Prolog

2.9K 186 11
                                    

"Ah, ini gila... Bukannya cepat kaya, yang ada aku akan mati sia-sia," celetuk Arini Pramuti, frustrasi, sembari menepuk dadanya yang sesak. Air mata mengalir deras, membasahi pipinya.

Arini, gadis tulang punggung keluarga yang merantau jauh dari kampung halamannya demi mencari nafkah, kini duduk terpojok di sudut bar yang gelap. Pikirannya berputar, memutar ulang setiap langkah yang membawanya ke titik ini-ke titik di mana ia menyesali setiap keputusan yang pernah dibuatnya.

Semua bermula beberapa bulan lalu, setelah lulus SMA. Temannya, Tari, yang juga berasal dari kampung yang sama, datang dengan tawaran pekerjaan di kota. Pekerjaan yang, katanya, akan membuat hidup mereka berubah. Gaji besar. Kesempatan yang tidak mungkin dilewatkan.

"Tari, emangnya kerjanya apa? Kok gajinya banyak banget?" tanya Arini waktu itu, merasa ada yang ganjil.

Tari hanya tersenyum, menggoyangkan tangannya dengan santai. "Gak tau pasti, Rin. Tapi tenang aja, temenku yang dari kota itu yang kasih info. Kamu percaya sama aku aja!" jawabnya dengan penuh keyakinan.

Dengan kehidupan yang semakin sulit di desa, Arini memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Ibunya bahkan rela menjual cincin kawinnya dan memberikan tabungan seadanya sebagai modal. Harapan tinggi membubung dalam hati Arini saat meninggalkan kampung halaman, membayangkan kehidupan yang lebih baik di kota.

Namun, kenyataan yang menantinya jauh lebih kejam. Setibanya di kota, Arini mulai merasakan keganjilan. Tidak ada wawancara, tidak ada pelatihan. Hanya Tari yang bilang mereka akan bekerja malam itu. Dan ketika Arini mengetahui pekerjaan sebenarnya-berdiri di bar, mengenakan pakaian minim, dan melayani pelanggan dengan tubuh-dunia Arini runtuh.

"Jalang," bisiknya lirih sambil menatap dirinya di cermin kamar mandi bar itu. Pekerjaan yang dikatakan Tari hanyalah kebohongan besar. Arini merasa hancur. Ia berlari keluar bar, tanpa tujuan, air matanya tak berhenti mengalir. Ia ingin pulang, tapi semua uangnya sudah hilang, dibawa Tari. Dan yang lebih buruk, kost yang mereka tinggali ternyata bukan kost biasa, melainkan tempat tinggal yang disediakan sang madam untuk para jalang seperti mereka.

Arini merasa terjebak. Tidak ada tempat untuk pergi. Uangnya habis, kepercayaan hancur, dan harapannya lenyap. Ia berkeliaran di jalanan, hingga akhirnya seorang pemulung menemukannya. Mereka berbagi nasib yang serupa-tidur di bawah jembatan, hidup dari barang-barang yang mereka pungut dari jalanan.

Namun, Arini tidak menyerah. Ia akhirnya menemukan pekerjaan baru sebagai pelayan di sebuah kafe kecil. Meski gaji tidak besar, ia merasa bersyukur karena setidaknya hidupnya mulai kembali stabil. Tapi hidup tak pernah memberi jalan yang mudah. Teman-teman sepekerjaannya mengucilkannya, dan pada akhirnya, ia dipecat tanpa bayaran, setelah difitnah oleh seorang rekan kerja.

Frustrasi, Arini merasa hidupnya tak ada artinya lagi. Dalam keputusasaan yang mendalam, ia mengambil beberapa kapsul obat tidur dan menelannya sekaligus, berharap semua rasa sakitnya berakhir. Dalam hitungan menit, ia mulai kehilangan kesadaran, tubuhnya jatuh terkulai di atas meja.

Namun, nasib belum selesai dengannya. Alih-alih mati, Arini terbangun di tempat yang aneh. Dunia yang tidak dikenalnya, namun terasa familiar.

Dia mendapati dirinya berada di dalam tubuh gadis lain-bukan sembarang gadis, melainkan adik tiri dari protagonis pria dalam novel favoritnya.

"Adik... selamat datang di neraka dunia yang sesungguhnya," bisik seseorang. Suara itu penuh dengan ironi, disertai senyum manis yang terasa menyakitkan.

...

To be continued...

Aku adalah adik tiri protagonis pria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang