Chapter VI: We've Met, Seriously.

250 39 6
                                    

Pembajakan adalah tindakan ilegal dan layak mendapatkan hukuman sesuai undang-undang. Mohon kebijakan dalam membaca dan jangan menaruh komentar negatif sebagai bentuk menghargai penulis.

...

Milan, Italia.

Waktu ini adalah saatnya bulan bersinar, menerangi langit malam yang gulita. Kota Milan ramai penduduk yang masih berjalan-jalan mengelilingi isi kota itu. Tetapi pria bersurai biru laut ini tak bisa sekalipun menghirup udara malam maupun pagi di Milan, Xavier.

Di ruangan suram itu, Xavier hanya bisa merenungkan cara agar keluar dari dekapan Fredrinn. Bagaimana tanggapan para agen ketika mengetahui situasi dirinya? Apakah ada bala bantuan nanti? Bagaimana cara membujuk pria tua itu?; renung Xavier. Kalimat-kalimat itu ia ulang terus menerus di dalam kepalanya.

Rasa perih pun kembali menusuk ke kulit Xavier. Pergelangan tangannya membekaskan luka lecet. Helaan napas terdengar dari bibir Xavier, sangat berat. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi dengan Fredrinn, toh, Fredrinn akan terus saja merayunya. Ponsel dia hilang sehingga menelefon agen lain pun tidak bisa dilakukan. Dia mengencangkan rahangnya, menahan rasa dingin dan kesal yang kuat.

"Hai, manis." Fredrinn lantas menyapa Xavier saat memasuki ruangan itu.

Xavier mengerang kesal dan kembali merasa letih menghadapi sikap Fredrinn yang menyebalkan. Dadanya sesak menahan teriakan amarah.

"Apa lagi, sih..?" Dia menyahut kecil.

Netranya teralihkan pada kain sutra yang terlihat lembut di lengan Fredrinn. Tentu saja itu sebuah selimut hangat;untuk Xavier.

"Ya... tampaknya kau tidak bisa menahan dingin terlalu lama," Fredrinn terkekeh. "Aku peduli, terima selimut ini."

Fredrinn membentangkan selimutnya, menutupi sebagian tubuh Xavier. Tubuhnya merasakan kehangatan yang menyebar perlahan.

"...Ck, ini tidak membuatku memaafkanmu."

"Setidaknya kau tau sisi positifku, Xavier."

Xavier mendecakkan lidahnya lalu membuang muka. Suhu dingin yang menyerambat di tangannya perlahan menghilang tiba-tiba. Dengan reflek, ia menoleh ke sumbernya dan mendapati Fredrinn yang sedang membukakan rantai di pergelangan tangan kanannya.

"Kasihan." Fredrinn bergurau kecil.

"Aish! Kau membingungkan! Menurutmu aku suka dikasihani?!" Tekan Xavier tiba-tiba.

Xavier gagal memahami sikap Fredrinn. Padahal Xavier terluka karena ulah dia, tetapi malah diberi simpati.

Sebenarnya, Xavier tidak menyukai ketika tangannya tersentuh oleh ujung jemari Fredrinn, namun karena ia terlanjur tidak nyaman dengan rantainya, dia hanya membiarkan Fredrinn selesai melepaskannya.

"Itu sudah lepas. Sekarang pergi dari hadapanku, baj*ingan." Celetuk Xavier dengan geram.

"Jadi... kau tidak akan langsung kabur seperti perkiraanku?"

"Mengapa rasanya aku serba salah, ya? Anak anj*ing." Xavier tidak berhenti mengumpat karena pria di hadapannya hanya mempermainkan emosinya.

Fredrinn tidak memperdulikan perasaan Xavier. Terus terang, dia senang mengetahui Xavier tidak bisa pergi ke tempat manapun selain di sini tanpa izin dia. Dirinya mendarat di atas kasur, tepatnya di pinggiran ranjang. Kedua irisnya memantulkan refleksi Xavier;berbinar kecil. Sudut bibirnya terangkat perlahan yang membuat senyumannya melebar.

"..Apa?!" Ujar Xavier, masih dengan ke-galakannya; tidak nyaman ditatap terus menerus.

"Aku yakin kau akan nyaman di sini seiring waktu."

Met In Crime | FredvierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang