Part 05.

1.1K 63 0
                                    

Setelah suasana mencekam itu menyelimuti mobil, Arini berusaha mengatur napasnya. Dia harus tetap tenang, meskipun hatinya merasa tercekik dengan kehadiran Alaric yang semakin menunjukkan sikap posesif.

"Alaric, jangan bercanda seperti itu. Mereka cuma teman sekolah," jawab Arini, mencoba terdengar ringan, meskipun ketegangan di tubuhnya semakin nyata. "Aku baik-baik saja."

Alaric memandang Arini dari sudut matanya, senyum kecil yang dingin masih menghiasi wajahnya. "Teman? Kau tidak butuh banyak teman, Arini. Kau sudah punya aku."

Arini menelan ludah, merasa semakin terkekang dengan kata-katanya. Alaric, meskipun kakak tirinya, bersikap terlalu protektif—bahkan lebih dari seorang kakak pada umumnya. Selalu ada sesuatu dalam caranya memperlakukannya yang membuat Arini merasa tidak nyaman, seolah-olah dia tidak bebas menentukan hidupnya sendiri.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mobil berhenti di depan rumah. Alaric mematikan mesin dan menoleh ke Arini. "Aku akan mengantarmu ke dalam," katanya tanpa menunggu persetujuan.

Arini tidak punya pilihan selain mengangguk. Mereka berjalan menuju pintu, dan sebelum Arini sempat mengetuk, pintu terbuka. Ibu tirinya, yang wajahnya dingin seperti biasanya, berdiri di sana.

"Oh, Alaric, kau mengantar Arini pulang. Terima kasih," ucapnya dengan nada sopan namun tanpa kehangatan.

"Sudah menjadi tugasku menjaga adik tiriku," jawab Alaric dengan nada penuh keyakinan, meskipun nada itu terdengar agak ganjil bagi Arini.

Ibu tiri mereka mengangguk kecil sebelum memandang Arini. "Masuklah, Arini. Ada beberapa hal yang perlu kita bahas untuk makan malam nanti."

Arini menghela napas pelan dan melangkah masuk. Namun sebelum dia benar-benar meninggalkan Alaric, kakak tirinya berbisik lembut ke telinganya, "Ingat, aku selalu ada di dekatmu, Arini. Kau milikku, dan aku tidak akan biarkan siapa pun mengambilmu."

Kata-kata itu membuat darah Arini berdesir. "Alaric... kau kakakku," gumamnya, mencoba mempertegas batas di antara mereka.

Namun, Alaric hanya tersenyum tipis, lalu berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya tanpa menanggapi lebih lanjut.

Arini berdiri terpaku beberapa saat di depan pintu, hatinya penuh dengan perasaan campur aduk—takut, cemas, dan bingung. Setelah Alaric pergi, dia merasa lega sejenak, namun bayangan sikapnya tadi masih terus menghantui pikirannya.

---

Arini menutup pintu kamarnya dan menghempaskan tubuh ke tempat tidur, mencoba mengendalikan pikiran yang berputar-putar. Ketegangan dengan Alaric semakin terasa nyata, dan meskipun dia adalah kakak tirinya, Alaric selalu bersikap seolah-olah Arini adalah miliknya.

Telepon Arini bergetar, mengalihkan perhatiannya. Sebuah pesan dari Dita muncul di layar

Kita masih jadi buat mural di taman akhir pekan ini, kan?

Arini tersenyum kecil, merasa lega mendapat pengalihan dari semua kecemasan ini.

Tentu! akuu ga sabar!
balasnya cepat.

Namun, jauh di dalam hatinya, Arini tahu bahwa selama Alaric ada di dekatnya, semua hal yang tampak normal bisa berubah menjadi rumit dalam sekejap.

Setelah mengirim pesan ke Dita, Arini membiarkan tubuhnya terbaring di kasur, memandang langit-langit kamar. Rasanya aneh. Ketika mengingat kembali kejadian di parkiran tadi, ada satu hal yang mulai mengusik pikirannya, Alaric. Mengapa Alaric tidak tampak tertarik dengan Sofia, pemeran utama wanita di novel yang dia masuki?

Arini berusaha memutar kembali setiap detail dalam benaknya. Alaric, yang seharusnya dalam cerita asli terpesona oleh Sofia, justru tidak menunjukkan ketertarikan apa pun. Bahkan, dia hanya fokus padanya—Arini, adik tirinya. Bukankah seharusnya ada momen ketertarikan atau ketegangan antara Alaric dan Sofia, seperti yang terjadi di novel yang dia baca?

"Kok bisa gitu?" gumam Arini pelan, mencoba memahami situasi.

Saat berada di sekolah tadi, dia melihat Sofia dan Alaric berpapasan. Meski hanya sebentar, tidak ada reaksi apa pun dari Alaric. Dia bersikap dingin dan mengabaikan Sofia seolah-olah gadis itu tidak penting, padahal dalam novel, Sofia adalah pusat perhatian semua orang. Alaric, terutama, seharusnya tertarik pada Sofia—itu bagian penting dari cerita. Tapi kenyataannya? Alaric malah lebih memperhatikan Arini, seolah hanya dia yang eksis di dunia ini.

Seketika, Arini tersadar. Ini bukan sekadar perubahan kecil dalam cerita—ada sesuatu yang jauh lebih dalam. Alaric, dalam versi ini, seolah telah berubah dari sosok yang tertarik pada Sofia menjadi seseorang yang terlalu fokus dan obsesif terhadap dirinya. Seolah-olah kehadiran Sofia sama sekali tidak mempengaruhi jalannya cerita.

Arini merasakan kecemasan meningkat di dalam dirinya. Apa ini berarti aku menggantikan posisi Sofia dalam cerita? pikirnya dengan panik. Kalau memang demikian, Alaric mungkin akan menjadi semakin berbahaya, apalagi jika sifat obsesifnya terus berkembang.

"Aku harus cari tahu lebih banyak tentang Sofia," ucapnya pelan, membulatkan tekad. Mungkin, dengan lebih memahami peran Sofia di dunia ini dan mengapa Alaric tidak tertarik padanya, Arini bisa menemukan jawabannya. Tapi bagaimana caranya? Sofia adalah karakter kunci, dan jika perannya sudah berubah, ada kemungkinan besar banyak detail lain yang ikut bergeser dalam novel ini.

Namun, sebelum dia bisa melakukan apa-apa, suara ketukan di pintu kamarnya menginterupsi pikirannya. "Non Arini, makan malam sudah siap," panggil pelayan dari balik pintu.

Arini menghela napas dan bangkit dari tempat tidur. Ada banyak hal yang perlu dia pikirkan, tapi untuk saat ini, dia harus menghadapi malam yang panjang dengan keluarganya. "Ya, aku segera turun," jawabnya.

Dia melangkah ke luar kamar, tapi pikirannya terus terfokus pada satu hal. Apa yang sebenarnya terjadi di dunia novel ini? Alaric jelas berubah, dan ini lebih dari sekadar perubahan kecil dalam cerita—ini adalah pergeseran besar yang mungkin akan menentukan nasibnya di dunia ini.

...

To be continued...

Aku adalah adik tiri protagonis pria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang