Part 1

113 15 4
                                    

"Kalau memang dia pintar, di semester genap ini kita lihat siapa juaranya."

~~~

Hai! Selamat datang di ceritaku.

Sebelumnya perkenalkan, aku Anastasya, siswi angkatan 2024 yang ingin berbagi pengalaman selama bersekolah di SMK Negeri 1 Kota.

Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga suatu peristiwa mengubah pemandangan ku mengenai dunia pendidikan.

Saat itu aku duduk di kelas 10 semester dua dengan jurusan Akuntansi dan Keuangan Lembaga.

Aku kira semua akan berjalan seperti biasa, namun sayangnya tidak. Kurang lebih empat teman di kelasku ternyata tidak suka bila juara satu diraih olehku saat semester sebelumnya.

"Dia dapat juara satu karena caper!" sentak Dina.

"Mau jadi juara kok caper," cetus Ayu.

"Susahlah kalau nggak bisa cari muka sama wali kelas, nanti nggak dapat juara," kata Galang.

"Kalau memang dia pintar, di semester genap ini kita lihat siapa juaranya," lanjut Liefi.

Suara mereka masih terngiang di telingaku, yang paling membekas ialah dua teman MTs yang satu kelas denganku dulu, Dina dan Galang. Mereka pun ikut-ikutan membully diriku. Sepanjang perjuanganku untuk membuktikan bahwa aku bisa mendapatkan juara bukan karena hal lain, melainkan karena usaha dan doa yang sudah aku lakukan selama ini, tindakan bully dari keempat temanku itu masih berlangsung.

Bukan hanya di kelas, di grup kelas pun mereka masih sibuk membully diriku. Pernah di suatu ketika saat aku dan teman-temanku belajar di market sekolah, Ayu sedang membagikan buku latihan, namun saat dia menyebutkan nama dari buku latihan milikku, dia malah melempar buku itu ke lantai saat aku hendak mengambilnya. Teman-teman sekelas ku melihat itu, namun mereka hanya diam.

Juni 2022

Amarahku memuncak saat Liefi memfitnah diriku melaporkan teman-teman sekelas yang mencontek pada Bu Widi-Guru Budaya Melayu Riau dan Seni. Alhasil, beberapa temanku seperti marah padaku, dan mereka kembali membully diriku di kelas maupun di grup kelas. Aku belum menyadari kalau mereka ternyata membahas diriku, sampai suatu ketika Prita memberitahuku mengenai obrolan singkat yang dikirim Liefi ke salah satu teman laki-laki yang ada di kelasku - Zafar.

*Lipi
(Parrr)
(Kau diam saja ya)
(Tasya mengadukan kita sama ibuk)
(Nilai BMR dan seni kita hancur)
(Karna kita contek contekan)
(Ibuk nanya-nanya Tasya)
(Rombongan kita nilai kacau)

*Zafar
(Serius lah)

(Dikasih tau tu diam ajalah kau ni)

Begitulah isi obrolan antara Liefi dan Zafar. Aku sangat berterima kasih pada Prita karena sudah tidak mempercayai semua itu, terlepas dia bukan teman dekatku, tapi setidaknya dia bisa menasehati dua temannya yang juga ikut membully ku saat itu.
Aku sudah tak tahan dengan semua itu, sampai suatu hari aku menegur Liefi tentang perbuatannya padaku. Saat kelas sepuluh aku hanya diam, namun ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama, dia akan menjadi-jadi bila didiamkan.

"Liefi!" Aku sedikit berteriak padanya saat kami berada di kelas. Ayu yang melihat itu langsung keluar dari kelas.

"Maksudmu apa menuduhku seperti itu?" tanyaku pada Liefi yang kini berada di hadapanku.

"Apanya?" Dia malah balik bertanya seolah tak tahu apa yang kumaksud.

"Kenapa kamu menuduh aku yang sudah bilang pada Bu Widi kalau kalian mencontek saat ujian?" tanyaku.

"Memang kenapa?" tanya Liefi balik.

"Kamu tanya kenapa? Karena kamu, aku di-bully sama teman-temanku yang lain," jelas ku padanya.

"Kamu nggak capek ya udah mem-bully aku dari kelas sepuluh, hah?" Aku benar-benar teriak dengan marah yang sudah lama kupendam.

"Enggak, emang kenapa?" Dia melece diriku.

"Kenapa kamu suka cari masalah sama aku? Benci banget kamu sama aku?"

"Iya!" sentak Liefi.

Aku berjalan cepat mendekati Liefi yang sedang berdiri disamping mejanya dengan perasaan geram.

"Kamu jangan melece, Liefi!" Aku menggebrak meja dengan tangan kiri.

Aku melihatnya menampilkan wajah terkejut, tetapi tetap dengan raut wajahnya yang menyebalkan.

"Terserahlah apa yang mau kamu lakukan selanjutnya, intinya aku kasih tau sama kamu. Sekali lagi kamu mem-bully aku, siap-siap kamu dipanggil sama pihak kesiswaan!"

"Kalau masih belum ngerti juga sama penjelasan aku, biar Allah ajalah yang ngasih tau kamu."

Aku berlalu pergi dan meninggalkan Liefi yang masih mematung.

Keesokan harinya dia pun datang untuk bicara padaku berdua.

"Mau bicara apa?" tanyaku padanya.

"Aku minta maaf ya, Sya." Aku menatap matanya, tidak tau tulus atau tidak permintaan maaf itu, tetapi biar bagaimanapun dia sudah meminta maaf padaku atas perlakuannya padaku selama ini.

"Hm, sudah kumaafkan semua perbuatanmu, tetapi aku nggak bisa untuk melupakan itu, fi."

Mereka menghentikan semua hinaan itu ketika aku meraih juara satu lagi di semester genap.

Semua sudah beres, pikirku.

Ternyata aku salah, permasalahan sesungguhnya baru saja akan dimulai.

Agustus 2022 (Semester ganjil kelas XI)

Hari ini ada mata pelajaran ekonomi dengan Bu Anna yang mengajar. Aku tidak suka dengan pelajarannya, tetapi aku kagum sama gurunya. Ibu itu menilai murid dengan akhlak bukan karena pintar atau tidaknya anak tersebut. Jarang-jarang kulihat guru seperti itu. Namun, rasanya kepercayaanku runtuh ketika sikap Bu Anna tiba-tiba berubah drastis tak menentu karena hal apa.

"Kenapa Bu?" tanyaku.

Aku terkejut saat Bu Anna tiba-tiba mengambil ponsel milikku yang tadinya berada di atas tumpukan buku-buku pelajaran milikku.

"Sudah berapa kali Ibu bilang, tidak boleh main handphone disaat Ibu sedang menjelaskan."

Aku menyernit, masih heran dengan sikap guru yang mengajar mata pelajaran Ekonomi ini. Aku bahkan tidak menyentuh ponsel milikku ketika beliau sedang menjelaskan materi pembelajaran.

"Namun, saya kan nggak main handphone saat Ibu menjelaskan tadi, Bu," bantahku.

Bu Anna tidak menanggapi perkataanku dan malah berpidato mengenai peraturan yang pernah ia tetapkan di kelas ini.

"Handphone nya Ibu tahan," tekan Bu Anna.

Dia langsung menaruh ponsel milikku ke dalam tasnya. Dia juga mengambil ponsel milik salah satu temanku-Linda.

Aku kesal. Namun apa boleh buat, ia kembali menjelaskan beberapa materi pembelajaran dan saat bel istirahat berbunyi, Bu Anna keluar dengan ponsel milikku yang masih berada di dalam tasnya.

Dengan cepat kukejar beliau untuk meminta kembali ponsel milikku.

"Bu, Tasya kan, tadi nggak main handphone. Kenapa Ibu ambil handphone Tasya?" tanyaku pada Bu Anna.

"Kalau mau ponsel kamu balik lagi ke kamu, telpon wali kelas kamu dan bilang kamu mau ambil ponsel sama Ibu," ujar Bu Anna.

"Loh, tapikan Tasya nggak melakukan kesalahan apapun Bu, terus ngapain bilang ke wali kelas untuk hal kayak gini?" tanyaku lagi.

~~~

Bersambung ...

I Won't Give Up [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang