Part 12

38 9 9
                                    

Nggak harus cepat, tapi harus tepat. Nggak harus sekarang, tapi harus diusahakan dari sekarang.

~~~
Tak terasa, waktu sangat cepat berlalu. Kini aku sudah duduk di kelas XII dan tak lama lagi akan melaksanakan yang namanya Praktek Kerja Lapangan (PKL) di semester genap nanti.

Kini aku sudah tak terlalu ambisius lagi, belajar dan istirahat yang cukup, hanya itu saja. Aku akan tetap mengusahakan hal tersebut, tetapi tidak berharap banyak pada Bu Tisa selaku wali kelas di kelasku. Aku hanya berharap akan takdir Allah, dan akan selalu mempercayai bahwa segala yang ditakdirkan untukku pasti akan menjadi milikku.

Hari ini aku dan teman-teman sekelasku akan menampilkan drama pada pembelajaran bahasa Indonesia dengan Bu Nova sebagai guru yang mengajar.

Aku sebagai narator dalam drama ini, dan beberapa teman sekelompok ku menjadi pemeran di dalam drama. Kami sudah berlatih jauh-jauh hari sebelumnya, dan kini saatnya kami menampilkan drama singkat di dalam kelas.

"Waw, Ibu suka dengan totalitas dari kelompok kamu, Sya. Mulai dari dialog, ekspresi, busana dan semua perlengkapan yang diperlukan ada pada drama singkat milik kelompok kamu, Ibu harap di lain waktu, kelompok lain juga bisa mengikuti kelompok Tasya, ya," ujar Bu Nova setelah melihat penampilan kelompokku.

"Ibu akan keluar sekarang, tapi kalian harus tetap di dalam, karena nanti ada pelajaran dengan Bu Anna, jangan ada yang keluar, paham?" Aku dan teman-teman sekelasku mengangguk mengiyakan perkataan Bu Nova.

Karena pembelajaran dengan Bu Anna masih lama, aku dan teman-temanku memutuskan untuk duduk-duduk sebentar di kursi masing-masing.

"Eh, Ibu." Suara salah satu siswi di kelasku membuatku menoleh ke arah pintu masuk kelas, tampak Bu Anna memasang raut wajah kesal.

"Kalian ngapain?" tanya Bu Anna dengan cetus.

"Kami habis menampilkan drama pada pelajaran bahasa Indonesia dengan Bu Nova," jawab siswi tersebut.

"Kenapa nggak ganti baju? Udah tau Ibu mau masuk, kenapa nggak langsung ganti baju?" Teman-teman sekelasku saling pandang, sebab kami baru saja selesai menampilkan drama, masih lelah dan lagipula pembelajaran bersama Bu Anna masih lama, sekitar satu jam lagi.

"Kenapa dia suka cari masalah?" Monolog Ku dengan pelan.

"Tapi kami baru aja selesai, Bu. Makanya belum ganti, tapi nanti bakalan ganti baju lagi, kok, Bu," ujar siswi tersebut.

Bu Anna pergi dengan raut wajah yang marah. Aku menghela napas panjang, sudah muak dengan tingkah laku guru satu ini. Teman-teman sekelasku malah berlari mengejar guru seperti itu.

"Mau kemana?" tanyaku pada Priya yang hendak menarik tanganku keluar dari kelas.

"Kita harus minta maaf sama Bu Anna," jawab Priya.

"Aku nggak salah, kita nggak salah. Ngapain minta maaf?" Aku tetap duduk di kursiku.

"Iya, tau. Tapi, nanti kalau Bu Anna nggak mau mengajari kita lagi, gimana?" tanya Priya.

"Emang dia udah ngajarin apa sama kita? Kerjaan dia selama ini cuma menyindir diriku setiap harinya, bahkan aku juga tak tau pelajaran apa yang sudah dia jelaskan pada kita, setiap menjelaskan pelajaran, pasti selalu ada selipan kalimat menyindir yang entah darimana nyambung nya," kataku yang sudah emosi.

Kalau dia nggak melihat diriku di sana, maka dia akan tau bahwa aku sangat membenci dirinya. Pasti dia akan menilai akhlak ku buruk lagi, pikirku.

Aku berdiri dan segera berjalan mencari keberadaan Bu Anna. Saat tiba di salah satu warung yang berada di dalam sekolah, kulihat teman-teman sekelasku sudah pada berkerumun dan meminta maaf pada Bu Anna.

Ratu drama, batinku.

"Ngapain kalian?" tanyaku dengan nada pelan pada salah satu teman sekelasku.

"Minta maaf sama Bu Anna," jawabnya.

"Salah apa kalian?" tanyaku lagi.

Mereka diam sejenak, lalu menaikkan kedua bahu dengan raut wajah pasrah.

"Bu, jangan marah, ya, Bu. Tadi kami mau ganti baju, cuma duduk sebentar," ujar salah satu teman sekelasku.

"Kalian mau belajar sama saya nggak, sih?" tanya Bu Anna.

"Mau, Bu!" sahut teman-teman sekelasku.

"Terus kenapa susah sekali diatur?" Aku dan teman-teman sekelasku hanya diam.

"Memang kami salah apa, Bu?" tanyaku balik pada Bu Anna.

"Ibu, kan, mau masuk sebentar lagi. Kenapa kalian belum ganti pakaian?" tanya Bu Anna lagi.

"Ibu masuk satu jam lagi, Bu Nova juga sudah mengingatkan kami untuk tidak keluar kelas, dan kami tidak keluar. Di mana letak susah diaturnya? Ibu sudah marah tanpa sebab," ujarku.

"Tanpa sebab kata kamu? Kamu memang tidak punya akhlak, orangtua kamu tidak pernah mengajarkan sopan santun?" Pertanyaan Bu Anna membuatku semakin emosi.

"Saya berakhlak, setidaknya saya tidak pernah menyindir seseorang yang saya benci. Saya bukan tipe orang yang suka menyindir, jika Ibu tidak suka pada saya, bilang saja, jangan hanya bisa menyindir saya terus saat pembelajaran berlangsung."

Aku puas rasanya mengeluarkan semua unek-unek yang ada pada diriku. Aku terus menatap matanya dengan tatapan tajam, begitupun beliau.

"Kamu mau saya berikan surat peringatan kedua?" tanya Bu Anna.

"Berikan saja, apa Ibu mau dikeluarkan dari sekolah ini oleh kepala sekolah karena sudah seenaknya sama murid, dan juga suka menyindir saat pembelajaran berlangsung?" tanyaku balik.

Bu Anna berdiri mendekat padaku. Tatapan kami masih bertemu satu sama lain, dengan napas yang menggebu-gebu.

"Kamu, ya!" Dia hendak menamparku, tetapi kutahan tangannya.

"Jangan pernah mencoba untuk menampar saya, atau saya tidak akan menghormati Ibu lagi," tekanku.

"Lihat saja, kamu tidak akan bertemu orang baik di luar sana!" kata Bu Anna dengan nada tinggi.

"Bahkan saat saya baik pun, ada saja orang jahat di kehidupan saya. Contohnya, Ibu," sahutku.

"Kamu memang pintar, tapi sayang tidak memiliki akhlak," balas Bu Anna.

"Apa Ibu memiliki akhlak?" tanyaku. Dia hanya diam, memandangku dengan tatapan geram.

"Baru kali ini saya bertemu murid seperti kamu," ujar Bu Anna dengan nada gemetar.

"Tidak. Sudah banyak murid yang Ibu perlakukan seperti saya, tapi mereka melawan, sedangkan saya memutuskan untuk diam. Itulah perbedaan kami," sahutku.

"Dan, ya, justru saya yang baru pertama kali bertemu guru seperti Ibu. Saya tidak akan pernah menyangka akan bertemu dengan guru seperti anda," lanjutku.

"Lihat saja, karma itu nyata," tekan Bu Anna pada kalimat "nyata".

"Saya sangat berharap, bisa melihat karma untuk Ibu, segera," lanjutku.

"Tasya." Suara itu membuatku tersadar dari lamunan.

Kulihat Bu Anna masih di tempatnya, begitupun aku. Kenapa hanya imajinasiku saja?

"Kamu kenapa?" tanya Ziva yang berada di sampingku.

"Aku nggak papa, hanya bosan dengan drama yang terus dilakukan oleh guru satu ini," jawabku.

Ziva mengusap-usap punggungku pelan, aku menghela napas panjang, mencoba untuk meredakan amarah yang memuncak pada diriku.

"Kamu yang sabar, ya." Aku tersenyum dan mengangguk.

~~~
Bersambung ...

I Won't Give Up [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang