Labirin🦚 bab 18

0 0 0
                                    

Lalunna terjatuh ke lantai kamar mandi, tubuhnya terasa lemas dan tenggorokannya kering. Ia sudah mencoba berteriak berkali-kali, tetapi suara itu hanya terdengar samar-samar, seperti tertelan dinding kamar mandi yang gelap. Dua setengah jam, terasa seperti seumur hidup baginya, terkunci di dalam ruang sempit, terisak-isak namun tidak ada yang mendengar. Suasana sunyi, sepi, dan sangat menekan. Waktu berlalu dengan lambat, membuatnya semakin kehabisan tenaga.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti dengan ketukan di pintu.

"Ada siapa di dalam?" suara seorang gadis muda terdengar ragu.

Lalunna mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Dengan suara serak, ia mencoba berteriak, "Tolong... tolong!"

Gadis itu, yang ternyata adalah adik kelasnya, terkejut mendengar suara itu dan langsung mencoba membuka pintu. "Tunggu, saya buka!" Ia menekan gagang pintu dengan panik. Setelah beberapa saat yang terasa lama, pintu akhirnya terbuka.

"Kak, kamu kenapa?!" kata gadis itu, kaget melihat Lalunna terbaring lemah di lantai, wajahnya pucat dan tubuhnya kaku.

Segera gadis itu berlari keluar dan berteriak meminta bantuan. "Tolong! Kak Lalunna pingsan! Cepat, panggilkan OSIS!"

Beberapa menit kemudian, anggota OSIS datang dengan cepat, membawa Lalunna ke UKS. Sesampainya di sana, mereka segera merawatnya. Berita tentang insiden itu pun dengan cepat menyebar ke seluruh sekolah, termasuk Arutala yang sedang berada di ruang pembina, membahas rencana upacara bendera dengan pembina.

Ketika ia mendengar kabar tentang Lalunna yang pingsan, hatinya langsung gelisah. Wajahnya berubah cemas. "Lalunna...!" pikirnya, dan tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju ruang UKS.

Sesampainya di sana, Arutala melihat teman-temannya sudah berkumpul di dalam, memelihara ketenangan sambil menunggu kabar dari petugas UKS. Jorji, Dedek, Silvia, Rio, Bobby, Eza, dan Ezi duduk di luar, wajah mereka terlihat penuh kekhawatiran.

Ketika mereka melihat Arutala, Jorji memandangnya sejenak, lalu memberi isyarat untuk masuk. "Kamu boleh masuk, kak. Kami akan menunggu di luar," katanya pelan.

Dengan wajah tegang dan penuh kecemasan, Arutala masuk ke dalam ruang UKS, menemukan Lalunna terbaring di ranjang dengan mata terpejam, tubuhnya masih tampak lemah. Dokter sekolah sedang memeriksa denyut nadinya.

"Dia... Dia akan baik-baik saja, kan?" tanya Arutala, suara gemetar, berusaha menahan emosi.

Dokter sekolah menatapnya dengan tenang. "Kami sedang merawatnya, tapi kondisi fisiknya memang sangat lemah. Semoga dia segera sadar."

Arutala duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan Lalunna dengan lembut. "Winter, bangunlah. Aku di sini. Aku ga bisa lihat kamu begini..." katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Di luar, teman-teman Arutala hanya bisa menunggu, hati mereka turut cemas, berharap Lalunna segera pulih.

"kalian benar benar yakin ini bukan sebuah kecelakaan, kan? Lalunna di kunci di kamar mandi itu tidak bisa dibilang kebetulan," kata silvia.

"Aku rasa ini disengaja, Silvia. gak ada yang bisa menjelaskan kenapa dia bisa terkunci di dalam tanpa ada yang sengaja melakukannya. Lagipula, kita semua tahukan kalau lalunna bukan orang yang suka membuat masalah," ucap Dedek merasa ini adalah sebuah kesengajaan.

"Iya, benar banget, tapi kita harus sabar dulu. kalau kita langsung bertindak, justru bisa mencurigakan. kita tunggu saja dia pulih dan sampai acara perlombaan selesai. nanti kita cari tahu siapa yang bertanggung jawab," kata Jorji tidak ingin teman temannya gegabah.

"Setuju sama jorji. Kalau kita buru buru sekarang, bisa bisa malah jadi bumerang, lagipula, Lalunna pasti lebih butuh dukungan sekarang, daripada kita sibuk mencari pelaku," lanjut Bobby.

"Oke, jadi kita sepakat, ya. Kita tunggu semuanya selesai baru kita cari tahu siapa pelaku di balik kejadian ini." Rio ikut menambahi.

"Sepakat," ucap Eza dan Ezi serentak.

<Labirin>



Reii duduk di ruang tamu, tubuhnya terkulai di sofa, mata terpejam, berusaha menikmati sepi. Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja, mengganggu ketenangannya. Tanpa tergesa-gesa, ia meraih ponsel itu dan melihat nama yang tertera: "UKS Sekolah Lalunna."

Ia mengangkat telepon dengan sikap acuh tak acuh, tidak menyangka bahwa kabar yang akan diterimanya akan mengubah suasana hatinya.

"Pak Reii, ini UKS. Anak Bapak, Lalunna, pingsan di sekolah. Kami sudah membawanya ke UKS. Mohon segera datang."

Reii menatap layar ponsel sejenak, seakan mencerna apa yang baru saja didengarnya. Namun, ekspresinya tetap datar. Ia menghela napas panjang, seolah masalah ini bukan sesuatu yang perlu dipikirkan lebih jauh.

"Ya, ya, saya akan ke sana nanti," jawab Reii sambil menutup telepon tanpa rasa panik sedikit pun.

Sambil menaruh ponsel, ia berbalik ke arah Galaksi, yang sedang duduk di meja makan, membaca buku. Reii berkata dengan suara biasa, tanpa ada ketegangan sama sekali.

"Lalunna pingsan di sekolah. Sudah dibawa ke UKS," ucap Reii dengan Santai

Galaksi yang mendengar ini langsung terdiam. Wajahnya berubah pucat, kepanikan melintas begitu cepat. Dia bangkit dari tempat duduknya, tatapannya tajam dan penuh kekhawatiran.

"Apa? Lalunna pingsan? Kenapa papa nggak buru-buru pergi ke sana? Ada apa sama papa? Dia anakmu, pah!"

Galaksi hampir berteriak, hatinya dipenuhi rasa takut dan cemas. Namun, yang lebih menyakitkan lagi adalah sikap Reii yang justru terlihat tidak peduli. Reii hanya mengangguk ringan, seolah itu adalah hal yang biasa terjadi. Tidak ada tanda-tanda kekhawatiran di matanya, tidak ada rasa cemas yang muncul.

"Tenang saja, ini bukan masalah besar. Nanti juga dia bangun, Adik kamu kalau engga bikin masalah ya penyakitnya kambuh, lemah banget jadi cewe," Cetus Reii emosi.

Kata-kata itu membuat darah Galaksi mendidih. Ia merasa seperti ada sesuatu yang sangat salah dengan sikap papanya. Kenapa Reii begitu tenang? Bahkan lebih tenang daripada dirinya yang gelisah setengah mati.

"Apa maksud Papa? Lalunna pingsan, Papa malah nggak peduli sama sekali! Apa itu bukan masalah besar buat Papa?!"

Amarah Galaksi tidak bisa ditahan lagi. Ia merasa dipenuhi rasa frustasi-bukan hanya karena keadaan adiknya, tapi juga karena melihat Papanya begitu acuh tak acuh.

Reii menatap Galaksi dengan wajah datar, tidak terpengaruh sedikit pun oleh emosi anaknya. Dia hanya mengangkat bahu, seolah kejadian ini adalah hal biasa.

"Sudah, jangan banyak bicara. Kesehatannya tidak masalah. Kalau memang serius, mereka pasti sudah menghubungi aku lagi."

Galaksi tidak bisa menahan emosi. Tiba-tiba, dia berjalan ke pintu dan menendangnya dengan keras, suara dentuman pintu yang terhantam dinding terdengar cukup menggema di rumah yang sepi itu. Ia mengumpulkan semua kekuatan emosionalnya dan berteriak dengan penuh kesal.

"Papa itu... tidak bisa diharapkan! Aku pergi ke sekolah sekarang juga!"

Dengan langkah cepat, Galaksi membuka pintu rumah, dan meskipun amarahnya membakar dalam dada, ia tidak ingin berdebat lebih jauh dengan Reii. Kesehatan Lalunna jauh lebih penting dari sekadar pertengkaran yang tidak akan pernah selesai. Tanpa menunggu respons apapun dari Reii, ia melangkah keluar, menuju sekolah Lalunna.

Reii tetap duduk di sana, seakan tidak terganggu dengan apa yang baru saja terjadi. Ia meraih remote televisi dan menyalakan TV, kembali tenggelam dalam rutinitas hariannya, seolah apa yang terjadi dengan Lalunna adalah masalah yang bisa ditunda.







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LABIRIN🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang