Bab 13

453 35 3
                                    

Arini mendongak, bertemu dengan mata pria itu. Dia tampak tinggi dengan jaket kulit hitam yang menambah kesan dingin dan tak terduga. Arini menelan ludah, menahan rasa kesal yang tiba-tiba muncul. "Sorry, aku gak sengaja."

Pria itu menatapnya lebih lama dari yang seharusnya, seolah mempelajari tiap detail wajah Arini. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia menggeser sedikit dan berjalan melewatinya begitu saja, meninggalkan Arini yang masih berdiri canggung di depan pintu minimarket.

Arini menghela napas panjang, merasa sedikit kesal sekaligus bingung dengan pria tadi.

"Sok banget, siapa juga dia," gumamnya pelan sambil merapikan barang belanjaan yang sempat terjatuh. Setelah memastikan semuanya beres, ia berjalan keluar dari minimarket.

Langkahnya terasa sedikit berat, bukan hanya karena kejadian tadi, tapi juga karena pikirannya masih penuh dengan Arsen dan Alaric. Dia mencoba mengalihkan perhatian, menghirup udara segar sore hari, tapi sosok pria asing tadi masih terbayang.

Saat berjalan di trotoar yang sepi, Arini mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Dia tak langsung menoleh, tapi ada perasaan aneh yang membuatnya semakin waspada. Seiring dengan semakin dekatnya suara langkah itu, Arini akhirnya memberanikan diri menoleh perlahan.

Pria yang tadi menabraknya di minimarket kini berjalan di belakangnya, dengan tatapan yang sama—dingin dan tak terbaca.

"Kamu ngikutin aku?" tanya Arini setengah gugup, tapi mencoba bersikap tegas.

Pria itu hanya mengangkat bahu, seakan tidak peduli dengan tuduhannya. "Jalan gue ke arah yang sama, kebetulan aja."

Arini merasa aneh dengan jawabannya. "Kebetulan ya?" balasnya sambil tetap waspada.

Pria itu tersenyum kecil, tapi senyumnya sama sekali tidak ramah. "Lo terlalu paranoid. Santai aja."

Tanpa menunggu jawaban dari Arini, dia berbalik dan berjalan mendahuluinya, seolah tidak ada yang aneh dengan situasi tersebut. Arini berdiri diam beberapa detik, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Orang aneh," pikirnya, lalu melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, berharap tidak bertemu dengan pria itu lagi di perjalanan pulangnya.

Arini mempercepat langkahnya, tapi tetap tak bisa menghilangkan rasa gelisah yang muncul setelah bertemu pria itu. Beberapa meter ke depan, dia melihat pria tadi berhenti di dekat tikungan, bersandar santai di dinding, seolah sedang menunggunya. Arini berusaha bersikap tenang, meskipun hatinya sudah mulai waspada.

"Kamu yakin gak ngikutin aku?" Arini menantangnya begitu dia sampai di depannya, tatapannya mencoba mencari jawaban dari pria itu.

Pria itu menoleh pelan, ekspresinya tetap tenang tanpa banyak emosi. "Santai aja, gue gak ngikutin lo. Lagian, lo siapa sampe gue mau ngikutin?"

Jawaban itu membuat Arini semakin kesal. "Ya jelas aneh lah, kamu nabrak aku tadi di minimarket, terus tadi kamu ngikutin aku!"

Pria itu tertawa kecil, nada suaranya terdengar malas. "Gue lagi ngurus urusan gue sendiri. Kalau lo merasa terganggu, ya maaf, tapi gue gak punya niat ngikutin lo."

Arini menyipitkan matanya, masih tak yakin. "Aku gak suka sama orang yang tiba-tiba muncul tanpa alasan jelas."

Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, seperti sedang menilai Arini. "Lo selalu gampang curiga gini sama orang asing, ya?"

Arini menghela napas, merasa frustasi dengan sikap cueknya. "Mungkin aku emang harus curiga sama kamu. Apalagi kamu tiba-tiba ada di sini setelah ketemu aku tadi."

Pria itu mengangguk pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. ,"Lo tahu, kadang hidup tuh penuh kebetulan. Tapi kalau lo merasa gak nyaman, ya gak usah deket-deket gue."

Arini menatapnya tajam. "Dih, orang kamu yang ikutin aku."

Pria itu menegakkan tubuhnya dari dinding dan mulai berjalan lagi. "Nama gue Jordan, kalau lo penasaran," ucapnya tanpa menoleh, seolah informasi itu tidak terlalu penting.

Arini diam, sedikit terkejut dengan pengenalan tiba-tiba itu, tapi tidak membalas. Jordan menghilang di tikungan, meninggalkan Arini dengan perasaan yang semakin campur aduk.

---

Arini akhirnya tiba di rumah, napasnya sedikit terengah setelah berjalan lebih cepat dari biasanya. Ia berharap bisa masuk ke kamarnya dengan tenang tanpa gangguan, tetapi ketika pintu depan terbuka, ia melihat sosok yang sudah duduk santai di ruang tamu—Alaric.

Alaric bersandar di sofa, wajahnya terlihat tegang, namun tetap tenang. Tatapannya langsung tertuju pada Arini begitu dia masuk, seakan sudah menunggu momen ini. Arini langsung merasakan atmosfer ruangan berubah.

"Ke mana saja kamu? masih ingat jalan pulang rupanya" Suara Alaric terdengar dingin, tetapi masih ada nada lembut yang tersirat di dalamnya. Matanya tetap terfokus padanya, menunggu jawaban.

Arini menelan ludah, mencoba merespons dengan tenang. "Aku cuma  mampir ke minimarket."

Alaric mengangkat satu alis, masih memandanginya dengan tatapan yang tidak bisa ditebak. "Apa otakmu bermasalah Arini?"

"aku sudah bilang akan menjemputmu tadi" ucapnya berusaha tenang.

"Aku ga mau ngerepotin," Arini menjawab sambil melepas sepatunya.
"Lagian, aku juga butuh waktu sendiri."

Alaric berdiri, melangkah mendekati Arini. "Waktu sendiri atau kau ingin kabur dari ku?" Nada bicaranya semakin tegas, namun tatapan matanya tetap tenang, seakan dia sudah tahu apa yang terjadi.

Arini terdiam sejenak, berusaha tidak gugup "e-enggak tuh, mana ada aku kabur" jawabnya sembari tersenyum kaku.

Alaric menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum tipis penuh arti. "Aku tidak suka dengan orang yang berbohong Arini."

Tiba-tiba, Alaric meraih pinggang Arini, membuatnya terkejut. "Jika kejadian ini terulang lagi, aku tidak akan segan-segan untuk memotong kakimu agar aku bisa membawamu ke mana pun," ujarnya dengan nada serius, tetapi ada sedikit nada menggoda di dalam suaranya.

Arini merasa jantungnya berdegup kencang. "Kamu bercanda, kan?" tanyanya, meski ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka.

Alaric tertawa kecil, mengurai surah indah Arini "tentu saja, aku bercanda" ujarnya.

Arini menghela napas lega, tetapi tidak ingin menunjukkan betapa mudahnya ia terpancing. Dengan cepat, ia melayangkan tinjunya ke dada Alaric. "Biar kamu inget buat ga nakutin aku lagi!" katanya sambil tersenyum sinis sebelum berbalik dan berlari menuju kamarnya.

Namun, ketika dia sampai di tengah undakan tangga, Arini berhenti sejenak. Dia merasakan dorongan aneh untuk menoleh kembali ke arah Alaric. Arini berbalik, menatap Alaric dengan senyum mengejek.

"HEH BEUBEUL, kamu mau macem-macem ka aing?! lawan sini, maung mah ga sieun!!" Arini berteriak mengumpat, seluruh pelayan yang berlalu lalang di mansion nampak terkejut dan gemetar.

Alaric, ia tampak terkejut dengan sorot mata tajam menatap punggung Arini yang berbalik kabur setelah berteriak.

Arini terkikik geli saat sampai di kamarnya "tuh rasain, kaget kan kamu. nggak sia-sia aku belajar bahasa sunda sama Asep" celotehnya bangga.

---

To be continued...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku adalah adik tiri protagonis pria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang