CHAPTER 6 : Jangan Membuat Ekspresi Seperti Itu

397 64 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









***


Pengemudi bus mengerem dengan keras, menyebabkan para penumpang terdorong ke depan karena inersia. Renjun yang tidak tepat waktu memegang pegangannya di bus jatuh ke dalam pelukan Jeno.

Dia mendengar erangan teredam di atas kepalanya.

Ketika bus berhenti, dia segera memperbaiki posisinya.

Bagaimanapun, itu adalah beban badan seorang siswa laki-laki yang sudah dewasa dan dia tidak yakin apakah Jeno terluka atau tidak karena hal itu.

Renjun baru saja menstabilkan dirinya ketika suara keluhan dan reaksi keras memenuhi bus. Dia menoleh ke arah Jeno dan melihat pemuda itu mencabut salah satu earphone dari telinganya, lalu memasukkannya ke telinga Renjun.

Suara keluhan para penumpang itu segera hilang, digantikan dengan alunan musik yang menenangkan.

Jantung Renjun berdetak kencang.

Sesampainya di halte bus, mereka berdua turun. Otak Renjun terus memikirkan kejadian sebelumnya, tepat ketika dia bertemu tatap dengan Jeno dia bertanya,

“Apakah kamu terluka?”

Kedua tangan Jeno dimasukkan ke dalam sakunya, dan sambil menggoyangkan alisnya, dia bertanya,

“Apa yang akan kau lakukan jika aku terluka?”

Renjun tersedak dan tidak bisa menjawab untuk beberapa saat.

Melihat ekspresinya yang tercengang, hati Jeno melembut hingga benar-benar kacau. Dia berkata dengan sungguh-sungguh,

“Sudahlah, aku baik-baik saja.”

Saat dia mengatakan hal ini, Renjun merasa ada yang tidak beres. Dia menarik keluar tangan Jeno dari sakunya. Buku-buku jari tangan kanannya terdapat garis-garis merah tipis darah dan lapisan luar kulitnya sedikit robek. Lukanya menyebar ke empat jari tangannya.

Ini mungkin terjadi ketika Jeno dengan paksa menarik kuat pegangannya untuk menopang dirinya sendiri saat Renjun menabrak tubuhnya.

Renjun merasa sedih hanya dengan melihatnya. Saat perasaan kompleks lainnya mulai terbentuk di hatinya secara perlahan.

Jeno yang melihat perasaan Renjun tertulis jelas di wajahnya, menarik tangannya. Dia membungkuk dan berbisik ke telinganya,

“Jangan membuat ekspresi seperti itu di hadapanku sayang. Aku tidak akan bisa menahan diri jika kau melakukan hal itu lagi…”

Dengan senyum gembira, dia berjalan menuju sekolah.

Rasa panas yang baru saja hilang dari wajah Renjun kembali karena kata-kata liar Jeno. Melihat sosok tinggi dan lurus di depannya, mau tak mau dia bertanya-tanya apakah pemuda ini benar-benar seorang tiran sekolah yang rewel dan mendominasi itu.

...

Setelah kelas paginya selesai, Renjun masih merasa gelisah dan berlari ke klinik sekolah untuk mengambil sebotol yodium dan perban.

Dia hanya berdiri diam di pintu masuk kelas Dua selama beberapa waktu, tidak berani untuk mengucapkan sepatah katapun.

Jisung yang kembali dari toilet melihat Renjun berdiri di dekat pintu masuk dengan kepala menoleh ke dalam, dan melihat sekeliling. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya,

“Apakah kau mencari Jeno hyung?”

Terakhir kali dia melihat Jeno dan Renjun bersama, dan mereka terlihat cukup dekat. Dia mengira Renjun adalah tuan muda rendahan dari keluarga kaya. Namun setelah di selidiki, ternyata dia hanyalah orang biasa yang bukan berasal dari keluarga atau latar belakang kaya. Prestasinya di sekolah juga rata-rata.

Tapi karena dia adalah teman Jeno, maka dia juga akan menjadi teman Jisung.

“Jeno hyung kemungkinan besar sedang tidur. Apakah kau ingin aku memanggilnya?”

Saat dia mengatakan ini, Jisung berjalan menuju ruang kelas, bersiap untuk berteriak. Namun Renjun langsung menghentikannya saat melihat hal ini.

“Tidak perlu. Tolong bantu aku untuk menyerahkan ini padanya. Tangannya terluka.”

Dia memberikan yodium dan perban kepada Jisung.

“Jeno hyung terluka? Itu tidak mungkin. Dia selalu bertarung dengan seseorang dan tidak pernah kalah?”

Jisung memasang ekspresi tidak percaya di wajahnya.

Bagaimanapun, jauh di lubuk hatinya, Jeno adalah petarung terbaik di dunia.

“Eh… itu bukan pertarungan.”

Renjun dengan enggan menjelaskan,

“Dia terluka karena pegangan di dalam bus.”

"Hah?"

Jisung semakin bingung.

“Hyung naik angkutan umum? Apa kau sedang bercanda? Dia sangat benci berada di tengah keramaian. Selain itu, dia punya sopir pribadi. Kenapa dia harus naik angkutan umum?”

Renjun hanya menatap kosong. Apakah Jeno benci berada di tengah keramaian?

Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, saat penumpang sedang ramai dan berdesak-desakkan, Jeno memang akan terlihat sangat tidak bahagia dan tidak senang.

“Aku tidak tahu. Kalau begitu aku akan kembali.”

Renjun melontarkan kata-kata itu, lalu berlari cepat. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang berbeda di dalam hatinya dan mulai tumbuh dengan gila-gilaan.



*****

Loved By The School Tyrant Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang