Bab 11; Si Narsis

2 1 0
                                    

"Ih dibilang gue gak liat apa-apa juga. Dan apa salahnya gue nyembunyiin muka gue? Toh gue lagi baca menu, nih liat!" Tangan Cika Nampak menyodorkan buku menu dihadapan Putra.

"Ckk, alasan!"

Putra langsung membuang muka. Cika juga terlihat biasa-biasa saja. Walaupun sebenarnya, dia sudah agak panik karena ketahuan memperhatikan Putra dengan cewek barunya.

"Ya udah lah, dari pada gue naik darah di sini, mending gue balik ke cewek gue. Gak penting juga ketemu sama adkel si paling aktif di osis ini!" Sombong Putra dan setelahnya berbalik arah lalu kembali ke mejanya.

"Adkel si paling aktif di osis?" Beo Cika.

Tak disangka Putra cukup memperhatikan keeksistensian Cika di sekolahnya. Tapi sejak kapan? Sejak kapan dia jadi sok peduli dengan adik kelasnya.

"Aneh banget." Ungkap Cika dengan nada herannya.

Namun gadis itu tak terlalu memikirkannya. Dia kembali fokus pada tujuan awalnya, menunggu kedatangan teman sekolahnya.

"Kalau sampe setengah jam gue nunggu dan dia nggak muncul juga, terpaksa deh gue harus cabut. Lagian siapa juga sih yang mau nunggu berjam-jam padahal dia juga yang buat janji duluan?" Pikir Cika.

Sahabat baru Ran ini memang sudah menunggu berjam-jam lamanya. Dan yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Terlebih lagi, teman Cika yang membuat janji lebih dulu, dan dia sendiri yang mengingkarinya.

***

Seminggu kemudian.

Hidup Rania bisa dibilang cukup normal. Dia jarang sekali bertemu dengan Cakra. Apalagi sampai diganggu oleh siswa laki-laki itu.

Cakra diketahui sedang sibuk-sibuknya latihan basket dengan tim basket sekolahnya. Hal ini karena Cakra dan tim basketnya telah lolos ke babak semi final dan akan bertanding di ibu kota melawan tim basket dari kota pahlawan alias Kota Surabaya.

Di pertandingan minggu lalu, tim basket Cakra berhasil mengalahkan tim basket sekolah sebelah. Kemenangan yang membanggakan sekaligus membahagiakan.

"Aku liat-liat, kamu kok biasa aja Ran setelah tau Kak Cakra lagi sibuk-sibuknya latihan basket?" Heran Cika dengan posisi raganya yang duduk di samping Rania dan menatap lurus ke arah gadis itu.

"Emangnya aku harus bersikap gimana?" Tanya balik Rania.

"Kamu harusnya nemenin dia gak sih? Kasih semangat kek, kasih dia perhatian kek, atau apalah yang bisa jany lakuin buat ngedukung Kak Cakra." Ungkap Cika.

Rania hanya terdiam.

Cika pun semakin heran dengan tingkah sahabatnya. 'Aneh,' gumamnya sambil meluruskan pandangannya ke depan.

Cika tak lagi memandangi wajah sahabatnya. Dan kalau diterka kembali, sebenarnya memang sikap Rania tidak salah.

Sedari awal juga Rania sudah menampilkan sikap acuhnya. Dia bahkan melakukan hal itu tidak hanya ke Cakra, melainkan ke semua laki-laki yang tidak ada hubungan darah dengan dia.

Tapi Cika pun nggak sepenuhnya salah. Dia hanya tau kalau Rania dan Cakra tengah menjalin hubungan asmara.

Selayaknya dua orang yang tengah menjalin kasih, tentu mereka akan saling melempar perhatian, bukan? Namun kenapa Rania tidak demikian?

'Apa jangan-jangan, gue udah salah duga!' Kepala Cika langsung menoleh kembali ke arah Rania.

"Astaga! Jangan-jangan iya!" Teriak Cika yang reflex membuat Rania terjerembap.

"Ya ampun Cik! Kamu ngagetin aku aja deh." Ucap Ran dengan gelengan kepala dua kali.

"Hehe, maaf." Kekehan kecil dari Cika.

"Kenapa sih, kamu?"

Dan Cika malah tetap tersenyum. Dia agaknya bingung sekaligus susah untuk bertanya kepada sahabatnya.

"Kamu nggak papa, kan? Atau jangan-jangan kamu kesambet karena habis ngomongin si narsis?" Duga Rania.

"Hah? Si narsis?"

Omo! Rania kelepasan.

'Aishh! Kok gue keceplosan sih!'

"Si narsis siapa Ran?"

Rania gelagapan. Tak tahu harus menjawab apa.

"Kak Cakra yah? Itu panggilan sayang kamu buat Kak Cakra kan? Iya, kan?"

Desakan Cika sungguh menjengkelkan.

Tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi. Rania tidak bisa membohongi sahabatnya. Toh itu bukan nama panggilan kesayangan, lebih ke panggilan ejekan malah.

"Ejekan apaan, orang cuma kamu kan, yang panggil Kak Cakra dengan sebutan itu?" Tukas Cika.

Rania baru menyadarinya. Jika dipikir kembali, memang hanya dia yang memanggil Cakra dengan sebutan itu. Ditambah lagi Cakra tak masalah dengan sebutan tersebut, bahkan dia menyukainya.

'Jangan-jangan gue emang udah salah persepsi. Dia pasti nyangkanya itu panggilan kesayangan dari gue. Makanya dia kesenengan dan gak emosi sama sekali pas gue panggil si narsis.' Batin Rania mulai menyadari kesalahannya.

"Ketahuan kan kamu! Haha." Tawa Cika seketika membuyarkan pikiran Rania.

"Ih, apaan sih Cik! Ketahuan gimana? Aku gak ngerasa kecolongan tuh." Elak Rania dengan wajah merah padam.

"Gak ngerasa kecolongan tapi pipi kamu udah merah kayak kepiting rebus!" ledek Cika.

Rania refleks memegang kedua pipinya. Sedang Cika kembali menertawakan sahabatnya yang dirasanya tengah salting setengah mati.

Lucu juga yah Rania ini. Dia panik karena kelepasan, dan dia berusaha mengelaknya, eh Cika malah meledeknya.

Tapi dibalik hal menggelikan itu, batin Cika bergumam, 'Kayaknya aku udah salah sangka deh. Mereka memang punya hubungan special. Dan gak salah sih Rania gak nemenin Kak Cakra. Toh dia juga lagi sibuk sendiri sama ekskul barunya.'

Entah mendapat gambaran dari mana, namun Cika nampak positif thinking sekali dengan pikirannya. Dia yakin jika Rania dan Cakra benar-benar menjalin hubungan special.

Dia bahkan menepis keraguannya tentang keanean sikap Rania yang tidak memberi perhatian kepada Cakra.

***

"Aku pulang duluan yah, Ran, dan kamu gak papa kah aku tinggal?" Tanya Cika yang tumben-tumbenan dia pulang sesuai jam pulang sekolah.

"Santai Cik, aku udah biasa kok sendirian." Balas Ran dengan nada datar.

"Oke, deh, kabar-kabar aja kalau ada apa-apa. Aku-"

"Ish kamu nih, kayak gak pernah liat aku pulang sendiri aja. Aku aman Cika... Aman, seratus persen aman."

Ran langsung memotong ucapan Cika yang dianggapnya terlalu mengkhawatirkan raga dia.

"Haha. Iya deh, iya. Bye bestie ..." Pamit Cika dengan melambaikan tangan kea rah Rania.

Ran pun membalasnya.

Selang dua detik, Cika sudah dibawa pergi oleh kendaraan roda empat milik orang tuanya.

Memang tidak selalu Cika pulang tepat waktu. Biasanya dia disibukkan dengan urusan osis dan osis. Tapi tanpa disangka, siang ini dia disuruh pulang cepat oleh kedua orang tuanya, tepatnya oleh mamihnya.

Awalnya Cika ada janji dengan teman osisnya untuk membahas hal kemarin yang belum mereka bahas lebih dalam. Namun apa boleh buat, perintah mamihnya lebih penting dari apapun.

"Aku anterin yah!" Tukas seseorang dengan suara beratnya.

Rania pun langsung berbalik arah, dan, "Lo!" 

Antara 17 dan WasiatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang