Entah kenapa melihatnya terluka membuatku menangis. Dia rela terluka demi aku. Kepalanya berdarah karena di kayu tadi ada paku. Mengingat paku itu menusuk kepalanya membuatku semakin menangis histeris. Untung ada klinik yang dekat di sana.
Setelah selesai diobati aku duduk di samping ranjangnya karena kebetulan disediakan kursi.Dia dengan wajah pusatnya tersenyum. Melihat hal itu aku hanya menangis. Aku menyalahkan diriku sendiri.
"Jangan nangis. Aku udah baikan," Liriknya dengan suara yang sendu. Tangannya meraih wajahku. Ia menghapus air mataku.
"Maaf," Akhirnya aku bisa mengatakan kata tersebut. Cowok itu mengangguk sambil tersenyum kecil.
Mengapa dia baik banget padaku? Mengapa dia mau berkorban demi aku? Lagi-lagi pertanyaan yang terbesit di kepalaku.Hpku dipenuhi panggilan dari Tante Sonya dan Pak Robin. Mereka pasti khawatir karena aku belum pulang dan tidak ada di kantor. Aku akhirnya mengabari kalau aku sedang di klinik mengantar teman yang sakit. Pak Robin langsung segera menyusulku ke klinik.
Cowok itu awalnya belum dibolehin pulang, tapi karena keras kepalanya akhirnya mau tak mau dia dibolehin juga pulang.
"Sekali lagi maaf Dika, " Entah kenapa aku malah memanggilnya Dika. Aku spontan mengatakan itu. Cowok itu tersenyum bahagia ketika aku menyebut namanya.
"Panggilan yang indah," Ucapnya sambil menggenggam tanganku. Jujur aku risih dipegang seperti ini. Tapi, dia hanya ingin melindungiku. Dia tidak membiarkan aku jauh darinya.Setelah beberapa menit menunggu, Pak Robin akhirnya sudah sampai. Anehnya, dia menatap tak suka ke arah Dika. Aku memperhatikan mimik Dika yang langsung berubah dan menunduk. Awalnya Dika menolak untuk pulang bersama, namun karena dia yang sudah menolongku tadi aku memaksanya biar pulang bersama.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan. Pak Robin sangat sering melirik Dika dari kaca spion. Aneh kan? Walaupun seperti itu aku hanya mengabaikannya saja.
Kalau macet seperti ini udah mending jalan kaki saja. Lama sekali sampai di rumah.Aku sesekali melirik ke arah Dika, kelihatannya dia sedang kesakitan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bingung harus bagaimana.
Dika yang mungkin menyadari aku yang gelisah langsung memegang tanganku.
"Aku baik-baik saja, " Lirihnya pelan berusaha memberikan ketenangan padaku. Aku mengangguk kecil. Jujur, baru kali ini aku merasa nyaman di samping cowok yang notabene nya baru kenal.Pak Robin berdehem kecil ketika Dika menggenggam tanganku. Seketika Dika langsung melepas tangannya dan sedikit menjaga jarak dariku.
Dengan menurunkan segala gengsiku, aku meminta kontaknya setelah sampai di depan rumahku. Aku takut kepalanya sakit tengah malam dan dia butuh bantuan. Karena sepertinya dia cuma sendiri di rumah.
Dika membagikan kontaknya dengan cepat dan langsung pergi ke rumahnya tanpa mau singgah ke rumahku. Padahal, tidak perlu buru-buru kan?"Sayang, tante khawatir karena kamu nggak ngabarin tadi," Lirih tante Sonya sambil memelukku. Aku meminta maaf sambil menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.
Aku akhirnya bergegas ke kamar untuk bersih-bersih. Cukup melelahkan satu harian ini, apalagi ditambah insiden tadi sore. Astaga aku sampai lupa menghubungi Dika.
Aku membuka hpku dan mengirim pesan padanya."Bagaimana kondisimu sekarang?"
Itu pesan yang ku kirim padanya. Aku tidak tahu harus basa-basi seperti apa akhirnya memilih to the pint aja.Setelah aku selesai mengirim pesan itu, tiba-tiba aku kepikiran aku belum memperkenalkan siapa aku dalam chat itu. Kan dia belum nyimpan kontakku tadi. Cuma aku yang masih menyimpan kontaknya. Ditambah aku tidak membuat poto profil lagi. Aku buru-buru membuka hpku dan segera menghapus pesan itu. Nyatanya, dia sudah membalasnya.
Seketika jantungku berdetak cepat usai membaca pesan itu. Sepertinya aku mulai tertarik dengan Dika. Arghh pikiran apa itu. Tidak.. Tidak.. Aku hanya sedang mengkhawatirkannya saja bukan mulai menaruh perhatian padanya.
Aku tidak ingin membalas pesannya itu. Aku mengabaikannya dan memilih ke ruang makan.
Seperti biasa tante Sonya sudah menghidangkan makanan kesukaanku. Aku memakannya dengan lahap."Bagaimana tadi setelah seharian kerja? " Tanya Tante Sonya.
"Ternyata lama kelamaan menyenangkan juga Tan," Jawabku antusias. Padahal tadi siang aku hanya menjawab seadanya aja. Tapi enah malam ini aku merasa cukup menyenangkan."Besok masih mau ke kantor atau dari rumah aja? " Pertanyaan Tante Sonya membuatku jadi kepikiran. Iya juga ya? Apa aku ke kantor lagi? Karena tahulah ya jiwa introvert mulai melekat dalam diriku.
"Mungkin masih ke kantor tan. Aku mau mengembalikan jiwa Zefanya yang pemberani seperti dulu." Lirihku setelah memikirkannya.
Tante Sonya senang melihatku sudah mulai mau terbuka. Tidak seperti dulu lagi yang hanya tertutup.Usai makan, aku masuk ke kamarku. Aku membuka hpku lagi dan mendapati dua pesan belum dibaca dari Dika.
Aku mulai membalas pesan itu dan dia cukup lucu. Padahal dari tampangnya dia adalah cowok cuek, dingin dan datar. Tapi, kenapa padaku dia seperti anak kecil yang lucu?Akun yang cukup penasaran mengapa dia memperlakukanku berbeda langsung mengirimkannya pesan.
"Kenapa kamu baik padaku? Padahal kita baru kenal"
Aku mengirim pesan itu. Baru saja ku kirim, pesan itu sudah ceklis dua berwarna biru. Ternyata dia menunggu-nunggu pesan apa yang akan ku kirim padanya."Suatu saat kamu akan mengerti."
Aku tidak paham maksudnya. Kalau udah seperti ini ya sudahlah. Nanti, aku paham juga.
Aku mulai kepikiran dengan rencanaku untuk balas dendam. Aku harus bagaimana ya agar aku tahu siapa aslinya dalang pembunuhan itu? Dan apa motif mereka.Aku mencari-cari berita tentang kasus pembunuhan keluargaku. Aku membaca berita itu. Rasanya aku ingin marah karena sampai sekarang pelaku tidak ditemukan dan polisi sepertinya tidak mengusut kasus itu.
Aku membiarkan air mataku mengalir begitu saja. Setidaknya aku merasa tenang.
Om John tidak membiarkan aku tahu pelaku pembunuhnya sekarang. Dia menyembunyikannya dariku. Karena masih ada keraguan dan ada informasi yang belum dia tahu. Sepertinya Om John masih menyembunyikannya karena takut aku gegabah dan malah berakibat fatal. Om John juga tidak ingin membiarkanku mengotori tanganku sendiri.Tapi jujur saja kalau aku sampai tahu siapa pelakunya aku akan membunuhnya. Tidak peduli dia yang mati atau aku yang mati. Aku tidak bisa memaafkan itu. Mereka sangat kejam membunuh keluargaku. Aku melihat mereka menusuk perut anggota keluargaku. Tapi yang paling parah adalah ayahku. Ayahku disiksa habis-habisan. Dia dipukuli dengan kejam, kakinya dilindas motor, ayah diikat dan tali besar menyatukan ikatan itu ke motor entah milik siapa itu. Ayah diseret-seret ketika motor itu sudah bergerak. Aku menyaksikan itu dengan mata kepalaku sendiri. Cuma aku waktu itu yang bisa bersembunyi dan aman dari mereka walaupun sempat kedapatan dan mereka mencambukku. Entah seperti apa aku waktu itu intinya ada yang menolongku sebelum aku menutup mataku, aku pingsan karena tidak bisa menahan rasa sakit itu. Dan perkiraanku itu adalah Om John.
"Pakaian kalau sudah rusak akan buang, sepatu kalau udah robek tidak dipakai. Hidupku yang sudah rusak tak berbentuk lagi ini juga harus dibuang kan? Emang masih ada yang mau menerimanya? Kurasa tidak." (Nanata)

KAMU SEDANG MEMBACA
Zefanya Brielle
RomanceNamaku Zefanya Brielle. Di umurku yang ke 24 tahun ini, aku hanya ingin menuntaskan dendamku. Tidak peduli apapun resikonya. Aku hanya ingin mereka mati. Nyawa ganti nyawa. Mereka bukan manusia. Bagaimana bisa mereka sudah membunuh semua keluargaku...