Om John ternyata sudah ada di rumah. Ia pulang kala mengetahui kejadian semalam yang terjadi padaku. Ia memeriksa hpku dan langsung mencari tahu siapa yang menerorku semalam. Karena kejadian semalam aku tidak diizinkan dulu pergi ke kantor. Padahal aku sudah berusaha menjelaskan kalau aku sudah baik-baik saja. Tante dan Om John tetap melarangku.
Melihat Om John tidak bisa dibujuk lagi membuat aku harus menerimanya. Aku memilih menonton dracin untuk menghabiskan waktu. Soalnya aku juga dilarang untuk memikirkan kerjaan. Aku lumayan puas menonton drama kali ini. Tidak terasa aku sudah maraton 5 episode. Jam sudah menunjukkan makan siang. Akhirnya aku pergi ke meja makan.
Lah, Om John dan Tante Sonya sudah ada di sana. Apakah mereka tidak kerja?
"Om sama tante nggak kerja?" Tanyaku sambil duduk di dekat tante Sonya.
"Om istirahat hari ini. Mungkin besok aja ke kantor." Jawaban Om John benar juga ya. Om John pasti lelah habis dari Semarang.
"Kalau tante pengen me time dengan suami tercinta tante dulu," Aku terkekeh mendengar pernyataan tante Sonya. Mereka memang romatis sekali. Mereka sama kayak ayah dan bunda.Kami sudah selesai makan. Aku membantu bibi membersihkan piring kotor. Setelah selesai membersihkan piring kotor aku mendekati tante Sonya yang sedang duduk di sofa dengan Om John.
"Tan, tetangga kita baik banget. Semalam dia yang bantu nenangin Fanya. Bisa nggak nanti aku ajak Dika ke luar sebenar aja kok," Aku baru kepikiran kalau ternyata aku bisa saja tadi ajak Dika ke luar sebentar.
"Untuk sekarang jangan dulu, sayang. Bahaya," Larang Tante Sonya.Yahhh. Padahal bosen banget di rumah.
"Atau boleh tidak ajak dia ngobrol ngobrol dj teras kita ini. Dia baik tan. Banyak hal baru yang aku dapat darinya." Aku berusaha membujuk tante Sonya. Awalnya sih agak berat hati mengizinkan. Tapi karena Om John mengangguk, tante Sonya mengizinkan juga.Aku yang cukup senang langsung menghubungi Dika. Dia lumayan lama mengangkat panggilanku.
"Lagi ngapain?" Tanyaku dengan suara yang kulembut-lembutkan.
"Lagi rebahan, Fany." Jawabnya dengan suara serak.Dia kenapa ya? Apakah dia sakit? Aku merasa khawatir.
"Boleh nggak.. " Belum selesai aku menyelesaikan ucapanku, suara benda jatuh terdengar.
"Dika... Dik.. Dika? " Aku terus memanggilnya tapi tidak ada sahutan.Aku tambah khawatir kalau udah seperti ini. Aku kembali lagi ke ruang tamu dan minta izin ke rumah Dika sebentar.
Saat aku meminta izin, suara Dika dari balik telpon terdengar lagi.
"Aku baik-baik saja, Fany. Kamu nggak usah datang," Dika melarangku datang ke rumahnya.Namun aku mengabaikan suara Dika dan membujuk tante dan Om dengan wajah memohon. Hanya dengan cara itu mereka akan mengizinkanku pergi.
"Ya udah sana. Hati-hati." Om John mengiyakan. Aku lumayan bingung sih kenapa hanya ke rumah tetangga saja mereka tidak mengijinkan diriku pergi. Ini terlalu berlebihan sih jika alasannya untuk melindungiku.
"Makasih Om" Usai mengucapkan itu aku langsung beralih ke rumah Dika.
"Dika, mintol buka pintumu," Aku mendesak Dika membuka pintu padahal aku masih ada di gerbang rumahku. Gerbang rumah Dika tidak dikunci jadi aku langsung masuk saja dan menunggu di depan pintu rumah Dika.Dika akhirnya membuka pintunya. Saat melihat isi rumah aku sedikit shock karena cukup berantakan dan suasananya seperti gelap.
Dia diam sedari tadi. Tidak berniatkah dia menyuruhku duduk atau apa kek. Ini dia membisu dan duduk di sofa. Kenapa dia beda dari sebelumnya ya? Ini seperti bukan Dika.
"Kamu gak papa kan?" Aku bertanya saja dari pada seperti sekarang tidak ada yang memulai percakapan.
"Iya, Fany." Dia menjawabku seperti biasa.
"Maaf, rumahnya berantakan." Akhirnya dia mau buka suara. Aku meneliti ruang tamu, sepertinya ada yang sengaja menghancurkan rumahnya. Lihatlah, foto dan gas bunga yang berserakan di lantai. Apakah Dika yang membuat itu? Tapi kalau bukan Dika, siapa lagi? Soalnya cuma Dika kan yang ada di rumah ini?Aku mendekatkan diri pada Dika, aku memeriksa suhu Dika. Soalnya Dika masih terlihat pucat. Dan benar saja, dahi Dika sangat panas. Aku hanya bisa meminta Dika berbaring di sofa dan meminta dia petunjuk Obat demamnya diletakkan ke mana.
Dika yang keras kepala menolak untuk diobati. Tapi, dia harus kalah denganku yang jauh lebih keras kepala darinya.
Aku menghubungi bibi dan memintanya mengantar obat demam dan plester penurun panas. Bibi langsung mengantarkannya ke rumah Dika.Aku mulai menempelkan plester penurun panas di dahi Dika. Usai menempelkannya di dahi Dika, aku ke arah dapur yang tidak jauh dari ruang tamu untuk memasak bubur. Aku kira tadi ada makanan yang langsung bisa dimakan Dika agar obat demamnya juga bisa langsung diminum ternyata tidak ada. Sembari memasak bubur aku membersihkan rumah Dika.
Aku menyapanya pelan-pelan karena Dika sepertinya sudah tertidur. Aku melakukan ini tulus membantu teman saja. Dika sudah baik padanya selama ini. Setidaknya kami nantinya bisa sahabatan.
Aku memasak bubur seadanya. Aku sebenarnya tidak terlalu pandai memasak. Tapi kalau sudah mendadak seperti ini apa boleh buat hasilnya.
Akhirnya buburnya sudah matang, aku membangunkan Dika. Dika yang melihat semuanya sudah bersih merasa bersalah karena aku yang memberikan semuanya.
"Tidak apa-apa. Kamu sedang sakit. Makan dulu buburnya ya." Aku menyodorkan bubur itu.Sembari Dika makan bubur, aku membersihkan peralatan masak kita tadi. Aku senang melakukan ini semua, karena aku juga sudah rindu melakukan kerjaan rumah. Satu tahun belakangan ini aku hanya mengurang diri. Aku membuka semua gorden agar cahaya bisa masuk. Aku pun bingung kenapa sedari tadi aku tidak kepikiran membuka gorden.
Keren juga, Dika bisa menghabiskan bubur itu. Aku melarang Dika beranjak dari tempat duduknya. Dia tidak boleh kemana-mana dulu. Lima belas menit kemudian aku baru memintanya minum obat. Karena panasnya tidak turun-turun.
Kasihan juga Dika kalau sakit seperti ini. Tidak ada yang merawatnya. Aku jauh lebih beruntung darinya ternyata.
"Makasih," Dika mengatakannya dengan tulus. Sebenarnya kalau dibandingkan dengan apa yang sudah diperbuat Dika padaku dua hari ini, masih tidak sebanding. Dika menolongnya pas di jalan malam itu, Dika melindunginya dari tawuran sore itu, dan semalam Dika datang memenangkan aku.
Aku hanya mengangguk kecil sambil memberi senyuman padanya.
"Kita bisa jadi teman baik? " Aku mengucapkan itu dengan sadar kok. Bukan karena sedang menghaluskan atau sejenisnya.
"Bisa," Duh Dika bisa nggak senyumanmu itu jangan membuatku sampai terpesona seperti ini?Aku sudah punya teman baik sekarang. Aku senang banget.
"Daun kering jatuh dari pokoknya karena mereka sudah tidak terhubung lagi. Aku tidak mau seperti daun kering itu. Aku ingin terus terhubung dengan Mu." (Nanata).

KAMU SEDANG MEMBACA
Zefanya Brielle
Roman d'amourNamaku Zefanya Brielle. Di umurku yang ke 24 tahun ini, aku hanya ingin menuntaskan dendamku. Tidak peduli apapun resikonya. Aku hanya ingin mereka mati. Nyawa ganti nyawa. Mereka bukan manusia. Bagaimana bisa mereka sudah membunuh semua keluargaku...