31

97 58 1
                                    

Suara-suara burung yang berterbangan ke sana dan ke mari menyatu dengan suasana sendu saat itu. Apalagi jika di tambah dengan alunan musik sad vibes, pasti akan menjadi suatu hal yang tidak dapat di utarakan menggunakan kata-kata.

"Udah dibilang malam itu tidur, jangan begadang."

Lamunan yang sudah lama tumbuh memenuhi isi pikiran pun buyar. Lelaki itu tersentak, seketika memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat ke belakang pada sumber suara. Keduanya saling termangu. Iris coklat itu bertemu dengan iris merah kecoklatan. Kedipan mata serta pembuangan wajah pun dilakukan setelah mereka berpandangan.

"Tidur kok. Emang lagi kebangun aja karena suasana tiba-tiba aneh." jawabnya lalu berbalik dan kembali menatap ke arah alam lepas dari jendela kamar.

"Nathan,"

Yang dipanggil hanya diam. Remaja tersebut menyisir rambutnya ke belakang dengan buku-buku jarinya. Membuat panggilan kedua kembali dilontarkan oleh lawan bicara.

"Nathaniel."

"Hm?" Memanggil dengan menggunakan nama lengkap sepertinya memang sudah menjadi tanda penegasan hingga akhirnya si empunya nama menjawab walau dengan dehaman pelan.

Lelaki yang usianya lebih muda satu tahun itu mendekat, meletakkan tangannya di lengan Nathan dan dengan lembut memijatnya. "Jangan terlalu dipikirin."

Nafas Nathan terdengar sangat lambat, tatapannya terus fokus ke depan, seakan tidak mendengarkan siapa yang sedang berbicara padanya. Pikirannya terlalu kacau, bayangan tentang sosok badut tadi malam sungguh menghantuinya. Ia bagaikan sedang di teror, di kepung oleh sesosok karakter yang biasa dikenal pembunuh sadis pada film-film.

"Gue rasa cepat lambatnya kematian kita ada di tangan badut itu, Ven." lirihnya.

Sambil menunduk dan menghela nafas, jawaban singkat keluar dari bibir lelaki bermata sendu tersebut. "Lo terlalu berserah diri sama 'dia'."

"Zayden udah pulang?"

Spontan kedua lelaki di sana menoleh ke arah pintu, melihat sosok berwajah bulat mengenakan T-shirt juga celana olahraga sedang berdiri dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Dipenuhi ekspresi kebingungan, Maven menjawab sekaligus bertanya.

"Nggak ada pulang ke rumah. Bukannya dia lari maraton sama kalian? Kok bisa terpisah?"

Terengah-engah nafasnya, parau suaranya, Dafian mendekat, masuk ke dalam kamar.

"Dari berangkat sampai mau pulang, Zayden masih ada. Tapi pas udah deket ke rumah, dia nya tiba-tiba hilang! Nggak, bukan hilang. Kayaknya, sengaja menghilang."

Belum lagi selesai tentang permasalahan teror badut yang datang tadi malam, sekarang kabar tentang menghilangnya Zayden menjadi masalah baru bagi mereka. Tempat lusuh yang dikiranya baik-baik saja jika kembali dihuni, ternyata membawa petaka besar. Entah apa yang sebenarnya akan terjadi di kemudian hari, tetapi saat ini kecurigaan mereka semua terpaku pada Zayden yang selalu menunjukkan gelagat aneh selama pindah ke rumah itu. Bagaimana tidak? Ketika mereka mendapatkan teror berupa sebuah benda ataupun datangnya badut, Zayden tidak pernah berada di sana bersama kelima temannya. Ia selalu menghilang dan bahkan dirinya bersikap acuh saat teman-temannya bercerita.

Mereka berlima sibuk dengan pikirannya masing-masing. Melamun sendiri, di dalam kamar dengan cat tembok berwarna putih juga poster-poster film yang menempel pada dinding membuat kamar itu terlihat menakjubkan saat dipandang dari mata orang yang tidak tahu menahu asal-usul rumah itu. Keheningan menyapu udara, hingga sebuah tapak kaki terdengar melangkah mendekat ke arah kamar. Awalnya mereka mengira sosok badut itu kembali muncul, tapi pada akhirnya kekhawatiran mereka berubah menjadi rasa lega saat melihat orang yang berdiri di ambang pintu ternyata adalah Zayden.

Wajah remaja itu tampak lusuh, celana training yang dikenakannya pun dipenuhi dengan tanah basah. Anak itu seperti baru saja habis terjatuh atau tergelincir.

Maven menoleh, dia bangkit dari duduknya di sisi tempat tidur dan berjalan menuju pintu, tempat dimana Zayden berdiri. Maven memeluk tubuh Zayden yang beberapa sentimeter lebih tinggi darinya. "Lo kemana aja? Kami semua khawatir."

Zayden hanya diam mendapatkan pelukan tersebut. Dia tidak membalas dan juga tidak melepaskannya hingga Maven sendiri yang mundur.

"Zay? Itu apa?" Devano bertanya dikala melihat tangan kiri Zayden membawa sebuah kantong plastik kecil yang penuh. Entah apa isi di dalamnya.

"Gue bukan anak kecil, Ven."

Maven terlihat lega saat Zayden akhirnya buka suara walau jawaban ketus yang ia dapatkan. Maven tersenyum lembut. Dengan langkah yang gontai, Zayden masuk ke dalam kamar dan meletakkan kantong plastik itu di atas meja belajar yang sudah rapuh.

"Kalian tau kan ada pohon jambu air di samping rumah mas Riza? Tadi gue ke sana dulu mampir."

Nathan ternganga mendengar ucapan Zayden, ia membuka kantong plastiknya dan melihat lebih dari enam biji jambu air di dalamnya. "Lo di suruh mampir sama mas Riza? Baik banget!" ucapnya dengan antusias mengambil sebiji jambu tersebut.

"Nggak, gue nyuri. Mumpung mas Riza lagi nggak ada di rumah."

Senyum lebar Nathan segera pudar. Ekspresi nya menjadi datar. "Lo nyuri?"

Zayden mengangguk, "Iya. Tapi ternyata gue langsung kena karma. Gue jatuh dari pohon jambu yang tinggi itu karna keinjek dahan yang udah rapuh."

Kelima teman-temannya tertawa terbahak-bahak, rasa geli kian menggelitik dada. Zayden bersikap tidak peduli dengan tawa lima orang itu, dia terus menampilkan ekspresi seperti biasa. Dingin serta acuh.

Sekitar tiga menitan ruangan itu dipenuhi dengan gelak tawa, barulah William menyeka setitik air di ujung matanya, ia tak sadar bahwa dirinya tertawa hingga hampir menangis. "Dasar, panjang tangan." ujarnya memberi gelaran nama untuk Zayden yang habis mencuri buah jambu.

Di sini Dafian bergegas membawa sekantong buah jambu tersebut pergi menuju dapur. Sembari menunggu lelaki itu kembali, Devano, William dan juga Zayden memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi yang satu ruangan dengan kamarnya. Kamar mandi itu terbagi menjadi beberapa bagian, empat kamar untuk mandi serta dua toilet.

Tiga serangkai itu telah kembali setelah membersihkan diri. Mereka keluar dengan sudah menggunakan pakaian lengkap. Beberapa saat teman-temannya menunggu, ia kembali ke dalam kamar dengan membawa sepiring jambu yang sudah dipotongnya menjadi beberapa bagian agar lebih mudah di santap. Dafian menaruh piring itu di atas meja belajar.

"Makan makan!" Devano berseru.

Mereka pun berkumpul mendekati piring berisikan jambu air itu lalu mencomotnya menggunakan tangan yang tentu sudah bersih. Mereka menikmati hari libur sekolah dengan begitu menyenangkan. Benar. Sekolah diliburkan selama satu bulan setelah ulangan serta karena adanya renovasi ulang pada bagian-bagian kelas yang dinilai sudah kumuh. Sekarang ini adalah hari ke sepuluh mereka libur. Masih ada dua puluh hari lagi untuk mereka bersiap-siap menghadapi ujian yang akan dilaksanakan pada awal bulan Juni mendatang.

Keenam lelaki tersebut berbaring rapi di tempat tidur usai menghabiskan potongan jambu air itu, merasa sudah cukup kenyang walaupun tidak ada memakan nasi. Jam menunjukkan pukul 11.35, waktunya mereka untuk beristirahat. Mereka semua memejamkan mata, berupaya agar dapat tertidur. Dan syukurlah yang di-mau pun terkabulkan. Mereka dapat tertidur pulas siang ini, bersemayam dalam indahnya kehidupan alam mimpi.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang