Bab 7

7 4 0
                                        

Mulai hari itu aku dan Dika menjadi teman baik. Hanya saja ia jarang mau datang ke rumahku. Ada saja alasannya. Yang pasti dia tetap baik padaku. Dua minggu sudah berlalu dan tidak ada lagi yang menerorku.nomor hpku juga sengaja diganti. Melihat kondisi sudah lebih baik, Om John mengizinkan aku untuk ke kantor lagi dengan syarat hanya setengah hari saja kerjanya. Aku juga harus diantar jemput pak Robin. Oke aja sih kalau aku.

Saat aku ada di kantor, aku merasa ada satu orang yang tidak familiar mukanya. Siapa dia ya? Sedari aku duduk di meja kerjaku, matanya tak henti mengarah padaku. Jika dilihat dari wajah, umurnya mungkin masih 30-an. Aku mencoba bersikap tenang dan tidak menunjukkan raut curiga. Malahan aku tersenyum ramah padanya. Dengan lihai aku mengambil foto pria itu. Aku harus memberitahukannya pada om John. Takutnya dia mata-mata yang sedang mengincarku lagi.

Jujur, aku sangat risih dengan bapak-bapak yang memangauku sedari tadi. Kalau saja ini tidak di kantor aku ingin saja melabraknya.

Aku mengirim foto itu ke Om John dan tante Sonya. Tanpa sadar aku juga mengirimnya pada Dika. Aku juga bingung kenapa aku melakukannya.

Dika yang lebih dulu membalas pesanku.

"Pulang"

Singkat sekali balasannya itu. Dan semenit kemudian Om John juga menyuruhku pulang. Lebih tepatnya ia mendesakku pulang. Aku menurut saja kalau sudah begini. Pasti ada yang tidak beres kalau gini.

Aku pura-pura mengangkat telepon dan duduk dengan santai du kursiku. Aku mencoba membuat cowok itu tidak curiga denganku kalau aku sudah mencurigainya mata-mata.

Aku dengan tenang dan santai mengambil tasku, aku pamit dengan rekan di sampingku tapi masih dengan posisi pura-pura bertelepon dengan orang lain.
"Iya boleh. Untuk stok barangnya masih ada kok, Bu. Jadi, tenang aja," Aku pura-pura sedang membahas kerjaan.

Setelah sampai di pintu luar kantor, pak Robin sudah ada di sana dan segera membuka pintu mobil.
Aku menceritakannya pada pak Robin kalau aku ketemu orang yang aneh di kantor. Pak Robin memintaku untuk berhati-hati kalau sudah seperti itu.

Aku disambut Om John dan tante Sonya di rumah. Mereka memeriksa apakah aku baik-baik saja.

"Untunglah kamu baik-baik saja, sayang. Tante khawatir saat kamu kabari kayak tadi." Tante Sonya memelukku erat. Tante Sonya langsung pulang ke rumah saat dapat kabar kayak tadi.
"Kamu jangan keluar dulu untuk kedepannya ya? Om takut mereka akan bertindak. Kamu harus waspada dan di rumah dulu," Terlihat kekhawatiran di wajah Om John. Mendengar perintah Om John, aku langsung mengangguk dan menurut. Ini demi kebaikanku juga.

Sedikit cerita mengapa Om John dan tante Sonya sangat baik padaku karena selain aku anak sahabat Om John, ayahku dulu pernah menolong Om John dan bahkan nyawa ayahku yang dipertaruhkan di sana. Sejak kejadian itu, Om John seperti berhutang budi dengan ayah. Mungkin hal itu yang Om John ingat makanya sampai sekarang dia sangat baik sekali padaku.

Bukan hanya aku yang terpukul ketika kepergian keluargaku, tetapi Om John dan Tante Sonya juga sangat terpukul. Aku pernah melihat mereka saling menguatkan karena kepergian keluargaku. Mereka sudah menganggap kami seperti keluarga kandung mereka.

Itu aja mungkin. Aku masuk ke kamar  dan rebahan saja. Aku tidak menyadari kalau Dika sedari tadi menghubungi aku. Aku lupa membuat nada dering hpku. Pasti Dika khawatir karena sedari tadi aku tidak membalas pesannya.

Aku langsung menghubungi Dika. Masih baru kupanggil, ternyata Dika langsung mengangkatnya. Aku sengaja mengajak VC-an. Karena belakangan ini juga kami lebih sering vc-an karena aku tidak dibolehin keluar dulu.

"Kamu baik-baik aja kan? Apa dia sempat melukai kamu?" Raut khawatir dan cemas sudah cukup menjelaskan perasaan Dika. Aku tidak menyala kalau dia bisa sekhawatir ini padaku.
"Tenang, aku baik-baik saja kok. Aku udah di rumah juga kok," Jawabku dengan menatap layar hpku.
"Untunglah." Jawab Dika sambil membuang nafas panjang.
"Maaf membuat mu khawatir, " Aku minta maaf karena merasa bersalah. Aku tahu Dika pasti panik tadi saat membaca pesanku dan aku tidak langsung membalasnya.

"Kamu nggak salah. Boleh kita vc-an nya agak lama. Maksud ku jangan matiin." Pintanya tapi tidak dengan memaksa. Aku hanya mengangguk saja.

Aku baru menyadari kalau sedari tadi ia ada di mobil. Aku menyadarinya karena melihat Dika turun dari mobil.
"Kamu habis dari mana? " Tanyaku karena penasaran.
"Hanya kesini sebentar kok. Aku sekarang mau lnjut kerja" Jawabnya sambil berjalan ke ruangannya.

Apa mungkin Dika ingin mencariku ya tadi? Apa dia sekhawatir itu padaku? Isss aku terlalu pd banget.

Aku melihat Dika sangat fokus dengan kerjaannya. Aku heran kenapa dia ingin vc nya jangan dimatiin padahal dia sedang fokus pada kerjaannya.
Tapi gak papalah mhngkin Dika kesepian di sana jadi butuh teman makanya tidak ingin matiin VC nya.

Aku melihat jam sudah ke jam 1 siang. Aku baru menyadarinya.
"Dika, kamu makan dululah," Aku menyuruhnya makan. Apakah Dika selupa ini pada jam makan?

"Belum lapar, Fany. Nanti ya. Kamu dululah yang makan sekarang." Dika malah memintaku makan.
"Lah, kan aku yang nyuruh kamu duluan. Ya harusnya kamulah yang makan duluan." Aku benarkan? Masa aku yang nyuruh dia makan malah ini dia menyuruhku balik.

"Aku belum lapar, nanti kalau dah lapar baru makan," Jawabnya sambil terkekeh kecil.
"Ya udah aku juga nggak makan kalau gitunya. Tunggu lapar dulu baru makan," Aku sengaja mengatakan hal itu agar Dika terpaksa harus mengiyakan untuk makan.

"Hmm ya udah deh aku makan. Aku ke cafe samping kantorku aja makannya." Dika akhirnya mau makan. Dia berjalan ke kafe yang dia maksud. Aku sengaja menunggu Dika selesai memesan makan. Aku harus pastikan dia makan dulu. Soalnya Dika agak bandal. Padahal dia punya asam lambung. Haduhh.

"Nih, aku dah pesan makanannya. Kamu juga harus makan di sana," Dika menunjukkan pesanan makanannya. Dia ternyata suka makan sayur. Hehe beda denganku yang tidak terlalu suka.
"Iya aku makan. Aku ambil makan dulu. Aku tutup aja ya panggilannya," Ekspresi Dika berubah ketika aku ingin menutup panggilannya.
Tapi akhirnya dia juga mengangguk walau dengan berat hati.

"Oke. Kamu nambah nanti. Kalau bisa makan sayur." Pintanya sebelum panggilan berakhir.

Aku ke meja makan dan mengambil piringku. Ada banyak sayur di atas meja. Aku nggak tahu nama sayurnya. Tapi aku harus mulai mencobanya. Aku memasukkan semua jenis sayur ke piringku. Sepertinya om dan tante makan diluar karena sesuai kata bibi mereka pergi karena ada pertemuan dengan rekan bisnis mereka.

Pantas saja banyak orang yang menjaga di pintu depan rumah.
"Wah, non Fanya sudah mulai makan sayur?" Ternyata bibi juga menyadarinya.
"Hehe iya bi, Fanya mau mencoba hal baru, " Aku terkekeh kecil karena merasa malu pada bibi. Biasanya aku selalu saja menyisakan sayur di piringku.

"Jika bisa memilih, aku ingin kamu tahu bahwa selama ini aku sudah memperhatikanmu, jauh sebelum kamu mengenal aku." (Nanata)

Zefanya BrielleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang