12

235 20 1
                                    


Udin, bocah remaja usia tiga belas tahun, entah sejak kapan begitu dekat dengan keluarga Bagaskara. Sudah seperti keluarga. Menangis senggukan di sebelah Adrian yang terbaring koma.

Udin sering datang dan diperbolehkan menjenguk ibarat keluarga. Pemuda tanggung yang berperawakan kecil itu lebih sering datang dibandingkan teman Adrian yang dulu mengerubuti saat Adri royal mendanai pesta pora mereka.

Adri memang punya banyak sahabat tapi bukan sahabat sejati. Melainkan teman yang hanya mengambil manfaat dari kedermawanannya. Sejatinya, Udin lah sahabat sejati yang kadang sering menjahili tapi memberi pelajaran berarti. Meski usia mereka terpaut jauh.

Tanpa reaksi apapun. Hanya ventilator mesin penunjang kehidupannya yang berbunyi teratur. Adri seolah tak ada tanda kehidupan. Terlelap begitu dalam. Tak perduli jika cinta sejatinya meninggalkan.

"Den, bangunlah! Udin ingin, Aden cegah pernikahan Teh Rahma. Udin sedih melihat Teh Rahma diam-diam menangis. Hanya mematung di tepi sungai tempat diselamatkan oleh Aden."

Udin mengguncang tangan Adri yang begitu pucat. Seolah aliran darah terhenti tak mengalir ke telapak tangannya.  Tangan itu sudah lama tak berpungsi seperti organ tubuh lain Adrian.

Hanya otak yang masih berjalan semestinya. Kemungkinan jika otaknya telah berhenti berfungsi maka dokter akan mengumumkan kematiannya.

Dokter berkata jika Adri masih ada kesempatan siuman meski dengan prosentase yang kecil. Asalkan fungsi otak masih berjalan semestinya.

Dokter juga menyarankan untuk menstimulasi alam bawah sadarnya dengan selalu mengajak Adri berbicara normal seperti pada orang yang dalam keadaan sadar.

Udin setiap hari datang dan berbicara pada Adrian. Melaporkan setiap kejadian di peternakan juga sesuatu yang terjadi pada Rahma termasuk kabar pertunangan juga rencana pernikahan Rahma dan Rio.

Meski Rahma sudah merampungkan KKN, tapi kabar teranyar dari kekasih hati Adrian selalu terupdate. Udin  mencari tahu dari sahabatnya satu sekolah yang kebetulan tinggal bertetangga dengan Rahma.

"Den, apa Aden rela jika teh Nia menikah dengan orang lain? Bangunlah! Masih belum terlambat. Mana teh Nia menikah sama orang yang menjadi dalang sabotase dan Aden seperti ini. Udin mah tak rela. Ayolah, Den. Bangun! Jangan biarkan orang itu menang. Atau Aden akan menyesal seumur hidup."

Udin menangis dan menggenggam erat tangan Adrian. Tangan itu begitu dingin.

Adri sebenarnya mendengar dari alam bawah sadarnya. Namun, matanya begitu susah terbuka. Seolah ada lem perekat yang membuat matanya begitu lengket.

Adri mencoba membuka mata yang berat dengan susah payah. Tangannya yang begitu lemah hanya sanggup bergerak dengan gerakan kecil tak berarti.

"Alhamdulillah, selamat datang kembali Adrian," ucap dokter Adi. Sahabat Adrian yang selama ini pindah tempat tinggal ke Bandung. Dan kebetulan berdinas di RS tempat Adrian dirawat.

Begitu terasa ada gerakan kecil di tangan Adrian yang digenggam. Udin segera berlari melaporkan hal tersebut pada Adi. Dokter sekaligus teman masa SMA Adrian.

Udin tersenyum sekaligus menangis mendengar kabar bahagia itu. Rasanya tak percaya jika Adrian bisa siuman.

Udin yang tertunduk menangis bengong sendiri. Apakah benar Indra pendengaran ucapan selamat datang dari dokter Adi pada Adrian?

"Den Adri? Alhamdulillah, ternyata Aden bangun juga," bocah itu berhambur memeluk Adrian.

"Udin!" panggil dokter Adi.

Udin menoleh. Dokter Adi memberi isyarat jika Udin tak boleh menubruk Adrian. Udin tersipu. 'Pasti den Adri kaget dan sakit badannya mendapatkan perlakukan demikian' batinnya.

Bukan jodoh pilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang