pertanyaan kedua pasien ini. Baginya pertanyaan itu tidak perlu dijawab karena keberadaannya di ruangan ini sudah menjawabnya.

Clek

Suara pintu yang dibuka mengalihkan pandangan Aldo dan pasien ke sana. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan. Dia terkejut saat melihat pasien di dalam ruangan sudah siuman.

"NAK VAXIE, KAMU SUDAH SADAR NAK." Dia adalah ibu Aldo yaitu Bu Seni. Bu Seni berlari ke samping Vaxie lalu memeluk perempuan itu dengan erat. Vaxie juga sedikit terkejut mendapat perlakuan dari Bu Seni ini.

"Bu lepasin. Kasihan Vaxie ngga bisa nafas." Ucap Aldo yang melihat Vaxie agak engap karena pelukan kencang ibunya.

"Hiks hiks bibi senang nak kamu hiks bisa sadar. Bibi khawatir melihat nak Vaxie pingsan di rumah."

Deg

Pingsan?

Bukankah saat itu Vaxie ingat jika dia akan di culik oleh pembunuh papanya lalu dia diselamatkan oleh Ard. Ard membawanya ke dunia penyihir. Jadi bagaimana bisa dia ditemukan pingsan?

Jangan-jangan.

"Bibi lalu bagaimana kabar papaku." Vaxie berkata dengan perlahan sembari menahan tangis saat melihat keadaan papanya yang telah dimutilasi pada malam itu. Dia berharap kejadian malam itu tidak pernah ada, dan papahnya masih hidup.

Vaxie melihat raut wajah Bi Seni dan Aldo yang bertatapan lalub menunduk diam. Seakan tidak ingin membicarakan kejadian ini. Mereka bingung apakah harus mengatakannya atau tidak, melihat kondisi Vaxie yang masih belum membaik.

Aldo mengenggam tangan ibunya, namun ibunya menggeleng. "Biar ibu saja."

Bi Seni mengenggam tangan Vaxie dengan lembut sembari mengelusnya perlahan. "Nak Vaxie harus tabah ya. Perjalanan hidup Nak Vaxie masih panjang, jangan terlalu bersedih ketika kehilangan seseorang nak." Melihat air mata Bi Seni yang menetes membuat Vaxie tersadar bahwa papanya sudah meninggal dunia dan kejadian malam itu benar adanya.

"Lo boleh nangis kalo mau." Perkataan Aldo membuat Vaxie tidak dapat membendung kesedihannya lagi. Air mata yang di tahannya jatuh meluruh membahasi kedua pipi mulusnya.

"Hiks hiks." Isak tangis Vaxie terdengar mengisi ruangan yang di tempatinya. Bibi Senin memeluk dan mengusap pucuk kepalanya.

"Hiks kapan papa hiks dima-kamkan bi?"

"Sudah tiga hari yang lalu nak. Kerabat papa Nak Vaxie langsung meminta untuk di kuburkan."

"Ba-bagaimana hiks dengan pembunuhnya?"

"Syukurlah saat bibi sampai di rumah Nak Vaxie. Para pembunuh itu sudah diikat dengan keadaannya pingsan. Apakah Nak Vaxie yang melakukan itu?"

Lagi-lagi perkataan yang tidak masuk akal. Vaxie tidak ingat jika dirinya mengikat para pembunuh biadap itu. Lalu sepertinya dia tinggal di dunia penyihir sudah berbulan-bulan, kenapa Bi Seni mengatakan bahwa kejadian itu baru tiga hari? Sepertinya waktu di dunia penyihir berjalan lebih cepat.

"Sekarang dimana kerabat papaku bi? Dan apakah mamaku datang kemari?" Perkataan yang tidak perlu dijawab. Vaxie tahu tidak ada dari mereka yang mau datang kesini. Apalagi kejadian yang telah menimpa dirinya dan papanya.

Bi Seni hanya menggelengkan kepala. "Nak Vaxie tenang saja. Masih ada bibi sama Aldo yang bisa nemenin Nak Vaxie."

Kedua tangan Vaxie mengepal. Dirinya yang tengah menderita saja mamanya tidak perduli, apalagi jika dirinya mati pasti mamanya akan bodo amat.

Vaxie tersenyum miris, "Hidup Vaxie miris ya bi. Ditinggal papa dan semua orang. Haha apakah Vaxie enggak berhak hidup di dunia ini?"

"Nak Vaxie jangan begitu. Bibi janji bakal berasama dengan Nak Vaxie terus. Tetap semangat ya Nak, ayok jalani hidup bersama bibi dan Aldo yang akan membantumu. Benar kan Aldo?"

Aldo hanya bisa menganggukkan kepala atas perkataan ibunya. "Lo harus semangat masih banyak yang peduli sama lo."

Vaxie bersmirk, "Siapa? Hantu? Hahaha mana ada yang peduli sama gue di sini."

"Ibu gue serta karyawan yang ada di rumah lo. Mereka semua peduli sama lo dan khawatir ngeliat lo yang pingsan di rumah."

"Jadi tolong hidup demi orang-orang yang peduli sama lo Xie." Ucap Aldo dengan suara yang memelan.

Mendengar ini Vaxie melihat wajah Aldo yang tenang. Dia berkata sengan serius membuat Vaxie percaya kepadanya. Vaxie menganggukkan kepala.

"Hm?" Gumamnya.

Dia mengangkat tangan kanannya lalu melihat sebuah cincin dengan permata merah menyala. Ini cincin pemberian Ranka, sosok Putra Mahkota Kerajaan Amagi.  Tiba-tiba Vaxie membayangkan wajah laki-laki itu yang tengah tersenyum dengan lebar.

Namun sedetik kemudian Vaxie menggelengkan kepala. "Ah enggak." Membuat Aldo mengenyit.

"Lo kenapa? Ada yang sakit?"

"Nak Vaxie kalo ada yang sakit bilang aja ya."

Enggak, enggak ada yang sakit. Vaxie cuma menggelengkan kepala agar bayangan sosok Ranka menghilang. Dia ingin melupakannya serta semua yang telah dilakukannya di dunia penyihir.

Vaxie ingin hidup seperti manusia normal pada umumnya dan tidak terlibat dengan hal-hal aneh seperti sihir. Meskipun di dunia penyihir dia memiliki teman, tetap saja Vaxie lebih ingin hidup di dunianya sendiri.

Apalagi mengingat perlakuan Ranka yang mengurung dirinya di kamar dan tidak memperbolehkannya pergi, sungguh membuatnya sangat kesal. Maka dari itu setelah kembali Vaxie tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya kembali ke sana.

Vaxie akan memilik menjalani hidupnya sendiri. Membuat kehidupan yang menyenangkan baginya bersama orang-orang yang peduli kepadanya.

"Bi Seni, Aldo terimakasih." Senyum Vaxie sembari menghapus sisa air matanya.

"Tidak perlu berterimakasih Nak Vaxie."

"Melakukan hal ini untuk Nak Vaxie sudah membuat bibi senang." Ucap Bi Seni sengan senyum lebar yang membuat Vaxie juga tersenyum.

"Boleh Vaxie meluk bibi?" Tanya Vaxie ragu. Lalu diangguki Bi Seni yang tersenyum. "Tentu saja, sini."

Vaxie memeluk Bi Seni dengan erat. Bi Seni merupakan orang pertama yang dia peluk setelah perceraian kedua orang tuanya dulu. Vaxie berharap dengan hadirnya Bi Seni di kehidupannya sekarang dapat membuatnya bahagia.

Diam-diam Aldo juga tersenyum melihat dua orang wanita di hadapannya yang berpelukan dengan erat.

ACADEMY MUSHLE of GENIUS PEOPLE IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang