Bab 1; Pemindahtugasan

15 7 7
                                    

"Loh, Pah! Kok, mendadak gini, sih?" Seru Rania seraya protes kepada papahnya lantaran kabar yang disampaikannya terlalu mendadak bagi Rania.

"Maafin papah, sayang. Papah terlalu mendadak menyampaikan hal ini ke kamu dan mamah. Tapi, papah sangat berharap kalau kamu bisa menghargai keputusan papah." Jawab Papah Adi yang membuat Rania mengembuskan napas pasrah.

Rania Anindita. Gadis remaja berusia tujuh belas tahun ini telah dikejutkan dengan kabar pemindahtugasan papahnya ke Kota Bandung.

Sebagai seorang anak, tentu Rania akan menghormati keputusan yang telah ditetapkan oleh kantor papahnya.

Hanya saja, berita pemindahtugasan Papah Adi cukup mendadak.

Rania yang saat itu sedang asik bermain bola basket, tiba-tiba saja diminta untuk menemui sang papah dan mendengar cerita papahnya tentang keluarga mereka yang harus pindah ke Kota Bandung.

Sebetulnya Rania tidak masalah dengan pemindahtugasan Papah Adi ke Kota Bandung. Sebab, Rania tahu dan juga paham dengan tanggung jawab yang dipikul oleh Papah Adi.

'Gue emang nggak masalah sama pemindahtugasan papah ke Bandung. Cuma, yang jadi masalah adalah, gue dan mamah harus ikut papah ke Bandung. Dan udah bisa dipastikan kalau gue bakal pindah sekolah! Ckk! Nggak suka banget gue!' Gumam Rania dengan raut wajah tak sedap.

Itulah alasan kenapa Rania tidak suka dengan kabar yang baru didengarnya.

Bagi seorang cewek tomboy seperti Rania, jelas sekolah baru adalah tempat yang cukup malas untuk dia masuki. Mengapa demikian, karena Rania pasti akan kesulitan untuk mendapatkan teman serta berbaur dengan kawan barunya.

Hal di atas Rania rasakan ketika dirinya baru pindah ke salah satu SMP yang ada di Kota Jakarta.

Mulanya, Rania memang kesulitan untuk mendapat teman. Tapi, untungnya, lambat laun, Rania bisa berbaur dengan kawan-kawannya. Dan hal itu berkat beberapa bakat yang Rania miliki.

'Sayangnya, di sekolah baru nanti, gue ngerasa kalau bakat yang gue miliki bakal dianggep sebelah mata. Sebab apa, sebab gue yakin kalau anak-anak Bandung bakal meremehkan anak ibu kota kayak gue!' Tukasnya dengan penuh keyakinan.

Sudah cukup lama Rania membatin dan menampilkan raut wajah tak sukanya pada kabar yang disampaikan Papah Adi. Namun, hal ini baru disadari oleh mamah kandung Rania ketika raga suaminya telah pergi.

"Kamu baik-baik aja, kan, sayang?" Tanya mamah Rania.

Mamah Lusi nampak khawatir dengan keadaan putrinya. Beliau melihat Rania yang menunduk sembari menampilkan wajah cemberut.

"Ah, mamah. Mamah tadi nanya ke aku kalau aku baik-baik aja, kan, Mah? Dan iya, aku baik-baik aja, kok, Mah. Selain itu, ucapan papah juga ada benarnya. Mau bagaimanapun, aku harus bisa menghargai keputusan papah." Jelas Rania pada sang mamah.

Rania jelas telah berbohong pada mamahnya. Dan hal itu dilakukan oleh Rania semata-mata untuk menenangkan hati mamahnya.

'Mamah pasti khawatir sama gue. Secara, mamah tau betul kalau anaknya sulit buat berteman sama orang baru. Jadi, nggak salah kalau mamah khawatir sama gue.' Batin Rania lagi.

Untungnya, di saat raga Rania tengah membatin, Rania tidak sengaja menyunggingkan senyum tipisnya dihadapan sang mamah.

Senyuman tipis itu berhasil membuat mamah Rania lega.

Dan Rania sebenarnya tidak sadar akan hal tersebut. Tapi tidak masalah, karena sekarang Rania nampaknya sudah bisa pergi dari ruang tengah dan melangkah menuju kamar pribadinya.

"Rania duluan yah, Mah! Mau ke kamar buat bersih-bersih!" Pamitnya pada sang mamah.

Dibalas langsung oleh Mamah Lusi dengan kata oke.

Tak berselang lama, Rania pun tiba di kamar dengan nuansa hitam abu-abu. Kamar Rania memang cukup berbeda dengan kamar anak perempuan di luar sana.

Bisa dikira juga alasan kenapa Rania bersikap demikian. Jawabannya jelas karena Rania bukan tipe perempuan feminim yang menyukai warna-warna lucu nan terang.

"Sama satu lagi. Mau dimanapun gue tinggal, si Blacky nggak boleh absen! Dia harus selalu gue bawa ke mana-mana! Titik. " Seru Rania sembari memegangi boneka pandanya yang dia beri nama Blacky.

Ketika memandang Blacky, Rania tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika dia amat berat meninggalkan kota kelahirannya ini.

Rania dan keluarganya memang sering pindah-pindah kota. Hanya saja, Kota Jakarta menjadi tempat yang cukup bersejarah bagi Rania dan di sini pula berbagai kisah indah diukir oleh Rania bersama orang-orang terkasihnya.

Salah satu orang terkasih Rania, tidak lain dan tidak bukan adalah Indra.

Lelaki berparas tampan dan berkacamata itu sudah menjalani hubungan kasih selama tiga bulan dengan Rania.

Hubungan keduanya masih amat manis dan penuh romansa. Bahkan, Indra bisa dibilang sudah cukup dekat dengan kedua orang tua Rania lantaran dia satu-satunya lelaki yang berani menemui orang tua Rania.

"Hampir nggak ada celahnya! Dia itu boyfriendable banget. Udah ganteng, pintar, penyayang, perhatian pula!" Puji Rania dengan posisi raganya yang masih memandangi Blacky.

Kalau sedang falling in love, pikiran Rania memang selalu tertuju pada Indra.

Hanya saja, tak lama dari itu, Rania ingat dengan satu hal. Hal ini bisa dibilang hal yang cukup dihindari oleh Indra.

"Bahkan, dia pernah bilang kalau dia ragu buat menjalani hubungan LDR." Lanjut Rania dengan wajah sedih.

Ldr. Itulah hal yang sekarang ini memenuhi isi kepala Rania.

Mengapa demikian, karena Indra pernah menegaskan jika dirinya tidak ingin ldr dengan Rania.

Indra juga menambahkan jika dirinya tidak tahu apakah dia bisa kuat menjalani hubungan itu, atau terpaksa harus mengakhirinya walaupun dia masih amat mencintai Rania.

"Kalau kasusnya begini, aku jadi bingung mau ngomongin hal ini atau nggak ke Indra. Aku takut dia bakal nekad buat putusin hubungan kita. Aku jelas nggak mau! Aku masih sayang sama Indra. Aku masih mau bareng-bareng terus sama Indra!" Tangan Rania mencengkram Blacky.

Gadis itu sudah tidak memikirkan boneka kesayangannya lagi. Dia juga tidak sadar jika air matanya telah menetes ke kedua pipi.

Kesedihan yang amat mendalam sedang dirasakan oleh Rania. Dia ingin sekali menolak keinginan ayahnya. Tapi dia juga tidak bisa dan tidak memiliki kuasa untuk menolaknya.

Rania tahu betul dengan tanggung jawab yang dimiliki ayahnya.

Namun bagaimana, Rania juga tidak mau berpisah dengan Indra. Dia terlalu menyayangi kekasih hatinya. Hubungan kasihnya dengan Indra juga masih seumur jagung, masih hangat-hangatnya.

"Masih banyak juga wishlist-wishlist manis kita yang belum terpenuhi." Tambah Rania.

Layaknya sebuah pasangan kekasih, Rania tentu menyayangi Indra, dan keduanya sempat membuat wishlist bersama.

Tapi sayang, nasib dari wishlist indah itu sepertinya tidak baik.

"Tok... tok... tok..." Terdengar ketukan pintu dari luar kamar Rania.

"Siapa?" tanya Rania sembari cepat-cepat mengusap air matanya dan berusaha untuk tampil seperti orang yang baik-baik saja.

Antara 17 dan WasiatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang