Bab 5

10 5 0
                                    

Aku meminta Pak Robin membawa mobil ke tempat kami sekarang. Aku harus bawa Dika ke rumah sakit. Takutnya ini infeksi dan menyebabkan penyakit yang lebih berbahaya. Sepanjang perjalanan Dika menolak ke rumah sakit. Namun, aku tidak peduli. Aku tetap memaksa Dika untuk diperiksa dan perbannya diganti.

Kami masuk ruangan sesuai petunjuk perawat. Kebetulan sekali rekan Dika tadi siang yang memeriksa Dika. Kan benar tebakanmu kalau dia seorang dokter.
"Dok, tolong bekas lukanya diperiksa. Takutnya infeksi. Trus kan dok, teman saya ini mukanya pucat setiap hari. Tolong diperiksa sakitnya apa. Siapa tahu bahaya kan biar cepat diobati, " Aku mengoceh pada dokter itu. Mendengar penjelasanku tadi dokter itu terkekeh kecil. Aku juga bingung apa yang sedang ditertawakannya? Padahal aku tidak ada salah omong.

"Dengar, Dit." Tutur dokter itu sambil memeriksa kepala Dika yang bocor. Dika merasa kesakitan saat dokter itu mengobati kepalanya. Dia mengoceh dan terus mengeluh sakit. Melihat hal itu aku refleks menggenggam tangannya. Anehnya, ketika aku menggengam tangannya dia langsung diam dan tidak mengeluh.

Setelah luka di kepala Dika dibersihkan dan sudah diberi perban baru, dokter itu memintaku keluar supaya dilakukan pemeriksaan. Melihat Dika mengangguk, aku segera keluar dari ruangan itu.

Aku mendapati pak Robin sedang menunggu di depan pintu ruangan Dika. Aku tidak mengatakan apa-apa. Hatiku serta isi kepalaku sedang saling melempar perdebatan. Aduh berisik sekali.

Dokter itu cukup lama memeriksa Dika. Bahkan beberapa suster masuk ke dalam sambil membawa obat entah apa aja itu. Aku sudah menanyakan pada suster tapi mereka tidak memberikan jawaban yang tepat. Siapa sih yang tidak panik kalau seperti ini?

Sepertinya ada 20 menit Dika diperiksa di dalam. Setelahnya Dika langsung ke luar dan menghampiri aku. Terlihat wajah dokter itu seakan kesal pada Dika. Aku yang dasarnya tulang kepo hanya bisa menahan diri agar tidak bertanya karena ini privasi.

Kami beranjak ke mobil dan akan segera pulang.
"Bagaimana hasilnya setelah diperiksa tadi?" Aku membuka percakapan.
"Hanya asam lambung kok. Itupun sekarang sudah baik-baik saja. Buktinya sama kamu sekarang," Lirih nya tidak lupa dengan senyumannya.
"Aduh berarti nggak boleh telat makan. Kamu ada teman nggak di rumah?" Tanyaku lagi.
"Aku sendiri," tidak ada kebohongan dari ucapan Dika. Pantas saja selama ini rumah itu begitu sepi. Senyum paksa Dika terasa saat aku menanyakan pertanyaan terakhir. Aku merasa iba padanya. Apakah dia sama seperti aku ya? Sudah ditinggalkan keluarganya?

Setelah 27 menit berlalu karena macet, kami sudah sampai di rumah. Aku melambaikan tangan padanya sebelum aku masuk ke dalam rumah. Aku sepertinya akan balik lagi menjadi Zefanya yang dulu. Aku sudah mulai tersenyum tanpa harus terpaksa, bisa bertemu orang tanpa harus merasa energimu terkuras, tanpa merasa sensitif kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasiku. Walaupun sekarang masih tetap keras kepala ya.

Sepertinya Tante Sonya masih belum pulang dari butik miliknya. Padahal dia biasanya jam 6 kurang sudah ada di rumah. Bahkan Tante Sonya kadang ikut bantu bibi masak makan malam. Kalau Om John memang tiga hari lagi baru pulang.

Aku masuk ke kamarku dan langsung bersih-bersih. Entahlah, kenapa isi kepalaku di penuhi senyuman Dika. Gila sih kalau sampai aku jatuh hati padanya. Padahal kan baru jumpa dua hari.

Usai bersih-bersih aku membaringkan badanku di kasur. Aku mencoba membuka laptopku karena ada kerjaan yang masih belum sempat kuselesaikan di kantor tadi. Aku memeriksa dokumen keuangan perusahaan. Sejauh ini ternyata keuangan perusahaan bagus-bagus saja. Aku salut pada Om John yang bisa memilih karyawan yang benar-benar jujur dan bertanggung jawab. Tidak heran kalau gaji karyawan tinggi tinggi semua.

Saat aku fokus di depan layar laptop, hpku berbunyi. Awalnya aku tidak mengangkatnya karena panggilan itu berasal dari nomor baru. Tapi, lama kelamaan aku jadi penasaran dengan orang yang menghubungi ku barusan karena sudah ada lima panggilan tidak terjawab. Saat aku ingin menghubungi balik, nomor tak dikenal itu menghubungiku lagi. Tanpa berpikiran buruk aku mengangkat panggilan itu. Mungkin ada sesuatu yang urgent makanya sampai menghubungiku sebanyak ini.

Jantungku berdetak hebat, badanku terasa tak berdaya, pikiranku kalut, air mataku mengalir begitu deras saat mendengar suara dari balik telepon. Suara itu adalah suara keluargaku waktu kejadian satu tahun lalu. Isakan tangis memohon terdengar ditelingaku.
"Jangan macam-macam. Kamu juga harus menyusul mereka." Suara dari sebrang telepon sebelum akhirnya menutup panggilan.

Aku berteriak sekencang mungkin. Aku takut. Aku benar-benar sangat takut. Aku gemetaran. Suara itu menghantui aku. Cobaan apalagi ini. Mengapa mereka begitu jahat.

Bibi dan Pak Robin mengetuk pintu kamarku dan langsung membuka pintunya karena tidak mendengar sahutan dariku.

Aku dipeluk bibi sambil memelukku. Kurasa bibi juga bisa merasakan badanku yang masih gemetar. Rasa traumaku muncul lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku sangat takut. Suara itu masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Entah dari mana Dika bisa tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja, tapi dengan lembut ia mencoba memelukku membisikkan kata-kata yang membuatku semakin tenang. Dia memelukku begitu erat. Bibi dan pak Robin berdiri di sampingku. Mereka membiarkan aku ditenangkan oleh Dika.

Aku tidak menyadari kalau bibi pergi mengambil air minum. Aku hanya bisa menangis dipelukan Dika. Tidak mungkin aku menceritakan pada Dika apa yang sebenarnya terjadi. Dia orang luar dan masih 2 hari berteman.
Saat aku sudah mulai tenang dan tangisku mulai mereda Dika mengambil air minum dari tangan bibi dan membantuku minum.

Dika membantuku bersandar di dinding kasurku. Ia membersihkan wajahku dan mengelimuti kakiku.
Dia berhasil membuatku tidak setakut tadi. Dia cukup berpotensi membantu orang tidak ketakutan lagi.

Dika melirik ke arah hpku. Dia minta izin membukanya. Aku tidak tahu apa yang sedang dia buka di sana. Yang pasti dia mengepal kuat tangannya sebelum meletakkan HP itu ke meja.

Dika langsung ke luar dari kamarku diikuti pak Robin. Sedangkan bibi menemani aku di kamar. Ia juga menenangkan aku seperti Dika tadi. Aku sangat berterima kasih pada mereka karena berkat mereka aku bisa tidur usai kejadian itu.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidur, yang pasti sekarang menunjuk ke jam sebelas. Ternyata Tante Sonya yang menemaniku sekarang. Dia tidak tidur. Dia duduk di sampingku.

"Tante dah lama di sini?" Tanyaku saat orang pertama yang kulihat setelah terbangun adalah Tante.
Tante Sonya mengangguk sambil membelai rambutku.
"Iya sayang. Tidur lagi ya," Pinta tante Sonya sambil membelai lembut rambutku. Aku mengangguk kecil lalu melanjutkan tidur. Tapi, setelah beberapa waktu aku memaksakan mataku terpejam hasilnya sia-sia. Aku tidak ngantuk lagi. Aku masih setia menutup mata tapi otakku sedang dirundung suara-suara. Jujur ini sangat menyiksaku. Tidak bisakah membiarkanku tenang? Aku menarik nafasku dalam-dalam.
"Aku tidak bisa seperti ini. Mereka tidak bisa membuatku lemah. Aku harus bangkit," Seru dalam hati. Aku tidak ingin dijajah oleh para pengecut itu. Aku harus bisa bangkit dan membalaskan dendam keluargaku. Mereka pikir bisa membuatku depresi dengan menteror ku seperti ini? Oh tentu tidak. Aku tidak akan seperti itu. Aku sudah bertekad untuk mengambil resiko seperti apapun itu.

"Semua akan ada waktunya. Ada waktu dimana fajar yang datang sebelum siang, ada senja yang hadir menyambut malam yang ingin memberikan keindahan angkasa. Jadi, tidak perlu takut. Semua ada waktunya." (Nanata)


Zefanya BrielleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang