Luna menjatuhkan tubuhnya diatas kasur, menghela napasnya berat, rasanya hari ini sangat melelahkan untuk dilalui, matanya yang terpejam kini mulai terbuka menatap langit langit kamarnya dengan tatapan kosong. Rasa sesak didadanya kian muncul saat mengingat kembali perkataan teman-temannya.
' kak Arutala jadian sama anak sekolah lain'
Matanya kembali memanas, menahan cairan bening yang mati matian agar tidak tumpah kembali.
"Kenapa kamu bohong sama aku...." kini cairan bening itu lolos membasahi pipi Luna.
Luna memang tidak mempunyai hak apapun terhadap Arutala, namun, ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya, mengapa Arutala harus mengatakan bahwa ia mencintai Luna jika pada akhirnya ia juga yang meninggalkan Luna begitu saja, dan yang paling menyakitkannya adalah Luna mengetahui kabar itu dari teman temannya sendiri.
"Harusnya aku ga pernah percaya sama kamu." Lirih Luna, tubuhnya lemas dan brantakan.
Seharusnya Luna bisa menerima semua ini, ia juga sudah mengetahui bahwa ini akan terjadi, mengingat bahwa ia dan Arutala memiliki perbedaan kepercayaan, sulit bagi mereka untuk bersama. 'Temboknya terlalu tinggi!!.
Drtt drtt
Luna mengusap Air matanya gusar, setelah mendengar deringan telponnya berbunyi. Ia mengambil benda pipih itu dan betapa terkejutnya ia melihat nama seseorang yang tertera disana.
"Kak Aru," gumamnya seraya membulatkan matanya.
Ia menjawab telpon itu, dan tampak hening beberapa saat.
'Lun...' kini Aru mulai membuka suara.
Luna membeku ditempat, ia kembali terisak, Luna membekap mulutnya agar Aru tidak mendengarnya menangis, sesak didadanya membuatnya susah bernapas, ia ingin bertanya pada Aru, ada apa dengan semua ini, apakah Arutala mencoba untuk mempermainkan dirinya? Seketika seluruh memori tentang Arutala kian berputar kembali di dalam otaknya, kini Luna merasa tidak pantas untuk mendapatkan kasih sayang dan juga cinta, mengapa sesakit ini hanya untuk merasakan hal sakral itu baginya? Sesulit itukah dunia memberikannya kebahagiaan? Luna tertawa hambar sejenak. mengapa mengharapkan cinta dan kasih sayang dari orang lain? Sedangkan dari kedua orangnya saja bahkan Luna tidak pernah merasakannya. Ia tidak tahu bagaimana rasanya mendapatkan kasih sayang seorang ibu ataupun ayah, dari kecil yang Luna lihat adalah kebencian dari orangtuanya.
'Lun, kamu nangis?" Tanya Arutala, suaranya terdengar khawatir, ia sempat mendengar isakan tangis Lalunna.
"Aku kecewa sama kamu," ucap Luna, Lalu mematikan telponnya sepihak, saat mendengar suara teriakan keras, serta suara gedoran pintu terdengar dari balik kamar.
"LUNA!!! KELUAR KAMU."
"LUNA, BUKA PINTUNYA LUNA!!"
Luna bangkit dari kasurnya lalu membuka pintu, terpampang jelas Reii tengah berdiri dihadapan Luna, dadanya naik turun, serta sorot matanya seakan ingin mengibarkan bendera perang kepada Luna.
"APA APAAN SEMUA INI LUNA," pekik Rei melempar lembaran kertas yang ditemukannya dilantai, kewajah Luna. Luna kenali bahwa kertas itu adalah kertas ulangan yang tadi dibagikan oleh gurunya, Luna menelan salavianya susah, terus menatap kertas kertas yang kini telah terserak dilantai,
"JAWAB PAPA, LUNA!!" desak Reii, melihat Luna yang masih diam di tempat.
"Maaf, Pah," ucap Luna takut. Suaranya bertegar. Ia menunduk tidak berani menatap Reii yang tengah memandanginya dengan emosi. Reii meraih pipi Luna dengan sangat kasar, ia mengeratkan cengkramannya disana membuat Luna meringis kesakitan.
"Sakit... pah,"
Reii menampar pipi gadis itu, hingga membuat Luna meringis kesakitan, memegangi pipinya yang terasa nyeri dan panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
LABIRIN🦋
Teen Fiction"Bermainlah denganku" "Bermain?" "Cluenya ia sudah mati di kepala, tetapi belum di makamkan hanya karena ia masih bernyawa." "A-Apa?" "Ambil waktu sebanyak yang kau butuhkan, lalu pecahkan dan menangkan."