Part 07.

868 38 1
                                    

Setelah selesai menggambar di taman, Arini dan teman-temannya memutuskan untuk kembali ke kelas. Saat mereka melangkah melewati lorong sepi, Arini tiba-tiba terhenti ketika berpapasan dengan seorang siswa yang tidak asing, Arsen. Dia adalah salah satu siswa di sekolah yang dikenal dengan sikap cuek dan dinginnya.

Arini terkejut dan tidak siap untuk bertemu dengannya. Tatapan Arsen yang tajam membuatnya merinding. "Eh... Maaf," ucap Arini cepat, berusaha untuk melewatinya.

Namun, Arsen berdiri tegak di tempatnya, menghalangi jalan Arini. "Lo siapa?" tanyanya, suaranya datar dan tanpa emosi. Dia jelas belum mengenal Arini, tetapi ada nada ketidakpedulian yang terasa di suaranya.

"Aku... Arini," jawabnya ragu. "Aku baru di sini."

Arsen mengangguk pelan, tetapi ekspresinya tetap tidak berubah. "Baru? nggak semua yang baru itu baik. Hati-hati, Arini."

Arini merasa jantungnya berdegup kencang. Ucapan Arsen terkesan mengancam, dan dia tidak tahu bagaimana merespons. "Aku akan berhati-hati," ujarnya, berusaha tetap tenang meskipun perasaannya campur aduk.

Arsen tidak menjawab. Dia hanya menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahnya tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Arini menonton saat Arsen menjauh, merasakan campuran kebingungan dan ketakutan.

Setelah pertemuan singkat itu, Arini bergegas menuju kelas, berusaha untuk tidak memikirkan kata-kata Arsen. Kenapa dia merasa terancam hanya dengan satu kalimat? Dia tahu dia harus lebih berhati-hati, bukan hanya terhadap Arsen, tetapi juga terhadap orang-orang di sekelilingnya.

Sesampainya di kelas, Arini mencoba fokus pada pelajaran, tetapi pikiran tentang pertemuannya dengan Arsen terus mengganggu. Siapa dia sebenarnya? Apa yang dia ketahui tentang dunia ini? Arini merasa perlu mencari tahu lebih banyak, dan yang paling penting, menjaga dirinya tetap aman dari ancaman yang mungkin datang.

Dengan perasaan tidak nyaman itu, Arini bertekad untuk menjelajahi lebih dalam tentang teman-temannya dan lingkungan barunya—tanpa menyadari bahwa semua yang terjadi akan mengubah segalanya di dunia novel ini.

---

Setelah pertemuan singkat dan menegangkan dengan Arsen, Arini masuk ke dalam kelas, berusaha mengalihkan pikirannya. Dita dan Sofia sudah duduk di bangku mereka, tertawa sambil membahas rencana mural.

"Arini! lo kemana aja?" tanya Dita ceria saat melihat Arini datang. "Kita udah nungguin lo!"

Arini tersenyum paksa, mencoba menutupi perasaannya yang masih kacau. "Maaf, aku… ada sedikit halangan," jawabnya sambil duduk.

Sofia menyipitkan matanya, memperhatikan ekspresi Arini. "Kamu kelihatan nggak enak. Ada yang salah?"

"Enggak, cuma sedikit… ketemu orang," kata Arini, tidak ingin membagikan pertemuan dengan Arsen.

Dita mengangguk, tampak antusias. "Kami lagi ngomongin ide untuk mural kita! Denger, gimana kalau kita tambahin beberapa elemen bunga dan hewan? Mungkin bisa bikin mural kita kelihatan lebih hidup!"

"Oh, itu ide bagus!" seru Arini, berusaha untuk tertarik pada pembicaraan. "aku suka banget gambar bunga."

Sofia tersenyum. "Jadi, kamu mau gambar bunga? Kita bisa bagi tugas! aku bisa gambar hewan."

"gue bakal gambar latar belakangnya!” tambah Dita dengan semangat. "Kita bisa mulai besok di taman!"

Bel masuk berbunyi nyaring, sontak Sofia buru-buru untuk kembali ke kelasnya.

Saat pelajaran dimulai, Arini berusaha untuk tetap fokus, tetapi bayangan Arsen dan tatapan dinginnya terus menghantui pikirannya. Dia berharap bisa melupakan pertemuan itu, tetapi rasa penasaran terus menggerogoti. Apa maksud dari perkataannya?

Ketika bel berbunyi, menandakan akhir jam pelajaran, Arini merasa lega. Dia segera beranjak berdiri dan melangkah ke luar kelas.

"Eh, Arini!" panggil Dita. "Mau ikut ke kantin?"

"Ya, aku ikut," jawab Arini, sambil tersenyum, meskipun pikirannya masih melayang jauh.

Di kantin, mereka duduk di meja yang dikelilingi teman-teman sekelas. Sofia dan Dita terlihat bersemangat menceritakan rencana mural mereka. "Dan nanti, kita bisa minta guru seni untuk bantu kita dengan teknik cat! gue pengen coba teknik baru!"

"Bagus, kita bisa belajar banyak dari guru," ujar Arini, berusaha menanggapi.

Tiba-tiba, salah satu temannya, Rian, mendekati mereka. "Eh, kalian! Dengar kabar tentang Arsen? Dia baru aja keluar dari ruang guru. Apa dia bikin masalah lagi?" tanyanya, seolah ingin tahu lebih banyak.

Sofia mengerutkan dahi. "Arsen? Apa dia berurusan dengan sesuatu yang lain? Dia kelihatan cuek, ya?"

Dita mengangguk. "Iya, lagian ga heran sih, tuh orang kan emang suka buat onar"

Arini merasakan ketegangan di dalam dadanya. Dia tidak ingin berbagi apa yang terjadi di antara mereka. "ah lagi pula itu bukan masalah kita, ga usah di pikirin" Arini mencoba menenangkan suasana.

Sofia mengalihkan perhatian. "Bener. Tapi kita nggak boleh membiarkan isu-isu di luar mengganggu kreativitas kita! Yang penting adalah mural kita."

Arini mengangguk setuju, berusaha mengabaikan pikiran tentang Arsen. "Iya, mural kita harus jadi yang terbaik!"

Setelah mereka selesai makan, Arini memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dia merasa butuh sedikit waktu untuk sendiri dan berpikir. Saat berjalan, Arini tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Arsen. Dia ingin tahu lebih banyak tentang dia—kenapa dia tampak begitu dingin dan misterius.

Saat memasuki perpustakaan, Arini merasakan ketenangan. Dia mencari buku-buku tentang seni dan kreativitas. Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat dia berbalik, dia melihat Arsen duduk di salah satu meja, fokus pada bukunya.

Arini merasa jantungnya berdegup kencang. Dia ingin segera pergi, tetapi kakinya seolah terpaku. "Arsen?" panggilnya pelan.

Arsen menatapnya dengan ekspresi datar. "Ada apa? Lo tau nama gue dari mana?

"Aku… tau dari temen sekelas, kamu sering belajar di sini?" tanya Arini, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

"Kadang-kadang. Ini tempat yang tenang buat mikir," jawab Arsen, mengalihkan pandangan ke buku di hadapannya.

"Kenapa kamu selalu terlihat… ya, dingin?" Arini mencoba bertanya, meskipun dia merasa ragu.

Arsen mengangkat alis. "Kenapa lo peduli?"

Arini terkejut dengan responnya, tetapi dia tidak menyerah. "Aku cuma penasaran. Semua orang di sekolah kayaknya takut sama kamu."

"Takut? Atau sekadar nggak mau terlibat?" jawab Arsen, sambil menatap Arini tajam. "Nggak semua orang berani menghadapi kenyataan."

"Reality apa yang kamu maksud?" tanya Arini, merasa semakin penasaran.

"Terlalu banyak yang lo nggak tahu, Arini. Hati-hati sama orang-orang, atau lo bakal tersakiti," ujar Arsen, suaranya terdengar serius.

Arini terdiam. Kata-kata Arsen membuatnya merasa cemas. "Tapi… teman-temanku baik. Mereka nggak bakal nyakitin aku."

Arsen menyandarkan punggungnya ke kursi. "Baik dan jahat nggak selalu jelas. Hati-hati aja."

Arini merasa bergetar di tempatnya, tetapi dia tahu dia tidak bisa membiarkan dirinya terpengaruh. "Makasih atas sarannya," ujarnya dengan nada tegas.

Arsen hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Arini merasa bahwa pertemuan ini hanya membuatnya semakin bingung. Dia tidak tahu apakah Arsen sebenarnya peduli atau hanya mencoba menakut-nakutinya.

Saat Arini meninggalkan perpustakaan, dia bertekad untuk tetap fokus pada mural dan teman-temannya, meskipun bayangan Arsen masih menghantuinya. Dia tahu, di dalam dunia yang penuh dengan intrik ini, dia harus berhati-hati dan mencari tahu lebih banyak—tentang Arsen, tentang Alaric, dan tentang dirinya sendiri.

...

To be continued...

Aku adalah adik tiri protagonis pria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang