Remember

6 1 1
                                    

Iren sedang termenung diam menatap jendela kamarnya, lamunan nya terpecah dengan suara ketukan pintu, ia menoleh menunggu suara dari orang yang sedang berada di depan pintu, "Ren, ini aku, olin" sahut suara dari balik pintu, Iren lantas berdiri karena dalam benaknya mereka mungkin bisa diajak berbicara atau sekedar bercerita, ia lalu membuka kan pintu, terlihat tatapan kosong dan tidak berdaya terlihat oleh mereka bertiga, tanpa berbicara Olin mencoba memeluk Iren karena dirinya terlihat perlu bantuan, karena hal tersebut Iren kembali menangis tak tahan lagi, Salma dan Dean hanya saling bertatapan karena hal tersebut.

**

Putra yang selesai menikmati bakso tahu mencoba untuk membuka pesan dari dean ke hp nya, ternyata Dean mengabari bahwa dirinya sedang berada di tempat Iren untuk memastikan penyebab batalnya pernikahan tersebut, Putra lalu mengalihkan pandangan nya ke arah jalan, tak lama matanya tertuju ke arah sebuah motor yang dikendarai oleh sepasang kekasih yang sedang bercanda tawa selama dalam perjalanan, ia pun ikut tersengum geli karena melihat hak tersebut, pikiran nya pun mengingat kenangan lama dirinya bersama Nabilla yang pernah mengelilingi kota ini menggunakan motor sekedar menikmati angin kota. Tak lama ia pun memberikan selembar uang merah untuk membayar makanan nya dan berjalan kembali ke kantor yang ada di sebrang nya.

**

"Pelan-pelan, minum dulu" sahut Salma sambil memberikan segelas air putih kepada Iran yang berusaha untuk meredakan tangisnya. Clarissa baru saja tiba, matanya langsung tertuju kepada Dean yang sedang bersama mereka di sofa, ia menatapi dengan tajam mengingat Dean adalah partner Putra, orang yang menyakiti adiknya, "Mau aoa loe ke sini?" tanya Clarissa sambil melototi Dean, ia hanya terdiam tak menjawab karena mengerti maksud dari Clarissa akan kedatangan nya, "Kak, dia tamu, ini rumah aku, gausah ribut di sini" potong Iren yang mendengar ucapan kakak nya, Dean yang merasa canggung berdiri dan berjalan keluar setelah memberi isyarat kepada Olin calon Istrinya bahwa dirinya lebih baik menunggu di luar saja.

********

"Gitu ceritanya an, gue pada saat itu juga gak tau dia lagi deket sama siapa, jadi gue pikir ya itu juga tidak di rencanakan" jawab Putra di dalam telfon bersama Dean yang sudah ada di mobilnya, "Ohgitu put, gue kira sempet balikan atau gimana, gue belum tau sih ya kenapa pastinya, gue ketemu si risa di rumah keadaan nya jadi panas banget" sahut Dean, "Iya, dia juga udah ketemu gue sebelumnya, dia resign juga karena itu" Putra menimpali sambil melirik ke arah langit dari jendela ruangan nya.

**

Setelah sedikit tenang, Iren mulai membuka suaranya menceritakan apa alasan dirinya berniat untuk membatalkan pernikahan nya, "Aku masih belum bisa lepas sepenuhnya dari Putra, aku bisa di titik ini juga karena Putra, aku sudah berusaha sekuat mungkin buat berjalan sendiri, tapi aku gak bisa, aku gak mau bohongin hati, aku masib sayang juga sama putra, terlepas apa yang pernah dia lakuin, aku tetep sayang sama putra", Salma dan Olin mencoba terus mendengarkan Iren, "Lalu, aku ada di titik ini juga sebenernya untuk Putra, aku sudah berusaha untuk memantaskan diri, makanya itu aku gak bisa lepas dari Putra" Iren melanjutkan, "Tapi ren, Putra juga seperti yang kamh liat sekarang, dia masih jadi dia, belum ada yang bisa rubah dia, kamu sadar egonya dia ada di atas langit, apalagi sekarang dia lagi banyak project yang dia kerjain sendiri, kita khawatir nantinya kamu makin sakit kalo sama dia" sahut Olin, "Ren, kita emang temen Putra juga, tapi untuk urusan hubungan kamu samfa dia, kita gak saranin" timpal Salma, Iren hanya tertunduk diam mendengarkan, "Dean kemana?" tanya Iren yang baru sadar Dean tidak ada di antara mereka, "Diluar" jawab Olin, "Aku mau ngobrol sama Dean lin" pinta Iren, Caroline lalu mencoba untuk menghubungi Dean, "Gak usah, biar kita aja yang keluar" pinta Iren karena sadar akan keberadaan kakaknya di rumah. Setelah mengabari Dean bahwa mereka akan berpindah tempat, mereka lalu turun dan masuk ke mobil.

**

Putra menatapi wajah dan perilaku Vika yang sedang berada di dalam meeting pagi ini bersama beberapa staff kantor nya membahas beberapa project kantor yang sedang berjalan, Putra menilai wajah Vika yang terlihat sangat tegas, senada dengan gaya berbicaranya ketika menjelaskan pekerjaan nya di depan ruangan, ia penasaran seperti apa jadinya jika Vika diberi tekanan nantinya, "Ok Vik, sekarang menurut kamu apa yang perlu di lakukan dengan keadaan ini?" tanya Putra kepada Vuka terkait masalah sengketa tanah bersama beberapa perusahaan lain dan warga sekitar tanah tersebut, Vika menjelaskan secara struktural dan lugas, ia memilih pilihan yang aman sepenilaian Putra, "Oke, make sense, tapi itu lama, gue pingin cepet" pinta Putra, "Kalo cepet berart..", "Iya, kamu udah paham kan? coba kerjain itu, 30 hari aku harap udah selesai, juga rapat hari ini selesai" Putra memotong Vika dan menutup rapat sepihak, lalu pergi meninggalkan ruangan, Vika mencoba memahami situasi, ia tidak ingin terlihat kebingungan di depan staff lainnya, ia juga lalu bergegas keluar dan kembali ke ruangan nya.

Vika kembali duduk di kursi ruangan nya, ia sedikit syok dengan jawaban Putra, mungkin karena belum terbiasa, padahal dirinya juga sudah di beri tahu oleh Dean sebelumnya bahwa sesekali, Putra memang suka memberi tanggung jawab yang sangat besar ke posisi pekerjaan yang akan dijabat oleh Vika, diluar Gaji, tunjangan, dan fasilitas yang sangat baik, bahkan bisa disebut fantastis, ternyata Vika akhirnya sadar bahwa tanggung jawab nya pun bukan hanya sekedar lapora atau bekerja seperti biasa, tapi dirinya perlu berjibaku dengan etika dan moral bagi lawan bisnis atau masyarakat yang menghalangi Putra.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE LAST DANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang