Bab 10.

692 45 4
                                    

Di Los Angeles, di dalam hotel mewah dengan pemandangan yang mengagumkan, Alaric duduk di tepi jendela, pandangannya terpaku pada layar tab yang terhubung dengan CCTV rumahnya. Sebuah keinginan yang tak tertahankan untuk melihat Arini mengalir dalam dirinya. Dia menyaksikan Arini, gadis yang berhasil mencuri perhatiannya, berenang di kolam mansion, dengan cahaya matahari yang memantul di air, menciptakan siluet yang memikat.

"Arini..." Alaric bergumam, menatap layar tanpa berkedip. Setiap gerakan Arini membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

"Damn, dia benar-benar cantik." Sebuah desahan kecil lolos dari bibirnya, saat rasa kagum yang membara memenuhi dadanya. Tapi di balik rasa terpesona itu, ada perasaan yang lebih gelap—perasaan marah dan cemburu yang terus mendesak di bawah permukaan.

Alaric menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di samping jendela. Tangannya masih menggenggam tab itu dengan erat, tatapannya tidak pernah lepas dari Arini.

"Kenapa aku harus jauh darinya?" pikirnya kesal. "Seharusnya aku yang ada di sana, bersamanya. Bukan duduk di sini, jauh dari rumah, cuma karena keinginan bodoh si tua bangka".

"Pak tua itu memang merepotkan," desis Alaric. Mimik wajahnya berubah muram saat dia kembali menatap Arini di layar. Gadis itu tampak tenang, berenang dengan penuh kelembutan di bawah langit cerah. Namun, di matanya, Arini terlihat kesepian. "Gadisku pasti merasa kesepian di sana tanpa aku."

Padahal jelas-jelas, Arini begitu bahagia karena tidak ada Alaric. si kakak tiri yang bajingan.

Alaric mengepalkan tangannya, wajahnya berubah gelap. Dia tidak suka mendengar bahwa Arini berhubungan dengan pria lain, terlebih lagi seorang pria yang dia tidak kenal. Rasa cemburu yang menyelinap di hatinya berubah menjadi api yang membakar.

Lelaki itu menyeringai, lalu mengetik pesan singkat untuk asistennya.

"Arsen..." Alaric mengulang nama itu dengan penuh kebencian.

...

Arini terbangun dengan pelan saat sinar matahari pagi menembus tirai tebal kamar. Matanya yang masih berat perlahan terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang mulai memenuhi ruangan. Namun, perasaan aneh menjalar di dadanya—tempat tidur ini terasa terlalu hangat, terlalu nyaman. Bantal di sampingnya berbau harum, aroma yang tidak asing tetapi membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Saat ia sepenuhnya sadar, pandangannya terfokus pada sosok yang terbaring di sampingnya.

Alaric.

Dia tidur di sana, tubuhnya besar dan kuat di bawah selimut yang sama. Wajahnya tenang, tertidur dalam diam, dengan rambut hitamnya sedikit berantakan namun tetap sempurna. Waktu seakan berhenti sesaat ketika Arini mencerna apa yang sedang terjadi. Ia merasakan napasnya tersengal, campuran ketidakpercayaan dan syok membanjiri pikirannya.

"gilaaa, kenapa cowok sedeng ini ada di sini?! Kenapa dia tidur di tempat tidur yang sama?"

Berusaha tenang, Arini menggeser tubuhnya pelan-pelan, mencoba menjauh dari Alaric tanpa membangunkannya. Namun, selimut yang terseret membuat suara gesekan lembut. Detik itu juga, mata Alaric terbuka perlahan, dan tatapan mereka langsung bertemu.

"Morning mi amor," ucap Alaric dengan suara serak karena baru bangun, namun tetap tenang. Ia mengangkat sedikit kepalanya, menatap Arini dengan pandangan datar tapi penuh arti.

Arini, yang masih terguncang, hanya bisa menelan ludah. "Kenapa... kamu disini? Sejak kapan?"

Alaric menghela napas santai sebelum menjawab. "Aku sudah di sini sejak semalam. Setelah aku kembali dari Los Angeles, aku melihat kau tidur di kamarmu. Jadi, aku membawamu ke kamarku." tutur nya santai.

Mata Arini melebar. "Apa?! Kenapa kamu—"

Alaric memotongnya dengan suara lembut namun tegas. "Kau terlihat lelah. Aku tidak ingin kau tidur sendirian, jadi aku memindahkan mu ke sini."

Arini tersentak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tapi... ini kamarmu! Dan kita... tidur bersama?"

Alaric menatapnya dengan tenang, ekspresi wajahnya seakan tak menganggap ini masalah besar. "Dan kenapa tidak? Apa masalahnya? Kita saudara, bukan?" Jawabanya menyeringai.

Kalimat itu membuat Arini terdiam sejenak. Kata-kata Alaric terdengar begitu biasa baginya, seolah tidur bersama adalah hal yang wajar dilakukan oleh 'saudara.' Namun, bagi Arini, situasinya terasa sangat salah, sangat tidak nyaman.

"A-aku…" Arini mencoba merespons, namun lidahnya kelu. "Ini bukan hal yang biasa dilakukan..."

Alaric mengangkat satu alis, wajahnya kini terlihat lebih serius. "Bukan hal yang biasa? Arini, kau terlalu banyak berpikir. Ini hanya tidur. Tidak ada yang perlu dirisaukan." Dia duduk lebih dekat, membuat Arini semakin gugup. "Kenapa kau merasa ini aneh? Kita tinggal di rumah yang sama. Sebagai saudara, ini wajar bukan, amor?

Arini tergagap, tidak yakin harus menjawab apa. "Tapi... kita bukan saudara kandung. Ini... ini terasa salah. Kau tidak bisa memaksakan hal ini begitu saja."

Alaric menatapnya dalam-dalam, seolah membaca pikirannya. Tatapannya mengunci mata Arini, membuatnya semakin gugup. "Kau terlalu takut, Arini. Aku hanya ingin memastikan kau aman di sini. Apa yang kau pikirkan tidak akan terjadi. Percayalah, aku hanya ingin melindungimu."

Namun, kata-kata itu, meskipun lembut, masih membawa tekanan yang berat. Arini bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perhatian kakak tiri. Alaric selalu memiliki kendali penuh atas situasi, dan itu membuatnya merasa semakin kecil.

"Melindungi matamu!," gumam Arini mencibir,  "aku bisa jaga diri kok, lagian aku bukan anak kecil!"

Alaric tersenyum tipis, seolah menertawakan keberanian kecil Arini. "Itulah masalahnya, di luaran sana, banyak serigala yang berwujud manusia"

Arini terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Kata-kata Alaric selalu mengandung teka-teki, penuh misteri yang membuatnya semakin bingung. Seolah ada sesuatu yang sangat besar yang ia tidak tahu, dan Alaric memegang semua jawabannya.

"Aku... butuh waktu," akhirnya Arini berkata pelan, merasa lemah di hadapan tatapan Alaric yang intens.

Alaric bangkit dari tempat tidur, tubuhnya tinggi dan penuh wibawa. "Ambillah waktumu, tapi ingat ini, aku selalu di sini untuk memastikan kau baik-baik saja. Jangan pernah lupa itu." Dia menatap Arini sekali lagi sebelum berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Arini sendiri dengan perasaan campur aduk.

Arini terbaring di tempat tidur, pikirannya berkecamuk.

"aku ingin mengikat mu di dalam sangkar cantik-ku."

"Kau begitu rapuh, begitu indah, mi amor. Kau bahkan tidak menyadari betapa berbahayanya dunia ini untuk seseorang sepertimu. Kau perlu dilindungi... dan satu-satunya yang bisa melakukan itu adalah aku."

---

To be continued...

Alaric Alejandro de la Cruz

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alaric Alejandro de la Cruz

Aku adalah adik tiri protagonis pria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang