Bab 1

26 11 0
                                    

Malam ini aku membiarkan diriku dibasahi hujan deras yang hampir dua jam tidak berhenti. Aku baru selesai ziarah ke makam keluargaku. Dendamku semakin tidak terkendali mengingat kejadian sadis yang menimpa keluargaku. Satu tahun sudah berlalu tapi, aku belum bisa menemukan siapa pembunuh keluargaku. Mereka benar-benar kejam. Semua anggota keluargaku habis disiksa.

Aku menangis sambil sesekali berteriak untuk melampiaskan emosiku. Untung saja harta orang tuaku masih bisa aku gunakan untuk membantuku mencari pembunuh yang sebenarnya. Aku masih baru memulai pencarian pelaku pembunuhan itu karena selama satu tahun belakangan ini aku mengalami depresi.

"Tuhan... Aku harus membalaskan dendam ini!! " Aku berteriak sekencang mungkin.
Usai dari makam keluargaku, aku berjalan menyusuri jalan yang sepi dan gelap. Aku tidak takut sama sekali. Entah kenapa hatiku sangat sakit. Aku ingin mengakhiri semuanya saja.
Kalau saja aku sudah menyelesaikan dendamku, aku sudah memilih mati saja. Bayangan malam itu selalu menghantuiku. Tangisan ayah, mama, paman, adik, dan tanteku menyatu di ruangan itu.

Kakiku yang tidak dapat lagi menahan tubuhku akhirnya terjatuh di tengah jalan. Aku tidak lagi berusaha berdiri. Aku tidak tahan menanggu penderitaan ini. Tidak ada tempatku mengadu. Tidak ada tempatku bercerita.

Aku melihat cahaya yang semakin mendekat dari ujung jalan. Ternyata cahaya itu adalah lampu mobil yang semakin mendekat ke arahku. Dari kejauhan suara klekson mobil sudah terdengar di telingaku. Namun, aku tetap di tengah jalan itu dan tidak berniat untuk berpindah. Biarkan saja aku ditabrak. Aku sudah tidak tahan lagi hidup di dunia ini.

"Bodoh. Kenapa kamu duduk di tengah jalan seperti ini! " Seorang pria yang sepertinya seusiaku turun dari mobilnya dan membentakku. Aku mengabaikan ucapannya dan tetap duduk di tempat.

Mungkin, karena dia kasihan padaku dan badanku sudah seperti gembel dia membuka jaketnya dan memayungiku.
"Kalau mau mati jangan di tengah jalan. Pergi sana lompat ke jurang, " Ucapnya tanpa dosa.
Sial. Bisa-bisanya dia ngomong seperti itu padaku? Dasar laki-laki gila. Jujur saja aku ingin menonjok mukanya dan menendang perutnya. Tapi, karena aku tidak punya tenaga lagi aku akhirnya memilih diam.

Melihat diriku yang masih mengabaikannya, Pria itu mengajakku berdiri. Awalnya aku menolak tapi, pria itu malah menggendongku dan memasukkannya ke mobilnya.
Pria itu sudah gila. Bisa-bisanya ia menampung aku, tidak takutkah dia kalau aku bisa saja orang gila?

"Lo mau bawa aku kemana? " Tanyaku karena pria itu langsung menancap gas tanpa sepatah katapun.
"Mengantar lo balik lagi ke rumah sakit jiwa," Pria itu berkata begitu santai tanpa beban.
Gila. Aku bertemu dengan orang gila. Aku yang dikatain seperti itu langsung memukulinya tanpa henti. Aku disulut emosi.
Hampir saja kami menabrak trotoar kalau saja pria itu tidak cepat mengelak dan menghentikan mobil.

"Bisa diam tidak? Kalau mau mati sendiri gak usah ngajak-ngajak, " Mata tajam itu menatapku dengan nyalang. Aku yang ditatap seperti itu seketika keberanianmu menciut.
Aku memilih ingin keluar saja dari mobil itu. Aku takut.
"Siapa yang nyuruh lo keluar? Diam." Lagi-lagi dia membentakku dengan suara tegas.
Aku yang sudah ketakutan langsung menghentikan niatku dan memilih diam. Aku menatap ke arah luar kaca.
Melihatku sudah diam dan tidak bertingkah lagi, pria itu menjalankan mobil lagi.
"Dasar cowok gila, " Batinku.
Setengah jam kami berada di dalam mobil. Karena cowok itu mengemudi mobil dengan pelan karena jalan yang licin.

Kami berhenti di depan rumahku. Gila. Dari mana dia tahu rumahku? Padahal sepanjang perjalanan aku tidak menyebutkan alamatku.
"Makasih," Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku tidak berani menanyakan yang tadi karena sorot matanya yang masih terlihat tajam.
"Kamu kalau ada apa-apa kabarin. Aku tetanggamu. " Cowok itu akhirnya membuka suaranya kala melihatku sudah mau keluar dari mobilnya.
What? Tetangga? Sejak kapan aku punya tetangga?
Aku kira rumah yang terletak di samping rumahku tidak ada penghuninya. Tapi, wajar sih aku tidak tahu karena aku jarang keluar. Aku baru bisa keluar sendiri baru dua bulan belakangan ini. Itupun aku sangat jarang keluar. Aku mengerjakan pekerjaanku lebih banyak di rumah

"Iya" Aku hanya menjawabnya singkat. Pantas saja cowok itu seperti mengenalku ternyata dia tetanggaku.

Aku berjalan ke rumah dengan keadaan basah.Om John dan Tante Sonya segera menghampiriku. Mereka sudah menungguku dari tadi karena aku keluar sampai malam. Mereka sudah kuanggap seperti orang tuaku. Mereka adalah orang kepercayaan keluargaku.
"Sayang, tante khawatir kamu lama sekali perginya, " Tante Sonya memegang tanganku yang dingin berusaha memberi kehangatan.
"Vanya, kamu mandi dulu. Om dan tante tunggu di sini bisr kita makan bersama.
Om John sudah memahamiku. Dia tidak ingin bertanya banyak karena ia tahu aku makam keluargaku.
" Iya Om, " Akhirnya aku beranjak ke kamarku. Jujur, hari ini benar-benar menguras tenagaku. Aku segera membersihkan diri.

Sekitar lima belas menit aku sudah selesai bersih-bersih. Aku langsung ke ruang makan dan duduk di samping tante Sonya.
Kami makan tanpa ada yang bicara. Hanya keheningan.
"Om, Tan rumah sebelah ada yang ngisi ya? " Akhirnya aku yang memulai obrolan kala pertanyaan itu terlintas di kepalaku.
"Iya, udah setengah tahun di sana. Cuma dia hanya sendiri." Jawab Sonya setelah menatap suaminya sebentar. Aku hanya mengangguk-angguk kecil. Setelahnya sampai kami selesai makan tidak ada yang bicara lagi.

Usai selesai makan, aku mencuci piring. Awalnya dilarang tapi aku tetap ngotot. Aku bukan lagi anak manja karena tidak mungkin ia bermanja-manja kepada om dan tante yang sudah mau mengangkat aku jadi anak mereka.

Usai mencuci piring yang kotor, aku duduk di dekat Om dan tante. Mereka awalnya sedang membahas sesuatu. Tapi mengetahui aku sudah datang membuat mereka terdiam.
Aku tidak mau ambil pusing. Aku hanya ingin menanyakan sudah sejauh mana proses penyelidikan pembunuhan keluargaku.
"Om apakah sudah ada jejak pelaku? " Tanyaku dengan serius. Aku yakin Om John pasti ingin juga membantunya membalaskan dendam itu. Bagaimana tidak, karena om John adalah sahabat ayahku.
"Markas mereka sudah Om temukan. Om pastikan dulu apakah tempat itu tempat yang asli atau hanya untuk mengalihkan perhatian kita. Maaf ya om masih berusaha mencari otak dari pembunuhan itu, " John hanya memberitahukan sedikit kebenarannya saja.
"Gak papa Om. Intinya kita harus mencari tahu siapa dalang dari  semuanya itu. Aku tidak sabar ingin membalaskan dendamku pada mereka," Aku senang mendengar kemajuan informasi yang diberikan Om John. Aku akan mencari siapa dalang semuanya.
"Iya pasti. Kita akan sama-sama membalaskan dendam kita pada pecundang itu, " John serius dengan ucapannya itu. Sonya juga mengangguk kecil. Aku bersyukur masih ada orang yang mau membantunya menyelesaikan semua dendamnya.
"Akan kupastikan semuanya mendapat ganjarannya. Semua ada sebab akibatnya. Hukum tabur tuai berlaku." (Nanata)

Zefanya BrielleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang