Part 3

51 12 8
                                    

“Anak saya tidak perlu menjadi juara satu di kelas, Bu Anna sudah mempertanyakan akhlaknya, jadi saya mau tanya akhlak seperti apa yang Ibu maksud?”

~~~
Aku menceritakan semuanya dari awal hingga aku sampai diberikan surat peringatan oleh Bu Anna.

“Seharusnya biarkan saja ponselnya di rumah Ibu itu, biar Mama yang ambil. Kalau kamu salah Mama pasti marahin kamu, tapi di sini, kan, kamu nggak salah, terus kenapa seenaknya Ibu itu memberikan surat peringatan sama kamu,” ujar mama.

Aku hanya diam, sangat kecewa untukku bisa menilai Bu Anna sebaik itu.

Ketika sampai di rumah, aku hanya terduduk lesu di ambang pintu kamar, masih memikirkan kejadian hari ini. Begitupun mama yang juga tak menyangka aku diperlakukan sedemikian rupa oleh seorang guru.

Mungkin bagi mereka yang tidak pernah merasakannya ini merupakan hal yang sangat sepele, namun berbeda bila sudah berada di posisi yang sama.

Saat aku mendapatkan juara satu pada kelas sepuluh, beberapa temanku mem-bully diriku karena tidak rela bila aku menjadi juara satu di kelas. Aku dibilang cari perhatian, cari muka, bahkan aku sempat difitnah cepu ataupun suka mengadu tentang teman-temanku yang mencontek saat ujian pada guru. Sudah banyak drama yang kulalui selama menempuh pendidikan di sekolah ini, lalu sekarang apa lagi?

“Ya, sudah, salat dulu aja, kak. Besok Mama bakal datang menemui pihak kesiswaan,” ujar mama.

Aku menurut. Setelah selesai salat, aku langsung berdoa. Aku tidak merasa paling tersakiti di sini, justru aku takut bahwa ini adalah karma dari perbuatanku di masa lampau.

“Tasya memang sangat menginginkan menjadi juara di kelas, namun Tasya tidak pernah mengira bahwa akan ada orang yang menuntut Tasya harus menjadi panutan untuk orang lain. Biar bagaimanapun, Tasya hanyalah manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan, ya Rabb. Tolong Ya Allah, maafkanlah kesalahan Tasya dan semoga Bu Anna tidak marah lagi jika beliau memang menganggap Tasya salah. Lembutkanlah hati Bu Anna, ya Rabb, agar beliau tidak sampai membenci atau marah kepada Tasya lagi, Aamiin.”

Air mata terus mengalir di pipiku, kuusap air mataku dan segera menyiapkan buku-buku untuk pelajaran esok. Kebetulan Bu Anna juga mengajar pada hari jumat, maka besok mama akan meminta penjelasan dari Bu Anna juga, ditengahi oleh Pak Wanto selaku kepala kesiswaan.

Keesokan harinya, aku dipanggil oleh mama saat berada di kelas. Teman sekelas ku memang tidak ada yang mengetahui hal ini, kecuali Linda. Aku dan mama segera menuju ruang kesiswaan, Pak Wanto pun segera menghubungi Bu Tisa untuk segera datang ke ruang kesiswaan bersama Bu Anna. Cukup lama aku dan mama menunggu di ruang kesiswaan. Entah apa yang dibincangkan oleh Bu Anna pada Bu Tisa.

“Baik, sebelumnya ini ada masalah apa ya, Bu?” tanya Pak Wanto.

Mama menjelaskan semua yang sudah kuceritakan semalam padanya. Selama itu Pak Wanto mendengarkan dengan seksama. Sebelum menyelesaikan penjelasan, Bu Anna malah menyela pembicaraan mama dan Pak Wanto.

“Tapi dia melanggar aturan yang sudah saya tetapkan,” ujar Bu Anna.

“Aturan seperti apa yang sudah dilanggar oleh Tasya, Bu?” tanya mama.

“Dia main ponsel saat saya menjelaskan,” jawab Bu Anna.

“Tidak, saya tidak main ponsel pak. Bapak bisa tanyakan pada semua teman sekelas saya,” bantahku.

“Ya, walaupun, tapi kamu menaruh ponsel di atas meja,” ujar Bu Anna yang masih menyalahkanku.

“Tapi itu tidak ada dalam kesepakatan kelas, Bu," ujar ku.

“Tasya, gapapa kok, surat peringatan itu tidak berpengaruh dengan peringkat kamu,” ujar Pak Wanto.

“Anak saya tidak perlu menjadi juara satu di kelas, Bu Anna sudah mempertanyakan akhlaknya, jadi saya mau tanya akhlak seperti apa yang Ibu maksud?” tanya mama.

“Tidak, bukan begitu maksud saya. Tasya kan juara satu di kelasnya, jadi Tasya seharusnya bisa menjadi panutan untuk teman-temannya," jawab Bu Anna.

“Tasya bukan malaikat, dia hanya manusia biasa. Seharusnya Ibu yang menjadi panutan untuk murid Ibu, bukan sebaliknya," sahut mama.

“Jadi maksud Ibu, kalau teman-teman Tasya ada yang berkasus, apakah itu kesalahan atau akhlak yang buruk karena Tasya?” tanya mama.

“Tidak," jawab Bu Anna.

“Tapi, Tasya tetap salah karena sudah melanggar aturan yang sudah saya tetapkan," lanjut Bu Anna yang masih membela diri.

“Baik, tapi kenapa Ibu mempertanyakan akhlak anak saya? Saya hanya meminta cerita dari Ibu, karena saya juga mau tau dari kedua belah pihak. Bahkan semalam juga teman-teman Tasya sudah menceritakan semuanya, dia tidak pernah bermain ponsel di kelas, bahkan dia mendengarkan penjelasan Ibu dengan seksama, lantas dimana letak kesalahan anak saya? Kenapa Ibu berkata dengan nada tinggi? Saya hanya bertanya.”

“Nada bicara saya memang seperti ini," ujar Bu Anna dengan nada tinggi.

“Nada bicara saya juga seperti itu, Ibu adalah orang yang berpendidikan, jadi karena itu saya berkata sopan dengan Ibu," tekan mama.

“Pak, asal bapak tau, Tasya sudah di-bully di sekolah ini saat kelas sepuluh dulu, dia sudah lelah dengan hal seperti ini pak. Saya sudah memberitahu Bu Tisa, dan kata beliau Tasya akan aman dalam pengawasannya, jadi saya tidak pernah datang ke sekolah untuk melaporkan hal tersebut. Lagipula, Tasya juga sudah dewasa, dia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri, saya percaya dengan anak saya," jelas mama.

“Asal Ibu tau, semenjak Ibu bilang bahwa penilaian Ibu melalui akhlak, Tasya cerita kepada saya, dia kagum dengan Ibu, setelah Ibu mempertanyakan akhlaknya semalam, Tasya kecewa sama Ibu. Ibu memberikan surat peringatan padahal Ibu tau Tasya tidak bersalah,” jelas mama.

“Tunggu, Tasya pernah di-bully saat kelas sepuluh? Kok saya tidak pernah mendapat kabar tentang hal ini?”

Pertanyaan dari Pak Wanto membuat aku dan mama saling bertatapan, Bu Tisa bilang pada mama, bahwa dia akan memberi tahu tentang hal tersebut pada pihak kesiswaan, harap-harap sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada saat itu. Namun, bahkan kepala kesiswaan tidak pernah mendengar kabar itu.

“Iya, tapikan Tasya nggak kenapa-napa. Memang awalnya saya hendak melapor pada pihak kesiswaan," ujar Bu Tisa membela diri.

Dia berbohong, aku tahu itu.

“Tapi yang bully Tasya hanya satu orang kan?" tanya Bu Tisa padaku.

“Empat, kurang lebih empat orang yang bully Tasya," jawabku.

“Siapa aja yang udah bully kamu? Kasih tau sama bapak, catat aja namanya, biar bapak tegur," ujar Pak Wanto.

“Tidak perlu, Pak. Kami sudah berbaikan, lagipula mereka sudah meminta maaf pada saya," kataku.

“Tasya dan Ibu tidak perlu khawatir. Surat peringatan itu tidak berpengaruh kok dengan penilaian guru lain terhadap Tasya," jelas pak Wanto.

“Biar bagaimanapun, Bu Anna tidak berhak untuk menilai akhlak seseorang seenaknya," ujar mama tak terima.

“Sudahkan? Saya mau rapat," kata Bu Anna.

Bu Anna tanpa rasa sopan santun langsung pergi begitu saja menuju ruang rapat. Sedangkan Bu Tisa mengantarkan mama dan aku sampai keluar ruang kesiswaan.

“Sudah Bu, tidak apa-apa kok. Tasya nanti jangan lupa kirim nama-nama orang yang sudah bully kamu ke Ibu ya," pinta Bu Tisa.

“Nggak perlu Bu, kami sudah baikan, jadi saya rasa itu tidak perlu," ujarku.

“Tapi mereka tidak mengganggu kamu lagi, kan?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan Bu Tisa.

Setelah rapat, kini waktunya Bu Anna mengajar di kelasku. Dia masuk dengan raut wajah yang kesal. Sepertinya dia akan memarahiku, terserahlah, aku tidak peduli.

~~~
Bersambung ...

I Won't Give Up [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang