11

83 7 1
                                    

"Kau jadi datang?"

Pertanyaan itu yang pertama kali  didengar dari orang diseberang sana.

"Aku tidak pernah melewatkan acara kesukaannya."

Keduanya sama-sama terkekeh.

"Benar, penonton setia."

Tidak ada suara lagi setelahnya, hanya ada keheningan, keduanya sama-sama terdiam.

"Bagaimana?" Pertanyaan dari seberang sana kembali terlontar.

"Dia mungkin akan marah karena aku baru memulainya setelah sekian lama."

"Tidak akan, dia tidak akan marah padamu. Dia pasti akan sangat mengerti..."

"Hmm.. dia memang paling pengertian. Sudah menghubunginya?"

"Sudah, nanti saat acaranya tiba aku akan menjemput kalian."

"Hmm..."

"Ku tutup, nde."

Panggilan keduanya terputus.

.......

"Tok! tok! tok!"

Seragamnya sudah terpakai dengan rapih saat ketukan di pintu kamarnya terdengar, sepuluh menit yang lalu kakak pertamanya baru saja keluar dari kamarnya. Jisoo masih menguasai dirinya dengan tidur di kamarnya lagi.

"Eomma?"

Lia terkejut saat orang yang ia kira Bibi Min itu ternyata sang Ibu yang sedang tersenyum begitu teduh padanya. Tidak biasanya.

"Kenapa Eomma tidak langsung masuk saja?" Tanya Lia.

"Eomma takut mengganggumu, boleh Eomma masuk?"

"Eoh, tentu Eomma."

Sebelum melangkahkan kakinya memasuki kamar sang anak bungsu, Woohee menatap Lia dengan seksama. "Biar Eomma yang menyisir rambut mu, eoh."

"Eoh? Nde, Eomma." Sedikit malu-malu Lia mengatakannya.

"Anaknya Eomma suka sekali Strawberry, yah? Harum sekali."

"Ah, nde Eomma."

Sebuah senyuman ikut terpatri senada dengan hatinya yang berbunga melihat sang Ibu beberapa kali menghirup aroma rambutnya saat ia melihatnya dicermin.

"Cantik sekali." Puji ibunya setelah menyelesaikan menyisir rambutnya.

"Terimakasih banyak, Eomma.

Keduanya sama-sama tersenyum saat mata mereka bersibobrok dipantulan cermin. Ah, Lia selalu menyukai senyuman milik keluarganya apalagi milik ibunya, seseorang yang telah memperjuangkannya bisa hadir di dunia ini.

"Sayangnya Eomma harus selalu baik-baik saja, nde."

Satu kecupan Lia dapatkan pada pipi kanannya dari sang ibu.

"Nde, Eomma."

Seiring berjalannya waktu, ia mengerti kenapa sang Ibu selalu mengucapkan kalimat itu. Tentu rasa syukur selalu ia panjatkan, setidaknya walaupun keluarganya, bahkan ibu dan ayahnya begitu sibuk sampai-sampai terkadang ia merasa jika dirinya terlupakan.

Tetapi, ada kalanya rasa sesal dari kedua orangtuanya selalu terucap, dan kalimat-kalimat manis teruntai setelahnya.

"Ayo, menghadap Eomma. Biar Eomma yang pasangkan dasimu.

Happy Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang