bab 8

5 1 0
                                    

Setelah beberapa hari berlalu, aku mulai menyadari ada sesuatu yang mencurigakan tindakan Om John dan Tante Sonya. Mereka akhir-akhir ini mereka sering meninggalkanku di rumah dan kadang mereka tidak pulang. Memang, rumah dikelilingi para bodyguard. Hanya saja tidak biasanya mereka seperti ini.

Apa mungkin Om John sudah tahu siapa pelaku pembunuhan keluargaku? Apa mereka ingin menyembunyikannya dariku? Kalau iya, kenapa? Ini tidak adil bagiku. Aku juga ingin tahu siapa sebenarnya pelaku dibalik semuanya itu. Gila nggak sih satu tahun sudah berlalu kasus pembunuhan tapi pelakunya tidak dapat juga. Aku sangat geram.

Bagaimana caranya agar aku tahu siapa dalangnya ya? Yang pasti Om John sudah tahu masalah ini. Mereka hanya menutupinya dariku. Aku bingung harus bagaimana.
Aku mulai melacak ke mana perginya Om John dan tante Sonya. Kebetulan aku bisa melacak keberadaan tante Sonya dari nomor HPnya.

Ini sangat mengejutkan! Bagaimana bisa mereka ada di Surabaya. Apakah pelakunya di sana? Surabaya? Sepertinya kalau urusan bisnis, di Surabaya tidaklah mungkin, kalau urusan keluarga pun tidak juga. Pasti mereka diam-diam pergi untuk menangkap pelakunya kah?

Otakku tidak bisa berpikir jernih. Ada-ada saja otak ini. Tidak tahukah aku butuh ide? Kenapa lemot sekali d iwaktu yang urgent sih? Aku kesal pada diriku sendiri.

Suara hpku berbunyi. Itu panggilan dari Dika. Sebenarnya aku malas mengangkatnya karena semalam kami habis berantam. Tahulah ya baru ketemu batu jadi seperti apa. Harusnya kalau yang seorang batu yang seorang lagi harus jadi air. Ini malah kami berdua yang jadi batunya.

"Hmm.. Kenapa nelpon. " Aku langsung menghujaninya suara ketus. Dia juga salah sih, ngapain nelpon diwaktu aku badmood.
"Maaf... " Hah? Ini benar? Dia minta maaf ke aku?
"Maaf karena aku semalam terlalu memikirkan pendapatku tanpa memikirkan perasaanmu." Dika meminta maaf padaku. Ternyata dia sadar juga kalau dia salah. Semalam dia bentak aku. Dia marahin aku nggak jelas.
"Oh" Biarin aku merespon ketus. Masih sebulan temanan udah bentak-bentak aku aja. Siapa yang gak marah coba. Tau ah kesal.

"Ih masih marah ya. Maaf, please. Janji nggak ngulangin lagi," Dia membujukku dengan suara sok manjanya. Tapi, aku sengajawa diam saja.
"Aku marah sama kamu karena aku takut kamu kenapa-kenapa. Kamu semalam hampir ditabrak mobil kalau saja tanganku tidak cepat menarikmu. Aku hanya panik makanya nggak sengaja bentak kamu. Aku sunggu sangat takut kalau sampai kamu luka gara-gara aku," Jelas Dika dengan tulus. Jujur, setelah kupikir-pikir ternyata aku yang salah.

Benar kata Dika, semalam aku hampir ketabrak mobil yang sepertinya sengaja ingin menabrakku. Untung saja Dika cepat menarikku walau tangannya harus luka karena terbentur batu demi lindungi aku.

Jahat banget sih aku! Aku terlalu memikirkan egoku. Saat itu Dika memarahiku di depan banyak orang. Kan aku malu kalau dimarahi seperti itu.

Tapi sesuai keterangan Dika, benar juga sih itu mungkin spontan terlontarkan karena panik. Nyatanya aku yang terlalu egois di sini karena membesar-besarkan masalah.

"Aku yang harusnya minta maaf, Dika." Aku menurunkan egoku dan memilih meminta maaf padanya. Untung Dika menjelaskannya padaku. Kalau tidak aku pasti masih tetap egois dan menyalahkan Dika mulu.

"Kamu nggak salah. Caraku menegurmu yang salah," Ujar Dika lagi membuatku terpesona dengan laki-laki itu.

Kalau bisa jujur, sepertinya aku sungguh tertarik padanya. Aku nyaman bersama Dika. Aku bisa merasakan kalau Dika juga menyayangiku.

"Jika suatu saat aku sudah pergi jauh, kamu harus jaga diri baik-baik ya, Fany. Berjanji padaku kalau kamu harus bisa bahagia."

Tiba-tiba Dika mengucapkan itu disela pembicaraannya tadi yang tidak menyalahkan aku. Aku tidak bohong, aku mematikan mic telepon dan menangis. Aku menahan isikan tangisku lalu menarik nafas dalam-dalam. Aku overthinking mendengar ucapan Dika barusan.

"Maksud kamu apa? Kamu mau pergi kemana? " Aku menanyakan itu sambil menetralkan nafasku tanpa membuat Dika curiga kalau aku nangis karena ucapannya tadi.

"Cepat atau lambat kamu pasti akan tahu"
Dika mengatakan itu tanpa beban. Bisa peka dikit nggak Dika? Jangan ngomong kayak gitu. Aku takut. Aku takut kalau kamu benar-benar pergi. Ini maksudnya pergi kemana coba? Ke luar kota? Luar negeri? Kan bisa disini lanjutin bisnisnya. Ngapain  harus pergi coba?

Jujur, aku tidak berani protes dengan jawaban Dika. Karena sebelum-sebelumnya juga jawaban Dika seperti ini. Aku selalu dibuat penasaran. Dika please lah jangan buat teka-teki lagi! Huh... Aku hanya bisa protes dalam diriku sendiri.

Setelahnya aku dan Dika hanya bercerita cerita gimana seharian ini. Kemana aja pergi dan tadi makan apa aja.
Sadar atau tidak waktunya sudah mulai dekat. Akan ada tantangan yang berat yang harus aku hadapi lagi. Aku tahu itu karena aku sudah mengamatinya lebih dulu, biasanya kalau aku sudah mulai merasa aman ada saja masalah yang harus kuhadapi. Tapi mudah-mudahan masalah kedepannya jangan seberat yang lalu lalu. Aku masih belum siap.

Dika yang lebih dulu mematikan telpon karena aku ketiduran. Aku ngantuk saat Dika cerita. Aku tidak ingat sampai mana dia cerita kehidupannya padaku. Dika seperti mendongengiku tadi makanya aku sampai ngantuk.

Aku melihat jam sudah mengarah ke angka 8 malam. Wah, cepat juga waktu berlalu. Aku mengecek hpku karena ada notifikasi dari tante Sonya kalau mereka besok pulang.

Aku selesai makan langsung menghubungi Dika. Biarin dia terganggu karena aku. Dika juga mau-mau aja kok aku hubungi hehe.

Lah, tidak diangkat. Kemana tuh anak ya. Aku beralih baca buku saja. Bosen kalau nggak ada kerjaan seperti sekarang. Baru lima menit aku tadi menghubungi Dika, sekarang Dika sudah menghubungi aku balik. Kan Dika juga pasti mau juga VC sama aku. Gak papalah ya PD kebangetan.

"Sorry baru selesai mandi. Kamu udah mandi belum?" Tanya Dika dengan wajahnya yang sudah segar. Ganteng banget sih Dika! Kan aku makin terpesona. Aku biasa muji Dika di hatiku aja. Tidak pernah aku ungkapkan padanya.

"Udah sejam yang lalu malah," Jawabku sambil bersandar di kasurku.
"Tadi lauknya apa? Makan sayur kan?" Waduh Dika kok nanya itu sih. Aku tadi nggak makan sayur loh. Bohong nggak ya. Bohong atau jujur aja? Ah jujur aja.
"Tadi lauknya rendang tapi aku nggak makan sayur. Rasa sayurnya aneh tadi. Aku sempat nyicipin dikit tapi karena nggak enak, aku sisihkan aja di piring," Aku jujur padanya. Iyalah seorang Zefanya Brielle harus bisa jujur dengan percaya diri.

"Iya gak papa. Intinya usahain makan sayur juga ya." Dika memang sering basa-basi seperti ini. Tapi, aku tetap aja tidak bosen mendengarnya.

"Aku pergi bukan karena kemauanku. Aku sudah pernah berusaha bertahan, tapi memang aku tidak punya kesempatan lagi." (Nanata).

Zefanya BrielleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang