26

182 51 5
                                        

"Kemana saja kamu? Sudah beberapa kali di telfon tapi baru di angkat!"

Tangan Maven mengepal, matanya berkaca-kaca dan air mata hampir terjatuh ke pipi merah muda itu. Maven mengatur nafasnya, siap menerima apa saja kata-kata kasar sang ayah padanya.

"Maaf, pa. Tadi Maven sedang makan dan ponsel ada di atas meja belajar. Maven tidak mendengar ada panggilan masuk karena ternyata ponsel dalam keadaan Mute."

Maven menjawab dengan suara pelan agar orang lain tidak mendengar.

Saat ini ia sedang berada di ruang tamu, menghindari bercakap dengan ayahnya di depan teman-temannya. Ia takut jika ada yang tahu bahwa ternyata ayahnya lebih kejam dari tidak memberikan sepeser uang.

Hening sementara, hanya terdengar suara nafas Wijaya yang berat. Maven tahu kalau sekarang ayahnya pasti sangat marah besar hanya karena masalah sekecil ini. Dia mondar-mandir di ruang tamu, menunggu Wijaya melanjutkan percakapan itu.

"Kamu masih menulis?"

Hati Maven seakan tergores mendengar itu. Kalau ia jujur sampai sekarang masih suka menulis, dirinya pasti di amuk habis-habisan. Tapi jika dia ketahuan berbohong, pasti akan terjadi hal yang lebih buruk lagi. Bukan Wijaya namanya kalau tidak suka menyiksa anak kandungnya sendiri.

"I-iya,"

"Andai kamu masih berada di rumah ini, papa pasti akan menghukum mu seperti biasa. KENAPA KAMU TIDAK MAU MENURUTI PERINTAH PAPA?!"

Air mata yang tadi mati-matian ia tahan akhirnya runtuh juga. Maven menangis. Dia memang terbilang anak yang kuat. Tapi masalah ini sangat berat baginya untuk di tanggung sendirian. Maven duduk di lantai keramik yang dingin sambil bersandar pada dinding. Dia menyisir rambutnya ke belakang dan menutup mata. Maven berdeham untuk mengambil ketenangan dalam suaranya.

"Pa, tolong jangan hancurkan hobi Maven. Karena dengan menulis, tubuh Maven tidak ada yang rusak."

Wijaya menggerutu mendengar perkataan Maven. Di seberang sana pasti sedang kepanasan, emosi, dan naik darah.

"Bodoh. Lebih baik tubuhmu rusak daripada kamu melanjutkan hobi tidak berguna itu. Dan lebih baik lagi kamu seharusnya tidak hidup ke dunia ini. Anak tidak tahu diri. Bisanya hanya menyusahkan orang tua saja."

Tangisan Maven semakin menjadi hingga dirinya tidak dapat menahan suara yang bergetar. Maven mendongakkan kepalanya, membuka mata dan menghirup udara.

"Tidak ada anak yang meminta untuk dilahirkan, apalagi terlahir di keluarga penjahat seperti papa."

"TIDAK TAHU DIUNTUNG! MATI SAJA KAMU!"

"Seandainya bunuh diri tidak dosa, mungkin sekarang Maven sudah bersama dengan mama. Karena hanya dengan beliau Maven bisa merasakan apa artinya cinta, bukan hidup di dalam neraka dunia. Maven membenci manusia, termasuk diri Maven sendiri."

"Gila."

"Memang. Maven bisa saja menghilangkan nyawa papa seperti apa yang papa lakukan pada kebahagiaan Maven." jawab Maven sambil menyeka air mata di pipinya.

"Ven, lo kenapa?"

Maven menoleh ke samping kiri. Dia tersenyum lalu menutup sambungan telepon, mengabaikan Wijaya yang masih ingin berbicara padanya. Maven berdiri, berjalan ke arah Zayden yang berdiri di depannya.

"Lo nggak apa-apa, kan?"

"Gue? Santai aja,"

Zayden meletakkan tangannya di bahu Maven, memijatnya dengan pelan, seolah tahu apa yang sedang terjadi pada temannya itu.

"Kalau ada apa-apa bilang. Jangan sampai lo lupa kalau masih punya kami berlima yang bakal dengerin keluh kesah lo."

Maven menunduk sejenak dan mengeluarkan tawa pelan sebagai jawaban. "Ayo balik lagi ke kamar. Gue mau istirahat. Capek."

Zayden tersenyum hambar. Mereka berdua berjalan menuju satu kamar tidur yang digunakan untuk berenam. Semenjak tinggal di rumah itu, mereka tidak pernah membaringkan tubuh di kamar kedua yang saling berseberangan, karena satu kamar saja sudah dirasa cukup besar dan muat untuk mereka semua di sana.

****

Hari sudah mulai menggelap. Matahari pun terbenam, digantikan dengan cahaya bulan dan ratusan bintang bertebaran di langit luas. Hembusan angin malam bertiup lembut di telinga, memuat kesan damai di dalamnya. Suara jangkrik dan kicauan burung saling bersahutan, seakan-akan mereka saling berkomunikasi satu sama lain.

Nathan menghirup udara segar saat ia duduk di teras rumah. Dia tersenyum mengagumi betapa damainya kota kecil ini dibandingkan kota di mana ia lahir dan tumbuh besar. Secangkir susu hangat serta biskuit menjadi teman nongkrongnya saat ini. Nathan mengusap pergelangan tangannya, merasa dinginnya angin menusuk permukaan kulitnya. Memang sekarang Nathan hanya mengenakan sebuah piyama lengan pendek saja, karena tadi sore ia merasa sangat kepanasan.

"Than, lo liat ada orang yang lewat nggak?!"

Kedamaian Nathan pecah ketika suara yang ia kenal itu di tangkap oleh Indra pendengarannya. Nathan mengepalkan tangan dan tersenyum paksa ke arah Devano.

"Apa, hm?"

Dengan wajah panik dan kata-kata yang tergagap, Devano mengetuk-ngetuk pegangan kursi yang Nathan duduki. Dia mendekatkan wajahnya pada telinga Nathan.

"Tadi gue masuk ke dalam kamar yang satunya karna iseng aja gitu. Kan kita jarang masuk kecuali kalau mau bersih-bersih doang. Tapi pas gue udah masuk dan duduk di sisi kasur sambil natap jendela yang cuma ditutup gorden tipis aja, ternyata samar-samar gue liat ada sepasang mata yang ngintip. Gue takut banget, mana udah malem lagi!"

"Terus?" tanya Nathan dengan santai sambil menyeruput susu hangat nya.

"Gue tatap lagi tuh mata buat memastikan kalau gue nggak salah lihat. Eh ternyata secara tiba-tiba dia munculin wajah. Gila! Badut. Dia senyum ke arah gue!"

Nathan yang tadinya santai mendengarkan cerita Devano, sekarang ia terkejut hingga tersedak dan batuk beberapa kali. Devano semakin panik, khawatir jika ceritanya itu yang membuat Nathan menjadi seperti ini. Devano menepuk-nepuk punggung Nathan dengan tempo pelan.

"Maaf.."

"Ng-nggak, bukan salah lo. Gue cuma kaget aja. Kenapa bisa lo ngalamin hal yang sama kayak yang dialami sama Maven? Badut."

Devano menggigit bibir bawahnya saat ia mulai berfikir. "Nggak tau,"

"Kalau bosen hidup tuh ngomong," kesal Nathan kala jawaban Devano bukanlah jawaban yang dicarinya. Ia semakin jengkel karena tadi sikap Devano seolah-olah akan memberikan kepastian padanya.

Devano menyengir malu, dia berdiri dengan tangan bertumpu pada sandaran kursi. "Siapa, ya, yang ada di balik kostum badut itu?"

"Udah lah. Mungkin kita emang lagi sial aja makanya di usilin. Atau karna kita pendatang baru dan ada orang yang nggak suka terus merasa terganggu sama kedatangan kita ke wilayah ini," ujar Nathan berfikir positif.

"Aneh. Padahal kan kita anak baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Tapi kok masih ada yang nggak suka ya."

Nathan mengedikkan bahu, dia lebih merinding ketika mendengar ucapan Devano sekarang ini daripada berhadap-hadapan langsung dengan badut ataupun hantu.

"Jijik."

"Jahat banget, sih! Lo sama aja kayak Zayden. Sama-sama kejam!" Devano menghentakkan kakinya saat masuk ke dalam rumah, ia jelas kesal kepada Nathan.

Nathan tertawa puas, dia mengambil satu biskuit dan memasukkannya ke dalam mulut. Saat mengunyah biskuit itu, mata Nathan berkeliaran kemana-mana hingga tertuju pada satu titik yang membuat dia menyipitkan mata untuk menatap dengan jelas apa yang dilihatnya. Ada sesosok tubuh tegak berdiri di balik pohon-pohon pisang yang tumbuh sekitar lima belas meter ke kiri dari rumahnya. Sosok itu membelakanginya, namun Nathan dapat melihat dengan jelas bahwa sosok tersebut menggunakan kostum badut dengan sebuah celurit yang dipegangnya.

Dengan susah payah Nathan berusaha untuk berdiri, membawa gelas susu hangat dan piring yang berisi biskuit itu ke dalam rumah. Sekarang ia yakin bahwa mereka benar-benar sedang dalam bahaya. Tapi di sisi lain Nathan bingung, siapa yang sedang meneror mereka saat ini dan apa alasannya?

RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang