Bab 4

21 10 0
                                        

Aku bangun jam enam kurang.Fajar kali ini lumayan cantik. Aku suka melihat langit fajar dan senja. Karena ketika aku menatap langit tersebut mereka seperti merentangkan tangannya untuk memelukku dan menyalurkan kedamaian. Aku duduk di kursi yang ada di depan teras rumahku. Rasanya Damai sekali pagi ini.
Secara tidak sengaja aku melirik rumah tetanggaku. Ya, rumah milik Dika. Awalnya tidak ada yang aneh. Tapi sudut mataku tidak sengaja melihat Dika yang menatapku dari balkon rumahnya. Dia ternyata sudah bangun. Entah ini hanya perasaanku atau tidak, wajah Dika masih sepucat semalam. Badan tinggi, kurus, kulit putih, wajah tampan, dan mata yang sayu, itu yang bisa aku deskripsikan setelah mengamatinya dengan lekat. Kali ini aku tidak mengelak kalau dia benar benar ganteng.

Aku melambaikan tanganku ke arahnya. Dika tersenyum dan mengangguk sebelum akhirnya dia masuk lagi ke kamarnya. Aku merasa aneh dengan gerak-gerik Dika. Dia seperti takut berinteraksi denganku jika dilihat oleh orang rumah. Aku yang tidak mau ambil pusing mengabaikan saja.

Tidak ada yang lebih membahagiakan ketika ada hal yang awalnya mustahil kita kerjakan tapi bisa kita selesaikan. Persis seperti sekarang, aku berhasil mengajak perusahaan Sanjaya untuk bekerja sama dengan perusahaan kami. Aku sangat bangga. Padahal ini baru hari kedua aku bekerja, ternyata aku bisa memimpin rapat dengan baik.

Sebenarnya aku sedikit shock ketika Om John mempercayakanku memimpin rapat hari ini menggantikan dia, namun karena Om John sudah mempercayakannya padaku akhirnya aku mengiyakan permintaan itu. Aku juga heran kenapa tiba-tiba bisa seberani tadi. Padahal ada sekita sepuluh orang lebih di ruang rapat. Ini peningkatan yang luar biasa.

Rasa happyku hari ini tidak bisa kudeskripsikan, aku mentraktir rekan kerjaku makan siang karena kerja sama kali ini berhasil. Aku ingin merayakan hari ini dengan makan enak di restoran.

Saat aku sudah ada di restoran, aku memesan makanan kesukaanku. Aku sengaja memesan dua porsi saking senangnya.

Ketika aku sedang menikmati makananku, aku tidak sengaja melihat Dika sedang mengobrol dengan seseorang. Dari pakaiannya seperti seorang dokter. Untuk apa ya Dika bertemu dengan orang itu. Aku mengamati mereka yang sedang membahas hal yang serius. Apakah Dika sakit ya? Atau apa karena luka di kepalanya? Tapi kalaupun mau diperiksa bukannya harus ke rumah sakit? Aku mulai penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

Aku menghabiskan makananku terlebih dahulu dan segera mendekat ke arah mereka.
"Saya mohon kamu jangan keras kepala. Kamu yang akan menanggung ak... " Dokter itu belum menyelesaikan semua ucapannya ketika menyadari kehadiranku.
"Maaf, bisa saya duduk di sini? " Belum mendapat respon dari mereka aku sudah langsung duduk. Suasananya semakin tegang kala aku duduk di sebelah dokter eh entahlah intinya aku duduk dengan rekan Dika.

"Pikirkan apa yang sudah saya jelaskan tadi, Dit" Lirih rekan Dika sebelum berakhir meninggalkan kami berdua.
"Hai," Dika menyapaku dengan senyum yang bisa mempesona siapa pun. Termasuk aku :).
"Kamu nggak makan?" Tanyaku karena aku tidak melihat makanan sedari tadi di depan Dika. Hanya ada jus mangga. Dika menggeleng kecil.
Aku meneliti wajah Dika. Kenapa bisa sepucat itu ya? Apa jangan-jangan luka di kepala Dika infeksi?
"Hei kenapa bengong?" Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar teguran Dika.
"Kamu masih sakit? Kenapa harus ke luar rumah?" Aku yang sangat kepo langsung memberikan pertanyaan pada Dika.

"Aku udah baik-baik saja. Gimana hari ini?" Pertanyaan Dika kali ini seakan menghindari pertanyaan ku mengenai kondisinya. Mungkin privasi lah ya?
"Aku lagi senang karena aku berhasil mengajak perusahaan Sanjaya bekerjasama. Ini baru pertama kali buat aku loh, " Aku menjelaskannya dengan antusias. Dika ikut bahagia mendengar kabar bahagia dariku.
"Nanti aku traktir es krim rasa vanilla untuk merayakan hari baik kamu," Aku langsung mengangguk ketika Dika ingin mentraktir aku es krim vanila.

Aku banyak cerita dengannya hari ini. Dia begitu antusias mendengar ceritaku sampai selesai. Bisa dibilang akulah yang sedari tadi bicara banyak. Waw! Aku sampai tidak ingat lagi kalau jiwa ekstrovert ku muncul kembali.

Dari respon yang diberikan Dika padaku dua hari belakangan ini membuatku kepikiran, tidak mungkin Dika mau berbuat baik pada orang yang baru dikenalnya. Bahkan sangat melindungiku dan selalu memberikan kenyamanan. Padahal seingatku kami belum pernah jumpa. Hmm, aku berusaha berpikiran positif.

"Aku tunggu kamu di depan kantormu nanti ya, " Jelasnya setelah dia mengantarku ke kantorku. Aku mengangguk dan langsung masuk ke kantor. Dika akan kujadikan teman baik mulai hari ini.

Aku seperti biasa mengerjakan tugas-tugas penting. Aku mulai bisa beradaptasi dengan tugas dan lingkunganku di sini. Mudah-mudahan hari ke depannya juga seperti hari ini.

Saat jam masih mengarah di 16:43 WIB, Pak Robin sudah menghubungi aku bahwa ia sudah menunggu di luar. Padahal masih ada 17 menit lagi sebelum pulang. Aku tahu kok Om John dan tante Sonya takut terjadi sesuatu padaku, hanya saja ini sedikit berlebihan menurutku.

Aku menunggu sampai jam pulang yaitu 17:00 WIB. Setelah pamit dari orang-orang yang masih tinggal di kantor, aku melangkahkan kakiku ke parkiran.

"Pak, aku masih mau ketemu sama teman yang semalam. Bisa nggak Pak Robin pulang saja," Aku lebih memilih menyuruh pak Robin pulang karena mungkin saja kami agak lama pulangnya. Namun, pak Robin tidak setuju. Ia tidak mungkin membantah perintah John dan Sonya.

Akhirnya, aku menghubungi tante Sonya. Aku mengabari kalau aku ingin jalan-jalan sebentar dengan Dika tetangga kami. Awalnya tante Sonya menolak, tapi karena aku kekeh dan lumayan pintar membujuk mau tak mau tante Sonya mengiyakan dengan satu syarat pak Robin harus mengikuti ke mana kami pergi. Jujur agak berat hati harus mengiyakan itu. Tapi, dari pada tidak sama sekali, aku menyetujui syarat itu.

Aku keluar dari gerbang kantor. Ternyata Dika sudah menunggu di sana. Aku menghampirinya.
"Hai, maaf membuatmu lama menunggu." Aku basa-basi sebentar sebelum akhirnya kami pergi. Kami sengaja jalan kaki. Karena itu yang aku mau. Kami segera berjalan ke penjual es krim diikuti pak Robin dari belakang.

Aku tidak sengaja melihat pak Robin menatap tajam ke arah Dika. Namun, saat aku menanyainya kenapa, pak Robin hanya menggeleng sambil tersenyum kecil.

Ternyata enak juga es krim traktiran. Rasanya makin enak saja kalau ada yang mentraktir. Saat aku sedang asik menikmati es krim, mataku teralih pada kepala Dika yang masih diperban. Saat itu Dika membuka topinya dan terpampanglah perban yang sepertinya baru berdarah.

Aku menghentikan tangannya dan langsung menyuruhnya menunduk. Ternyata benar dugaanku kepalanya berdarah lagi.

"Aku tidak apa-apa. Melihatmu bahagia sudah lebih dari cukup." (Nanata)

Zefanya BrielleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang