7

311 25 0
                                    


[Dri kamu harus pulang akhir pekan ini! Mama sama papa mau memperkenalkan seseorang.]

Kembali pesan itu datang.

[Siapa?]

[Calon istrimu, kamu tak becus mencari pendamping hidup. Jadi papa mama yang pilihkan.]

Adri menggaruk kepala tak gatal. Gawat. Bagaimana jika calon tak sesuai kriteria. Merasa diri amat terhina tak becus mencari sendiri. Payah sekali.

[Kalau kamu menolak, buktikan jika mampu mencari calon mantu dalam seminggu. Bawa saat kumpul dua keluarga. Jika tidak lupakan menolak perjodohan. Ok! Ayo Adri kamu buktikan! Jangan hanya koar-koar menolak tapi payah mencari pendamping sendiri.]

Adri mendengus kesal. Mama, Papa kok kesannya menghina. Memandang rendah kemampuan. Apalah daya itu nyata adanya.

Adri memutar otak ingin keluar dari masalah ini. Terlebih Nia sudah ada di sini. Gadis jelita itu ternyata belum berkeluarga. Andai ada keberanian mengungkapkan.

Harus! Atau akan memeras air mata melihat pujaan melenggang ke pelaminan. Adri meremas gemas rambutnya. Mengapa takluk pada makhluk cantik itu. Begitu tak percaya diri ketika ingin mendekati.

Bukankah Adri sang Playboy kelas Wahid. Lantas mengapa selalu tak berkutik dihadapan mahluk manis lulusan Kairo.

Apa yang kurang. Tampang? Adri termasuk jajaran top penyandang gelar tampan. Soal harta? Siapa yang tak mengenal keluarga Bagaskara. Pengusaha sukses nan ternama.

Lalu ... mengapa Adri tak punya nyali mengungkap cinta pada Nia. Harus takluk pada makhluk cantik yang kharismatik.

Nia berbeda. Bukan gadis sembarangan. Jika orang lain sanggup Adri taklukan sepasukan. Nia ....? Adri sudah ciut sekali melihat gaya retorika. Ketika lantang menjelaskan sesuatu pada mahasiswa yang bahkan usianya jauh diatas gadis itu.

Jika tidak sekarang mau kapan? Haruskah menunggu dia diembat orang. Baru melihat dia dijemput orang sudah kepanasan. Apalagi jika harus hadir di pernikahan sebagai tamu undangan. Luka tak berdarah.

*****
Suara aliran sungai nyaring terdengar. Jernih dan memanjakan indra penglihatan. Sesekali daun yang jatuh mengalir menuju hulu. Terlihat bagaikan menari mengikuti irama air dan liukan aliran air yang berkelok diantara bebatuan yang terlihat mengkilap diterpa sinar mentari. Nia asyik memainkan air itu dengan tangannya.

Bagaikan anak kecil yang menjumpai mainan mengasyikan. Kesyahduan itu yang dirindukan ketika di ranah rantau. Negeri orang yang terkenal dengan Padang pasir nan gersang. Kairo. Mesir.

Angannya melayang pada anak gendut kudisan yang dulu sering menjahili dengan mendorong kasar masuk selokan bahkan sungai.

Satu hari pernah hampir tenggelam dan si gendut teriak ketakutan. Tangan menggapai dan meminta tolong karena tak bisa berenang. Hingga saat ini menjadi trauma tersendiri karena kejadian itu. Takut jika harus berenang lagi.

Si gendut yang tak pandai berenang sekilat masuk air untuk menyelamatkan Nia. Usahanya sia-sia bahkan mereka berdua hampir mati tenggelam.

"Tolong ....!"

Sayup suara anak kecil meminta pertolongan.

Nia terperanjat. Bayangan masalalu datang kembali. Dada yang sesak terisi air. Napas yang terengah. Tangan menggapai tak punya pegangan. Kaki kram membuatnya mengira ada dipenghujung nyawa.

Sekilas terlihat bocah kecil dengan tangan menggapai. Meminta tolong dan memelas. Tubuhnya hilang timbul diantara aliran air yang deras.

Nia menangis bingung harus bagaimana. Jika hanya berdiam diri mungkin akan melihat anak itu hanyut dan hilang dalam deras air. Mungkin nanti akan hanya melihat jasadnya. Itupun jika bisa ditemukan.

Bukan jodoh pilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang