17

12 0 0
                                    


Siang itu panas begitu terik. Pelataran kampus sebuah universitas ternama terlihat begitu padat dengan ratusan kendaraan.

Matahari yang menyengat tak menyurutkan semangat para mahasiswa yang tengah berjalan cepat dengan bergerombol untuk melaksanakan demonstrasi memprotes kenaikan harga UKT yang melejit tahun ini.

Gerombolan mahasiswa itu berjalan menuju aula kampus yang berdiri bersebelahan dengan kantor rektorat.

Seorang lelaki gagah dengan perawakan tegap berjalan tergesa menghindari paparan sinar matahari yang menusuk kulit. Dia memastikan untuk mengambil ijazah perkuliahan yang tertunda beberapa lama di kantor rektorat.

Langkahnya terhenti. Sepasang matanya melihat satu titik tempat favorit ketika dirinya kuliah dulu. Tangga menuju prodi Sains teknologi. Tempat biasa dirinya bercengkerama dan bersenda gurau dengan pasukan lawas yang selalu memanfaatkannya untuk menjadi sapi perah membiayai semua jajanan bagi mereka.

Dari jauh dirinya melihat seorang perempuan yang tengah asyik membaca buku. Dia menyendiri di tengah hiruk pikuk gerombolan manusia yang membentuk kelompok bersama.

"Rahmania Fauziah!"

Dengan suara bergetar disebut nama yang begitu dirindukan. Sosok yang membuatnya bisa bertahan dan menghindar dari gerbang kematian.

Seorang yang mengulur tangan ketika dalam gulita cahaya mati suri. Suara indahnya yang membangunkan dari lena  mimpi berbulan lamanya.

Ingin rasanya Adrian berlari menyongsong raga yang tengah asyik dengan bacaan tebal di tangannya. Memeluk dan membenamkan kepalanya di dada.

Menyatukan detak irama jantung yang bertalu agar seirama. Melepas dahaga rindu yang menggebu. Rindu akan bercengkrama berdua walau hanya berbincang sambil berjalan bersisian menuju sungai kecil dekat peternakan dimana mereka sering berjumpa meski tanpa ada kata sepakat untuk bersua di sana.

Langkahnya yang mendekat terhenti ketika melihat sebentuk cincin pernikahan melingkar di jari manis gadis pujaan yang tak tahu jika dirinya tengah diperhatikan.

Dirinya tengah sibuk membaca buku untuk referensi persiapan desertasi. Kesepian yang dirasa seusai kehilangan Adrian juga ditinggalkan sang suami di balik jeruji besi membuat dirinya kian rajin melanjutkan pendidikan.

Tak puas dengan gelar S2 yang disandang. Kini Rahma berjuang untuk merampungkan program S3.

Kegagalan dalam hidup tak perlu untuk diratapi. Ketidakberhasilan tak usah ditangisi. Melainkan jadi lecutan untuk lebih berkarya dan menunjukkan pada dunia jika diri lebih mampu bertahan dari yang diperkirakan orang.

"Bu Rahma! Boleh saya ijin ngobrol sama  ibu soal bimbingan skripsi?" tanya seseorang mahasiswi yang mendekati Rahma yang tengah duduk di tangga.

Rahma mendongakkan kepala. Menatap sumber suara. Adrian yang tadinya mendekat membalikkan badan. Mempercepat langkah menjauhi Rahma yang melihat sumber suara yang kebetulan berasal dari seseorang yang berjalan searah dengannya.

"Adrian!"

Lamat terdengar suara Rahma memanggil nama Adrian. Bukannya menjawab pertanyaan mahasiswi yang mendekati.

Rahma tergopoh berlari mengejar Adrian yang berlari kencang dan berhasil berbaur dengan kelompok mahasiswa lainnya yang ramai hendak berdemonstrasi. Raganya tak terlihat lagi karena masuk pada kelompok mahasiswa yang tengah berorasi.

Rahma berkeliling mencari bagaikan kesetanan dan berteriak memanggil nama Adrian bersaing dengan suara bising speaker yang dipakai oleh para pendemo.

Suaranya kalah oleh suara yel-yel pendemo yang bergemuruh memekakkan telinga.

Bukan jodoh pilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang