Bab 10; Hari Sial

1 1 0
                                    

"Ih, mamah!" Sedangkan Rania kesal bukan main.

"Tante emang pengertian banget." Senang Cakra dengan senyum manisnya.

Berbeda dengan Rania yang mendengus kesal setelah mendengar ujaran mamahnya.

Benar-benar hari yang menyebalkan.

Sudah dibuat risih dengan sikap rese Cakra, dibuat terkejut dengan cerita Nek Ina, sekarang dibuat marah dengan lampu hijau yang diberikan mamahnya untuk Cakra.

'Ini sih namanya ngasih harapan ke si narsis.' Gumam Rania.

Tanpa disadarinya, lelaki yang berdiri di samping Rania telah memperhatikan mimik wajah Rania sedari tadi. Tapi bukannya marah ataupun ikut kesal, Cakra malah nampak senang melihat wanitanya merajuk.

'Gemes amat sih calon pacarku!'

"Apa lo lihat-lihat!" Judes Rania dengan mata melotot.

"Astaga!" Kejut Cakra dengan memundurkan kepalanya.

Saking fokusnya dengan wajah Rania, Cakra sampai tersentak ketika diteriaki Rania.

"Huft." Tapi semuanya aman saja begitu Cakra mengembuskan napasnya dan mengatakan dirinya akan pulang.

"Ya udah sana, pulang." Usir Rania secara langsung.

"Eh."

"Eh apa?"

"Yakin mau ngusir aku?"

Mata Rania langsung memicing. Entah apa yang dimaksud oleh Cakra. Rania tidak bisa menerkanya.

"Apaan sih, lo? kalau mau pulang ya pulang, emangnya kenapa?" Kesal Rania.

Tiba-tiba saja Cakra mengangkat tangannya dan mengelus lembut rambut hitam Rania.

"Sayangku nggak peka banget. Aku tuh sebenarnya masih betah di sini. Tapi berhubung udah sore dan nggak enak sama mamah, jadi aku pamit pulang aja." Ujar Cakra dengan fasih.

Mendengar lelaki itu menyebut ibu kandungnya dengan sebutan 'Mama', tentu Rania terkejut.

"Dih, nyebutnya mamah juga. Lo tuh udah punya mamah sendiri, jangan ambil mamah gue." Protes Rania.

Tawa kecil hadir dari raga Cakra.

"Aku nggak punya mamah kok," tukasnya.

Rania langsung tak enak hati. "Ma-Maaf."

"Aku punyanya bunda." Lanjut Cakra dengan senyum tanpa rasa bersalah.

"Ish!" Marah Rania sembari membuang muka.

"Udah yah, aku pamit."

"Hmm."

Tapi bukannya langsung bergerak, Cakra malah diam di tempat.

Hal ini jelas membuat tanda tanya besar di benak Rania. namun gadis itu memilih untuk mengabaikannya. 'Biarinlah. Terserah dia.'

Hanya saja, "Mau kemana?"

Cakra menahan raga Rania dan memegang pergelangan tangan kanannya.

"Lepas." Pinta Rania.

"Tunggu dulu, sayang. Ini kamu mau nganter aku ke depan kan? Atau mau ke mana?"

"Anter kamu ke depan?" heran Ran dan dibalas langsung oleh Cakra dengan anggukkan kepala.

'Ternyata ini alasan dia gak bergerak dari tempatnya.' Sambung Ran yang akhirnya paham kenapa Cakra tak kunjung melangkahkan kakinya.

Dengan sedikit berat hati, Rania pun mau mengantar Cakra sampai pintu depan.

Selang dua menit, keduanya tiba di pintu utama.

Antara 17 dan WasiatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang