5. Hundred Years of Solitary Shadow.

81 11 0
                                    

Januari 2024.

Hari ini hari Minggu, hari pengambilan foto untuk Yearbook. Aku hari ini bangun pagi, tidak seperti akhir pekan biasanya. Hari Sabtu kemarin, aku bangun siang sekali. Baru membuka mata, suara tarhim menjelang azan dhuhur sudah kudengar. Aku terlalu capek karena harus mengerjakan banyak sekali ujian praktik yang ada. Aku harus melawan rasa bosanku di malam minggu dan malam sabtu untuk membuka aplikasi Capcut dan mengedit ratusan klip video untuk memenuhi tugas uprak.

Tidak ada agenda rebahan di kasur sampai jam sepuluh pagi saat bangun pagi hari ini. Aku bergegas mandi, sarapan, berkemas, dan menunggu temanku datang menjemput ku.

Sebenarnya, acara photoshoot nya masih dilaksanakan setelah sholat dhuhur. Meskipun begitu, masih banyak persiapan yang perlu dilakukan. Oleh karena itu, aku dan beberapa teman-teman ku bersiap mulai jam sepuluh pagi. Bahkan, banyak teman perempuan ku yang mulai bersiap sejak dini hari untuk melakukan makeup agar mereka bisa memberikan penampilan terbaik untuk buku ikonik ini.

Jam dua belas siang, agenda photoshoot dimulai. Kami memilih Pendopo sebagai tempat berfoto kelas kami karena suasananya masih cukup kental dengan adat Jawa. Proses pengambilan fotonya cukup lama. Mulai dari foto perorangan, berkelompok, hingga satu kelas.

Tiga jam berlalu, akhirnya acaranya selesai juga. Sebagian anak langsung kembali ke rumahnya,namun tidak denganku. Tiba-tiba Rizqa datang ke tempat kami. Memang, mumpung kami menggunakan pakaian yang khas dan acara ini juga tujuannya untuk berfoto, jadi Rizqa juga ingin berfoto dengan teman-temannya yang ada di kelasku dengan pakaian Jawa, termasuk diriku.

"Lah Riz, lo beneran kesini?"

"Iyalah! Aku mau foto sama kamu."

Akhir-akhir ini hubungan pertemananku dengan Rizqa semakin dekat. Kami selalu bergurau tentang masalah kami masing-masing. Kami juga suka bergurau dengan gaya centil seperti tadi. Sebenarnya ia juga ingin berfoto dengan teman-temannya yang lain seperti Dhea, Pras, Sofiana, dan juga.... Anak itu.

Lucunya, kadang-kadang orang melihat kami sebagai pasangan. Padahal sebenarnya kami benar-benar hanya teman, tapi lebih dari sekedar teman. Tapi aku memang memaklumi kata orang-orang. Hal itu tidak negatif. Aku malah lega orang-orang melihatku memiliki kedekatan dengan seseorang, entah laki-laki ataupun perempuan. Aku ingin punya teman dekat dan diakui oleh orang lain. Anggapan orang lain yang mengira kami merupakan pasangan juga bisa aku anggap sebagai pengakuan bahwa kami memang teman yang dekat.

"Ya..... Oke.... Ayo foto di Pendopo nya sana."

Aku dan Rizqa meminta tolong Sofiana untuk memfoto kami berdua. Cekrik-cekrik, sudah banyak foto yang kami dapatkan, sekarang kami bergantian untuk memfoto Pras dan Sofiana.

Aku ingat Dhea sempat mengajakku untuk berfoto juga. Aku pergi mencarinya kesana-kemari sebelum temanku terburu-buru untuk pulang.

"Bubbb.... You said you want to take a photo with me. Come on."

"Oh yeah, i thought you're busy earlier."

"Indeed. I just busy for taking photos with Riz, Pras, and Sofii. Now im in a little bit rush. Come on Bubis."

"Ok ok."

Aku mengikuti bagaimana teman-teman memanggil Dhea. "Bubis" adalah panggilan khas untuk Dhea yang aku dengar sejak Desember lalu. Sebenarnya, teman-teman perempuan nya yang memanggilnya Bubis. Tapi aku sedikit FOMO karena kenapa nggak? Dia teman dekatku kok.

Tuhan, Benarkah Aku Bisa Bertahan? ( Hiatus ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang