Seperti perkataan calon Ibu mertuanya kemarin sore. Siang ini Raras di jemput oleh calon suaminya untuk pergi bersama yang katanya akan membeli seserahan lagi. Raras tidak tahu barang apa yang akan di beli lagi. Ia hanya tahu bahwa mereka akan membeli cincin untuk pernikahan mereka. Tidak terasa tanggal pernikahan Raras dan Gandi kurang lebih seminggu lagi. Selama sebulan ini Raras benar-benar repot mengurusi pernikahan mereka. Saat fitting baju pun ia terpaksa membawa sang putri yang tidak bisa di tinggal kala itu. Utungnya hari ini sang putri bisa di tinggal sebab saat ini sang empunya sedang tidur siang bersama neneknya.
"Mau beli apa lagi si Mas?" tanya Raras dalam perjalanan menuju rumah ke calon mertuanya. Sebelum pergi, ia di suruh untuk datang kerumahnya terlebih dahulu.
"Gak tau, katanya Ibu sama Bapak mau ngasih hadiah." balas Gandi yang fokus menyetir mobilnya.
"Sana, pada makan siang dulu." titah Muji ketika Raras dan Gandi sampai di rumahnya.
"Raras mpun maem, Bu." balas Raras yang duduk di samping calon Ibu mertuanya. (sudah makan)
"Masmu iku lho Ras. Makane telat teruss. Padahal wis ngerti duwe penyakit maag tetep telat teruss." tutur Muji di sela-sela memakan buah pepayanya. (itu. sudah tahu punya.)
"Biasane kalau sudah kambuh parah telepon Adeknya. Minta di resep obatnya. Sana, ndang di ladeni Nduk." lanjut Muji memperintahkan calon mantunya agar menemani Gandi makan siang. (melayani)
Raras pun beranjak dari duduknya. Lalu menyusul Gandi yang sudah melangkah ke ruang makan terlebih dahulu.
"Ta pendetke mawon, Mas." tutur Raras melihat calon suaminya hendak pergi mengambil piring. (ambilkan aja)
Gandi menoleh, mendapati sang calon istri yang berada di belakangnya. "Kamu duduk sama Ibu aja. Wau mature mpun maem kan?" kata Gandi menatap Raras yang mengambil piring serta sendoknya dan tidak lupa dengan gelasnya. (tadi bilangnya sudah makan kan)
"Mendetke tok, Mas. Habis itu mau ngobrol sama Ibu." balas Raras cepat lalu mengambil nasi serta lauknya. Tak lupa ia menuangkan air putih ke dalam gelas yang sudah ia ambil. (mengambilkan saja)
"Masmu sudah bilang Nduk?" tanya Muji ketika Raras kembali duduk di bangku sampingnya.
"Bilang apa Bu?"
"Bilang kalau Ibu sama Bapak mau ngasih kado?"
Raras mengangguk setelah ingat.
"Sudah, tapi gak bilang ngadonya apa. Ibu sama Bapak gak usah repot-repot. Mas Gandi menjadikan Raras sebagai istrinya saja Raras sudah bersyukur dan berterima kasih banyak sama Bapak Ibu yang sudah ngasih restu buat kami." tutur Raras dengan tulus.
Muji menggeleng, "Enggak repot kok, nanti tak kasih uang, kadonya kamu beli sendiri sama Masmu. Ibu juga bersyukur dan bahagia Nduk. Akhirnya anak Ibu yang sudah menduda lama itu mau menikah lagi. Dan Ibu bersyukur wanita yang akan manjadi menantu Ibu itu kamu. Ibu itu kenal dan dekat dengan Ibumu, Ibumu itu wanita yang kuat dan tangguh Nduk. Ibu juga yakin kalau kamu itu wanita yang sama seperti Ibumu, tangguh dan kuat." tutur Muji membuat Raras terharu.
"Bu, Raras e kok nangis?" tanya Gandi melihat calon istrinya mengusap air matanya yang menetes.
"Raras gak nangis ini terharu, Mas." ucap Raras cepat lalu mengusap kedua matanya yang memerah.
"Bener kan Mas kata Ibu. Raras itu wanita yang hatinya lemah lembut, tapi di balik itu dia wanita yang kuat dan tangguh." ujar Muji kepada sang putri dengan senyuman bangga.
"Sana, kalian pergi beli kado. Tapi sek, tak jupukke uang e." ucap Muji lalu beranjak dari duduknya menuju kamarnya. (sebentar, di ambilkan uangnya dulu)
Muji datang bersama tas selempangnya yang berada di tangannya.
"Nih Nduk, ini uang yang buat beli kado." Muji menyerahkan sebuah amplop coklat tebal kepada sang calon menantu.
Raras yang melihat tentu mendelik kaget. "Bu niki kekatahen artane." ucap Raras mengembalikan amplopnya kepada tangan Muji. (ini kebanyakan uangnya)
Muji menggeleng cepat, "Enggak Nduk, ini uang buat kalian. Buat beli kebutuhan rumah kalian." tutur Muji mengingatkan calon mantunya bahwa calon suaminya ini sedang membangun rumah dan tentunya masih sangat membutuhkan uang yang cukup banyak. Belum lagi perabotannya yang perlu mereka beli.
"Nah, kalau ini uang dari Masmu yang waktu itu di titipkan di Ibu. Buat beli lemari, divan, sekalian kasurnya juga. Oya Nduk, beli mesin cuci sekalian biar nanti kamu gak kecapekan. Nanti perabotan ini jadikan sebagai seserahan juga." tutur Muji lagi membuat wanita muda di sampingnya tidak berkutik.
"Wiss sana ndang budal saiki." tangan Muji mengibaskan tangannya memberi kode agar sepasang calon suami istri itu segera pergi. (sudah sana segera berangkat sekarang)
"Oya Nduk, ini catatan yang perlu di beli. Pilihen sesuai selera kalian." Muji mengambil secarik kertas di atas meja televisi lalu ia serahkan kepada Raras yang hanya menurut saja. Sudah ia bilang jika calon Ibu mertuanya ini tidak bisa di tolak jika sudah berkata makanya ia memilih menuruti saja. (memilih)
°°°°
"Mas, apa ini gak berlebihan? Seserahan yang aku beli kemarin aja udah banyak banget lho." resah Raras mengingat barang-barang yang ia beli dengan total yang sangat banyak.
"Enggak, kita kan memang lagi butuh barang-barang itu buat rumah kita nanti." balas Gandi yang fokus menyetir mobilnya dalam perjalanan pulang dan sesekali menoleh menatap calon istrinya.
Memang saat pria di sampingnya ini datang ke rumahnya berserta kedua orang tuanya untuk meminangnya, kala itu membicarakan tentang bangunan rumahnya. Sebetulnya tanpa mereka berkata pun Raras sudah mendapatkan info dari sang Ibu bahwa calon suaminya ini sedang membangun rumah beberapa bulan yang lalu. Dan letak rumah yang sedang di bangun hanya berada di gang yang berbeda. Jika rumah Ati berada di gang A maka rumah yang sedang di bangun berada di gang D. Sementara rumah Muji dan Sukarno berada di gang B masih satu jalan dengan jalan gang A.
"Tapi ini terlalu kebanyakan Mas." tutur Raras masih gelisah mengingat jumlah uang yang mereka lebih tepatnya calon suami dan ibu mertuanya keluarkan untuk membayar perabotan yang dibeli cukuplah banyak. Rasanya ia ingin menangis saja. Ia tidak bisa membayangkan sebanyak apa uang yang di miliki oleh keluarga calon suaminya ini. Pasalnya mereka bisa mengeluarkan uang puluhan juta dalam satu hari seperti saat tadi ketika membayar totalannya.
"Mboten, kamu tenang saja." kata Gandi seakan-akan tahu apa yang di pikirkan oleh wanita di sampingnya ini. (tidak)
Memang Raras sejak tadi sedang memikirkan apakah keluarga calon suaminya ini tidak keberatan mengeluarkan uang sebanyak itu? Apakah uang mereka masih tersisa dan cukup untuk kebutuhan keluarga mereka? Raras ingin bertanya seperti itu namun rasanya tidak sopaan dan sungkan dengan pria di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Terakhir
Random✓Konflik ringan ✓Duda & Janda ✓Berlatar di Jawa ✓Campur bahasa Jawa °°°° Menceritakan tentang seorang pria duda bernama Gandi Nataprawira yang memutuskan untuk menikah lagi bersama wanita pilihannya yang bernama Kanigara Rarasati yang berstatus jan...